Pada Sabtu malam, 26 April 2025, saya berkesempatan menyaksikan pementasan “Arah Menuju Temaran” oleh Teater 28 Universitas Siliwangi (Unsil) di Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya sebagai undangan. Dengan naskah dan penyutradaraan oleh Azis W. Adhidrawa (Azis Moa) dan Astrada Arini Senja, pertunjukan ini mengangkat tema yang sangat relevan dengan kehidupan modern: ketergantungan manusia terhadap smartphone, serta ancaman tersembunyi terhadap eksistensi dan nilai-nilai kemanusiaan.
“Arah Menuju Temaran” berangkat dari keresahan personal Azis Moa terhadap adiksi terhadap gawai. Pertunjukan ini memotret bagaimana smartphone mengubah manusia menjadi makhluk yang semakin apatis, mengorbankan interaksi sosial nyata demi kehidupan maya. Fragmen-fragmen yang disajikan memperlihatkan gambaran kehidupan kita saat ini: dari siswa yang mengabaikan guru saat studi lapangan, keluarga yang kehilangan kedekatan karena asyik dengan layar kecil, hingga mahasiswa yang lebih sibuk mengejar popularitas di media sosial ketimbang memperjuangkan idealisme.

Apa yang menjadi kritik mendalam dari pertunjukan ini adalah perubahan struktur mental dan sosial manusia. Smartphone bukan hanya alat komunikasi, tetapi telah menjadi ‘normal baru’ yang membentuk penyakit sosial: ketergantungan, ketidakpedulian, dan keterasingan. Fenomena “takut tanpa HP”, “candu notifikasi”, hingga “hidup demi FYP” menjadi potret nyata degradasi nilai-nilai sosial yang disuguhkan lewat adegan-adegan yang kadang komikal, kadang getir.
Pertunjukan ini mengingatkan kita bahwa kecanggihan teknologi bukan hanya mempercepat informasi, tapi juga menggerus kepekaan. Manusia modern perlahan berubah menjadi entitas autistik secara sosial, yang ironisnya dianggap sebagai hal biasa.
Sistem Pementasan: Ambisi yang Mengorbankan Kualitas
Namun di balik gagasan besar tersebut, ada satu catatan kritis yang tidak bisa diabaikan: sistem pementasan “Arah Menuju Temaran” sendiri justru mengorbankan kenikmatan artistik yang seharusnya menjadi hak penonton.
Selama empat hari pementasan di Tasikmalaya (24-27 April 2025), Teater 28 menggelar tiga kali pertunjukan setiap harinya. Ini berarti dalam sehari, para aktor harus naik panggung tiga kali dengan energi penuh, sementara mereka tinggal di karantina di gedung pertunjukan dengan kondisi yang kurang ideal. Akibatnya, seperti yang saya saksikan pada malam ketiga, pertunjukan terasa kelelahan: suara aktor banyak yang tidak terdengar, gestur kehilangan tenaga, bahkan beberapa peran diisi aktor pengganti karena kerusakan suara.

Malam itu, energi yang dibutuhkan untuk menghidupkan gagasan besar tentang krisis eksistensial manusia malah menjadi tumpul. Penonton harus berjuang keras untuk menangkap makna di balik adegan-adegan yang tampak lesu dan tidak fokus.
Secara samar-samar saya masih bisa mendengar beberapa dialog yang terdengar puitis dan menggugah, juga filosofis dan menempelkan beberapa humor. Tapi semua itu gagal untuk mencapai tujuannya.
Meskipun niat dari tim produksi untuk “menyebarkan semangat berkesenian” ke berbagai kota patut dihargai, pertunjukan seperti ini seharusnya tidak mengabaikan prinsip utama dalam seni pertunjukan: kualitas pengalaman penonton. Apalagi di malam itu hadir banyak tamu penting, termasuk pejabat dan seniman lokal, yang tentu saja mengharapkan sajian maksimal.
Pertanyaan besar yang muncul: untuk apa mengorbankan energi aktor dan kualitas pertunjukan demi mengejar kuantitas pementasan? Apakah benar tiga kali pentas dalam sehari adalah pilihan terbaik untuk “membangun ruang apresiasi seni”, jika yang ditawarkan malah pertunjukan yang loyo dan kehilangan rohnya?

Estetika dan Penyutradaraan: Simpel, Filosofis, dan Bermain Imaji
Dari segi estetika, “Arah Menuju Temaran” tampil dengan pendekatan artistik yang tidak hanya penuh makna tapi juga fungsional dan memiliki makna berlapis. Panggung diisi dengan partisi-partisi multifungsi yang bergerak, mendukung transisi antarfragmen dengan cepat. Elemen multimedia, seperti proyeksi gambar monumen Pancasila Sakti, layar gawai raksasa, hingga suasana halte hujan, menambah kekuatan visual pertunjukan.

Satu hal yang menarik adalah konsep hujan yang terus-menerus turun sepanjang pementasan, memperkuat simbolisasi kesunyian dan keterasingan manusia di tengah derasnya arus informasi. Selain itu, pendekatan fragmen-fragmen pendek sesuai dengan riset sutradara soal fokus manusia modern yang hanya mampu bertahan 15 menit. Pilihan ini cukup efektif, membuat pementasan terasa dinamis dan tetap menarik, meski pada malam itu energi aktor menjadi hambatan.
Dialog-dialog dalam pementasan pun terasa filosofis, menawarkan renungan tentang makna kehidupan di tengah invasi teknologi, meskipun ada beberapa bagian yang terasa terlalu melankolis dan memperlambat irama.
Malam itu saya bisa menikmati konsep pertunjukan yang tampak jelas. Setiap elemen pertunjukan dibangun dengan banyak usaha dan kekompakan semua kerabat pentas. Sehingga saya optimis “Arah Menuju Temaran” bisa menemukan titik terbaiknya. Yang kemudian saya katakana kepada sutradara jika saya ingin menonton kembali pementasan tersebut tentu dengan aktor yang lebih prima.***

Penulis

Rika Rostika Johara, Mengenyam pendidikan psikologi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pegiat seni teater, aktif di Ngaos Art Foundation, dan jurnalis di Kabar Priangan, sekarang tinggal di Tasikmalaya