Karya seni ibarat hujan yang menebarkan manfaat bagi sekitarnya, memberi hidup atas yang mati, yang rusak, yang kering.
Karya seni ibarat hujan yang dirindukan publik atas derasnya pembangunan ugal-ugalan pejabat publik yang menyengsarakan kehidupan manusia, hewan, dan lingkungan.
Karya seni ibarat hujan yang menyirami hati yang gelap, menyadarkan yang tersesat, membangunkan yang tidur !
Karya seni ibarat hujan yang dirindukan publik atas ketidakadilan di segala zaman.

Kutipan kalimat di atas adalah jembatan bagi penonton untuk menyelami maksud hujan yang menjadi latar belakang pameran “Hujan Pertama” yang diselenggarakan oleh Lelabuhan Art Management. Pameran bersama ini menghadirkan 34 karya dengan tajuk “Hujan Pertama” di Rumaharihari, Cari Nagari gg Nakulo, Kembaran, Tamantirto, Bantul, Yogyakarta. Berlangsung tanggal 9 Februari – 23 Februari 2025.
Lineof perupa muda asal Medan yang menggawangi Lelabuhan Art Management, mengaku telah berpameran tunggal sebanyak 18 kali di Yogya, Bali, Jakarta dan Bandung. Perupa yang sempat mengenyam pendidikan di Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) ini cita-citanya dari dulu ialah pameran bersama yang ia inisiasi sendiri, namun selalu gagal dengan berbagai macam faktor.
Pameran seni rupa bertajuk “Hujan Pertama” ini merupakan keberhasilan dari cita-citanya selama ini dan ia menggandeng seniman muda: Edi Bonetski, Emte, Bodhi IA, Shapek, Digie Sigit, Patub Porx, Samantha Sadik, Natalia Peraita Jimenez.

Pameran ini dibuka oleh Titi Widiningrum yang mewakili Rumaharihari dengan ditandai pembacaan puisi tentang hujan sebagai media perjuangan. Mbak Titi sapaan akrab para seniman mengaku kaget diminta untuk membuka pameran tersebut, karena tidak ada tercantum dalam poster. Jadi ditodong untuk buka pameran gitu aja. Meski ditodong ia merasa senang membuka pameran seniman-seniman muda itu, harapannya para seniman muda bisa lebih baik merealisasikan apa yang mereka perjuangkan.
Hujan Pertama dalam pameran bisa jadi sebagai simbol harapan, kehadiran masa, menghadirkan tokoh pergerakan, tokoh revolusi. Setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya, pun juga relefan untuk melatarbelakangi pameran ini. Dalam ketenangan hujan bisa membuat orang tidur lelap dengan nyaman maupun memanjatkan doa-doa dengan khusyuk. Aroma hujan yang khas (Petrichor) membuat orang nyaman karena aroma tanah basah dan suaranya yang menenangkan otak.
Suara hujan (White noise), dapat merasuk menjangkau dua tipe frekuensi pendengaran kita. Sebab ada batas-batas frekuensi yang tidak bisa diterima pedengaran, biasanya yang terlalu frekuensi keras atau yang teramat lembut. Suara hujan berada di antara dua frekuensi tersebut sehingga bisa terdengar secara sempurna. Ritme suara hujan yang teratur mirip dengan denyut alami tubuh manusia, seperti detak jantung atau napas saat sedang rileks. Itulah yang membuat suasana meditatif kala hujan turun.

Karya Lineof ” Penyebrangan” spray paint, marker on plywood 2023. Berlatar gradasi warna hijau dan hitam, terdapat titik-titik putih menyerupai jembatan tali yang menghubungkan satu tempat ke tempat lain. Dalam spiritualitas Islam mengenal istilah jembatan Shiratal Mustaqim, suatu jembatan yang diumpamakan seperti rambut yang dibelah menjadi tujuh dan sebagai satu-satunya tempat yang harus dilewati untuk menuju surga.
Seperti dalam spiritualitas Budha ada delapan jalan kebenaran, Kedelapan jalan kebenaran itu adalah pandangan benar, niat benar, ucapan benar, perbuatan benar, mata pencarian benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar.
Namun dalam karya Lineof jembatan itu nampak sebagai upaya dirinya mencari petunjuk jalan yang lurus (Ihdinas Sirotol Mustaqim”, “Tunjukilah kami jalan yang lurus”. ) ia menitik perjalanan hidup dari jalanan hingga memutuskan untuk memilih seni rupa menjadi media perjuangan dunia akhirat dengan titik-titik putih berkesinambungan. Bila dilihat secara seksama ada enam anak tali dan dua tali panjang yang menjadi topangan keenam anak tali dalam rangkaian jembatan tersebut.
Karya Digie Sigit ” Senyum Syukur ibu Pariah” Stencil art on canvas, 150x90cm 2025 menggambarkan perjuangan seorang ibu membawa bakul berisi bibit padi, ini mencerminkan ia seorang petani yang tentu juga menganggap hujan sebagai berkah dan perjuangan hidup yang ia jalani menjadi harapan bagi keluarga kecilnya.
Lain hal dalam karya-karya Emte, sebagian orang menganggap hujan mengganggu aktivitas pejuang rupiah di jalanan, orang mesti ribet memakai payung ataupun mantel untuk meneruskan perjalanan. Karya Natalia Peraita Jimenez ” The first rain” Acrylic on canvas 2025 hujan digambarkan dengan goresan dan tumpukan warna ekspresif, mengedepankan rasa yang diperoleh ketika hujan turun. Perasaan senang, nyaman, dan berkeluh kesah menjadi satu.
Karya Patub Porx No lunch is free Drawing on paper, plate, Variable dimension 2025. Menyoroti program pemerintah yang menyediakan makan siang gratis untuk anak-anak sekolah. Kebijakan penyelenggara negara yang disambut baik di beberapa pelosok daerah, namun juga diprotes di berbagai kalangan karena membebani anggaran negara dan menjadikan tanah-tanah adat sebagai tumbal kebijakan, hutang negara bertambah banyak untuk mewujudkan program tersebut.

Keseluruhan karya-karya yang disajikan dalam pameran ini memiliki daya tarik berbeda dengan pameran-pameran lainnya. Lineof selaku penyelenggara pameran ini berharap bisa lebih banyak menggelar pameran selanjutnya di Yogyakarta. Mengapa di Yogya? Sebab banyak seniman belajar dan bertarung di kota ini. Banyak pula yang menganggap Yogyakarta sebagai Ibukota Seni Rupa Indonesia.
PENULIS

MEUZ PRAST, Seorang Perupa muda yang aktif melukis dan berkegiatan seni rupa. Saat ini sering menjadi Master of Ceremony (MC) diberbagai hajatan seni. Perupa berpenampilan rapih lulusan Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) ini sedang sibuk berkarya. Menyiapkan pameran-pameran selanjutnya.