Setiap hari, orang-orang rapat. Oh, mereka rapat waktu. Yang dirapatkan berbeda dari presiden dan menteri. Rapat waktu mungkin bermutu meski aku curiga ada debat dan bingung yang tidak rampung-rampung. Mereka punya keinginan macam-macam untuk pergantian tahun. Di mulut mereka, yang terucap adalah malam tahun baru. Kepala-kepala itu menyimpan keinginan senang-senang di pantai, pegunungan, restoran, jalan, dan lain-lain.
Yang rapat harus memikirkan uang, alat transportasi, makanan, pakaian, dan lain-lain. Ah, tahun baru itu sumber kesibukan yang “menyesatkan”. Buktinya, rapat-rapat itu inginnya “demi hidup yang bermutu” tapi jenis acara yang dipaksa mufakat malah ecek-ecek. Mereka dalam perayaan yang picisan!
Malam meninggalkan 2024 itu ramai. Malam yang ruwet. Bising yang konyol. Omongan-omongan yang tidak bermutu, kalah dari suara air hujan yang jatuh ke selokan atau menimpa seng. Duh, aku yang menghindari rapat waktu mulai berpikiran ngawur dan tergoda marah.
Eh, malam tahun baru yang seru itu di kota. Dulu, seingatku ada konser musik, pesta kembang api, pawai sepeda motor, dan lain-lain. Orang-orang menuju kota agar terjadi kemacetan dan “keributan”. Aku membayangkan waktu menjadi pucat dan kemproh oleh orang-orang yang bernafsu mengganti kalender di kepalanya. Kota yang mengajak ribuan atau jutaan orang berani boros uang. Selanjutnya, mereka boros impian. Mulutnya menjadi pabrik bualan atau omong kosong yang inginnya sesuai pergantian tahun.
Namun, ramai tidak selamanya milik kota. Desa-desa sudah ketularan saat malam pergantian tahun ada yang menyerang langit dengan benda bercahaya api dan suaranya bikin degdegan. Desa yang tidak segera mau tidur. Orang-orang ikut berlagak merayakan waktu. Aku sering sedih memikirkan dan mengalami 31 Desember di desa: sore sampai malam. Setiap melihat jam, aku merasakan ada hal-hal yang kejam dan menyiksa.

Sejak dulu, inginku adalah mengalami waktu yang berpisah dari tahun lama dan memiliki tahun yang baru dengan tidur, membaca buku, melamun di belakang rumah. Seharusnya peristiwa yang syahdu meski tidak bermutu. Aku tidak perlu menunggu sampai tengah malam. Pada pukul 9 atau 10 malam menikmati tidur itu wajar ketimbang mata melek. Konon, mata melek demi waktu yang berganti. Namun, yang bernai tidur berarti ikhlas mendapat suara-sura berisik dan gangguan dari segala arah. Desa sulit terlindung dari perayaan tahun baru yang makin mawut.
Yang menjadi keinginanku di hari-hari terakhir Desember: membaca buku-buku agar tertawa, memusuhi diri sendiri, cengeng, meruwetkan perasaan, dan meludahi mimpi yang buruk. Maka, pilihanku adalah membaca buku-buku F Rahardi.
Duduk di teras rumah, aku bakal memandangi langit. Kebun di sebelah rumah memberi keyakinan bahwa tanaman-tanaman bersyukur dengan hujan. Kebun yang menyatakan hidup tanpa teriak atau isak. Mereka menjadi orkes jika kedatangan angin atau hujan. Aku sering berdoa agar kebun-kebun di desa tidak berganti menjai rumah, toko, atau warung. Di kepalaku: gambaran desa itu banyak kebun dan sedikit rumah. Namun, desa-desa makin sesak. Kebun-kebun dijual atau dibagi untuk pendirian beragam bangunan.
Aku sudah mulai membaca isi dalam empat buku, yang menurutku bacaan “kocak” dan kritik telak jika masih mau memikirkan waktu, tidak cuma tahun baru. Puisi-puisi yang ditulis F Rahardi jarang dikutip kaum merana, kaum demonstran, kaum nostalgia, atau kaum gosip.
Puisi yang berjudul “Cacing-Cacing di Sawah” membuatku sedikit melamunkan Indonesia. Konon, presiden koar-koar swasembada pangan. Eh, ada berita bahwa sawah di Jawa bakal digunakan untuk program pembuatan jutaan rumah. Padahal, jumlah sawah terus berkurang. Konon lagi, ada pembuatan sawah-sawah baru agar dapat ditanami slogan dan janji untuk bersumpah Indonesia itu makmur.
F Rahardi (17 April 1975) menulis: cacing-cacing di sawah alangkah cerdiknya/ sangat dalam membenam/ lumpur yang becek disedot/ dan disulapnya menjadi gelang-gelang pelangi/ indah sekali/ bergerak dan melingkar-lingkar di tubuhnya/ sedang surya yang liar/ yang gagal menerkamnya/ berpijar dengan sabar/ sangat setia di langit/ menyesali gelang-gelang pelangi/ makin dalam membenam. Puisi yang bagiku apik. Yang pasti berbeda dari puisi sawah yang ditulis para pujangga masa 1930-an atau 1950-an.
Aku kadang memerlukan puisi jika mengingat sawah-sawah di desaku berkurang dan tidak tampak mata lagi. Di atasnya, ada bangunan-bangunan yang berbeda dengan keindahan tanaman. Desa memang tidak harus diartikan sawah. Akibatnya, aku sekadar mengingat masa lalu saat mencari belut di sawah. Malam hari, pasukan pemburu belut turun ke sawah. Pasukan dengan petromak. Jika siang, anak-anak bermain bola di sawah. Pemandangan anak-anak bermain layang-layang pun mencipta keseruan. Bayanganku tidak bakal sampai seperti puisi yang ditulis F Rahardi. Nah, puisi itu dimuat dalam buku yang judulnya mengerikan: Silsilah Garong (1990).

Aku melanjutkan membuka buku yang lain berjudul Tuyul (1990). Puisi yang seharusnya dibaca di kota sambil berimajinasi desa. Oh, puisi yang bikin merinding itu berjudul “Menikmati Udara Pagi di Desa”. F Rahardi (1987) sangat mengerti desa. Yang aku baca: dari desa yang jauh itu/ datanglah suara ayam jago/ nyaring dan panjang/ menyusup di sela-sela daun singkong…. udara pun gemetar/ penuh dengan bunyi-bunyian unggas/ dan serangga… tanah becek/ udara lembab tapi jernih/ terasa dingin tatkala menyentuh buluh-bulu hidung/ terasa ada uap embun yang pelan-pelan/ mengendap di pelipis di ubun-ubun/ dan di bibir. Orang yang bersyukur hidup desa. Yang membuatku takjub: desa itu udara. Yakinlah, orang-orang yang hidup di Jakarta, Surabaya, atau Semarang kangen udara desa.
Ada lagi puisi gubahan F Rahardi yang membawaku ke masa lalu. Dulu, desaku dan desa tetangga memiliki pemandangan tebu. Desa-desa yang dekat dengan Pabrik Gula Colomadu. Pabrik yang menguak gagasan politik-ekonomi-sosial merujuk Mangkunegaran. Lakon dari masa kolonial. Pada suatu masa, Pabrik Gula Colomadu memberi imajinasi hidup yang manis. Orang-orang mengetahui dari tebu dan gilingan tebu di pabrik. Kini, mata sulit menemukan pemandangan tebu setelah pabrik itu tidak lagi menghasilkan manis. Bangunannya masih ada tapi digunakan untuk konser musik dan acara-acara akbar.
Aku membuka buku F Rahardi yang berjudul Pidato Akhir Tahun Seorang Germo (1997). Aku berjumpa puisi berjudul “Di Ladang-Ladang Tebu”. Puisi yang mencekam: ladang-ladang tebu itu terlalu tua/ capek dan linu-linu selalu/ mengancamnya dengan golok/ berlumuran tanah/ malamkah sekarang/ atau sore/ sebab matahari memang sekadar/ embel-embel/ penghangat badan di pagi-pagi/ yang basah/ dan penuh serangga/ ladang-ladang tebu/ terlalu luas dan jauh/ ditatap dengan mata ngantuk/ ketika angin menggoyangnya lalu/ bak permadani hijau/ yang menggelombang dan serangga-serangga berhamburan/ sampai angin itu tidak ada lagi/ sampai matahari itu tidak ada lagi.
Puisi-puisi yang membuatku kangen silam dan masih yakin hidup di desa. Aku tidak sedang memikirkan tahun baru. Namun, puisi-puisi itu bacaan yang bermutu untuk pamit dari kalender 2024. Aku ingin berada di rumah, ingin di desa saja. Tahun baru bukan alasan pergi ke kota atau turut dalam keramaian-keramaian. Duduk di teras, memandang langit, melirik kebun, dan menikmati puisi mungkin menbuatku ingat sekaligus lupa waktu.
Penulis
