Disaksikan daun pintu yang terkunci dan gorden jendela motif bunga birkin yang melambai tertiup kipas angin_yang setia tengok kanan kiri serupa kepala kiai yang mendengungkan tahlil_adegan pembuka dimulai. Runi memelorotkan celana dalam Ron dengan manja ketika cecak yang menempel di pigura foto atas meja, penasaran dengan kelakuan mereka berdua. Adegannya agak mirip dengan film di laptop yang (tak sengaja) mereka lihat bersama teman cecak yang lain kemarin, tetapi kalau yang di laptop itu suaranya agak berisik. Yang ini kalem sekali. Dan sedetik kemudian, ada suara jerit sedikit yang membuat cecak ini pun ikut kaget. Runi menyipitkan mata. Jidatnya mengerut.
“Ya Robbi, Mas belum sunat?!”
***
Ron datang ke kota ini hanya dengan modal nekat. Telah ia dengar dulu, di balik kota ini yang glamor dan songong, ada juga jutaan orang pekerja keras di dalamnya. Kota yang terlahir di tepian teluk dengan pipi menggembung seolah ia tak tahan dengan asupan asin air laut dan dipaksa terus menampung di mulutnya. Daratan yang lebih rendah dari lautnya. Ron mengira, suatu saat nanti, entah puluhan atau ratusan tahun kemudian, bisa saja garis tepi laut akan berpindah ke Pasar Minggu, Bintaro, atau sampai Pondok Labu.
Namun, persetan dengan itu semua. Di kota yang individualis ini, urusan nomer satu hanya perut. Yang kedua, selangkangan. Itu yang Ron rasakan sejak dulu ia masih diasuh tukang sayur hingga sekarang ia mendewasa dengan tubuh gembul dengan tato sendok garpu di perut. Ia tak ingin seperti temannya yang menggambari tubuhnya dengan tato naga berwarna emas di dada, atau gambar wajah kekasih yang sedang mengenyot puting susunya. Tidak akan. Apalagi dengan tulisan lebai di punggung milik temannya si Panjul. Sejatinya, hurufnya bagus dengan font gotik yang garang, tetapi berbanding terbalik dengan bunyi tatonya: penjaga jodoh orang. Bagi Ron, tato sendok dan garpu punya filosofi sendiri. Bagaimana ia bisa bertahan dalam kelaparan saat terdampar di kota yang tak pernah dingin ini.
“Anak setan! Kalau dibilang sunat ya sunat. Laki-laki jangan cengeng. Besok ibu ikutkan kamu ke sunat massal di kelurahan. Gitu doang nangis!”
Umpatan itu masih tersangkut di telinga. Serupa kotoran kuping yang enggan bersih dan terus ada. Jika dia anak setan, berarti ibunya juga ibu setan. Sayang, sampai hampir lulus SD, ia tak tahu di mana rimba bapak setannya. Lelaki yang tak tanggung jawab. Menelantarkan ibunya sendirian, bekerja sendirian, mencari makan dan membiayai sekolahnya sendirian. Kenapa ia yang harus dipanggil setan. Lelaki yang membuat ia ada di dunia itu seharusnya yang dipanggil setan. Tak memperdulikannya.
Ron kecil ketika itu baru pulang sekolah dan mendengar ibunya mengumpat di dalam kamar. Ia sudah terbiasa mendengar umpatan dan erangan. Namun, suara kali ini jauh berbeda dari biasanya. Seolah suara itu lebih menggelegar ketimbang rasa marah jika Ron malas belajar. Ron menunduk perlahan, mengintip dari bawah jendela samping kamar ibunya. Ia lihat tangan ibunya berlumuran cairan merah kental, sebagian tercecer di kasur. Ron terkesiap. Ludahnya serupa duri yang sulit ia telan. Melihat benda berkilat di tangan perempuan di depannya dengan cairan merah lumer di ujungnya.
“Kalau sunat dipotong titit-nya pakai apa ya Bu? Ron masih takut. Bagaimana kalau tahun depan saja.” Ron masih ingat pertanyaan kemarin malam, berusaha menawar.
“Tentu saja pakai pisau atau gunting. Hasilnya halus. Mana mungkin pakai gergaji. Mau punyamu amburadul? Ada juga yang pakai laser. Bisa dibentuk bunga pinggirannya. Kamu pakai yang murah saja, gunting atau pisau. Toh, sama saja nanti hasil dan fungsinya. Dan ingat, aku bukan dokter. Jangan banyak tanya. Aku cuma mau kamu jadi anak yang baik. Jangan kayak ibu. Tunggu tua keburu alot punya Lo. Ngerti kagak sih.”
Gunting dan pisau? Ron tak ingin memilih.
“Hei, kamu sudah pulang Nak. Maafkan ibu ….” Ron tak mendengar ibunya melanjutkan kata-kata saat ia tahu, Ron berdiri kaku di samping jendela. Suara ibunya kali ini melemah. Yang ia masih ingat tadi, ada teriakan panjang sebelumnya yang membuat ia gemetar di depan pintu, “Sialan Lo! Enggak bayar tiga kali. Lo kata lubang gua gratis, hah!”
“Masuk Nak. Tutup pintu dan bantu ibu membersihkan benda sialan ini!”
Ron sebenarnya takut. Antara ingin lari, berteriak, dan menangis. Atau tetap diam di tempat dan waktu tak berjalan. Namun, ibunya datang dan memeluk tubuhnya dari samping kamar. Ada suara sesenggukan di atas kepala Ron, memohon Ron segera masuk dari pintu depan dan membereskan semuanya.
“Jika setelah ini kamu tak bertemu ibu lagi, jangan sedih Nak. Ingat, laki-laki tak boleh menangis. Menangis hanya pekerjaan wanita. Kau ibu doakan jadi lelaki yang tangguh. Lelaki yang kuat. Juga jujur. Ingat, kamu harus janji untuk lebih baik lagi. Dunia ini tak seindah karangan picisan para penyair Nak. Sebisa mungkin jika kamu selesai bertualang, berjanjilah untuk mencintai satu wanita sampai akhir hayatmu. Ingat-ingat pesan ibu Nak.”
Itu adalah ucapan terakhir ibunya, karena sehari setelahnya, ketika ia pulang sekolah, kontrakannya sudah dipasang tali kuning melingkar. Ia tak tahu ke mana ibunya. Setelah itu, petualangan Ron kecil dimulai. Mirip cerita-cerita petualang di film-film.
Ron hidup berpindah-pindah. Dari diasuh tukang sayur yang tak punya anak, hingga jadi marbut masjid, tetapi hanya sebulan karena ia ketahuan membobol uang kotak amal. Ron kecil saat itu lupa pesan ibunya untuk jujur dalam situasi dan kondisi apa pun. Namun, kadang teori tak sesuai kenyataan. Di kota ini, jadi orang jujur kadang malah hancur. Ron, selalu memposisikan diri dalam situasi dan kondisi.
Hingga pelabuhan terakhir ia diasuh Abah tukang parkir Indoapril di salah satu sudut kota yang jaraknya lebih dari dua puluh kilometer dari tempat tinggalnya yang dulu bersama ibunya. Ia bertemu ketika Ron sering duduk termenung dengan kaus lusuh dan tatap hampa. Atas nama iba, ia diasuh Abah. Dan di tempat yang baru ini, Ron memulai jadi tukang parkir.
Perjalanan panjang Ron kecil hingga dewasa ternyata tak lepas dari kata orang yang bilang, ibu kota lebih kejam dari ibu tiri. Dan di sana, di tempat Abah, perut Ron ditato sendok garpu atas permintaan Abah yang di dadanya juga ada tato naga. Sebuah doa dari Abah agar Ron kuat menghadapi apa pun. Betapa Ron harus ingat, urusan perut, kadang bisa membuat orang gelap mata. Benar saja, cerita itu tenyata membawa Ron melihat pisau yang berkilatan untuk yang kedua kali. Benda lancip berkilatan itu menusuk berkali-kali perut Abah. Seperti yang Ron lihat belasan tahun silam tentang ibunya. Di gang sempit samping makam, Ron melihat Abah terjungkal. Lalu umpatan teriakan mengambang. Seolah mereka tak puas dengan bagi lahan parkir.
Ron kabur, berlari. Menjauh. Tak tahu harus ke mana lagi melangkah. Ia usap lembap pipinya. Teringat kata ibunya, lelaki tak boleh menangis. Ia harus kuat. Satu kata itu membuat Ron berusaha mencari cara bagaimana tubuhnya nanti benar-benar kuat. Tak tembus benda tajam apa pun. Seolah melampiaskan dendam masa lalunya dan melindungi dari kengerian yang bisa saja mengincar nyawanya, Ron menemui dukun.
“Empat sehat lima janda. Itu yang harus kamu ingat. Empat arah penjuru mata angin di mana kamu melangkah mencari rezeki dalam hasrat, tekad, niat, dan sehat. Cari janda yang masih perawan. Setelah menemukannya, kau tahu apa yang harus dilakukan bukan?”
“Bukannya empat sehat lima sempurna ya Mbah? Lagi pula apa ada janda yang masih perawan?”
“Duh, dari guratan di dahimu, kau terlihat telah melalui banyak kegetiran dan kepedihan hidup. Seringlah banyak belajar anak muda. Itu semboyan karangan guru bahasa Indonesia. Kau punya mulut dan telinga. Kau tahu di mana janda yang ditinggal mati suaminya atau apa. Jadilah orang yang kreatif. Banyak melihat, banyak mendengar. Biayanya semua delapan ratus. Ini bukan akhir pekan. Tidak ada diskon. Itu saja nanti masih dipotong pajak penghasilan oleh pemerintah. Asem ‘kan! Ada uang ada mantra, ada ritual. Oh ya, konsultasi selanjutnya dengan biaya bertingkat per sesi. Deal?”
Kali ini Ron yang bilang asem dalam hati. Ia akui dukunnya intelektual, tetapi mata duitan. Namun, demi apa yang Ron cita-citakan, ia akan melakukan apa saja. Hingga Ron bertualang dari tahun ke tahun, sambung menyambung dalam pencarian lima janda perawan itu, hingga sampailah ia bertemu Runi. Janda keenam yang seharusnya Ron sudah berhenti. Jika lima janda sebelumnya selalu ditinggal mati entah saat akad atau terlalu kegirangan di malam pertama hingga kena serangan jantung, tidak bagi Runi. Ia ditinggal begitu saja saat baru saja selesai menikah.
Ketika Runi menceritakan perihal “jeruk makan jeruk”, Ron akhirnya paham akan ke mana cerita itu bermuara. Ron menggeleng. Cuma laki-laki bodoh dan tolol yang belum tahu begitu indahnya wanita dan semua yang ada di dalamnya. Malah menyukai lubang lain. Dan hanya Runi yang mengajaknya menikah. Lima janda yang lain hanya mengincar uangnya sebagai kepala preman pasar. Mereka tersebar di berbagai daerah, dan Ron kabur dengan menanggalkan nomor teleponnya agar tak terlacak. Namun, menatap raut wajah Runi, seolah Ron melihat wajah tulus mendiang ibunya dulu. Jika waktunya telah tiba, ia harus mengakhiri petualang, jadi lelaki yang baik, jujur, dan berjanji mencintai satu wanita sepanjang hayatnya, pesan ibunya seolah bersuara dalam kepala.
“Jika Abang Ron cinta sama Runi, Abang harus janji setelah ini, Abang tak lagi mempermainkan wanita seperti dulu-dulu. Sudah cukup sakit hati ini pada mantan suami. Runi tak ingin mengulang itu sekali lagi. Jika Abang sanggup, besok kita ke penghulu. Sederhana saja. Tak usah mewah-mewah pestanya. Toh, kita sama. Tak punya orangtua, tak punya saudara. Kita cari wali hakim.”
Ketika pesta sederhana pernikahan usai, dan malam terasa begitu panjang untuk mereka, Ron datang ke kamar. Ron sebenarnya berbohong pada dirinya sendiri. Dulu, ketika selesai melakukan ‘ritual’ pada janda perawan ke lima, ia pernah mencoba iseng mengiris pergelangan tangannya dengan pisau. Meski dahinya berkeringat dan dadanya bergemuruh hebat, ia tetap nekat. Namun, ia tak meneruskan perbuatannya. Betapa ia trauma dua kali dengan benda berkilatan dengan ujung lancip itu. Ia pun belum memberi tahu perihal ‘anunya’ yang masih original dan belum dipotong ujungnya. Dan ketika Runi tahu Ron belum sunat, ia menolak melanjutkan.
“Bentuk agak beda, rasa tetap sama. Ini serupa comro dan misro. Mungkin yang lain gurih dan pedas, yang ini sedikit ada manis-manisnya.” Ron menjelaskan dan melihat Runi meringis tertawa.
“Besok kita ke tukang sunat.”
Runi mengelus-elus telinga Ron hingga ke tengkuk belakang. Ia mengusap rambut atas Ron dengan manja. Betapa puluhan tahun lalu, ibunya sering melakukan hal itu pada Ron, meski kadang umpatan-umpatan sering ia terima jika terlalu nakal. Serupa sengatan listrik yang lembut dan memabukkan, Ron ingin menangis, tetapi ia ingat pesan ibunya. Lelaki tak boleh menangis. Yang teringat selanjutnya hanyalah ketakutannya. Ada kenangan lalu yang berderet di tempurung kepala Ron, betapa ia ngeri dengan sebuah benda bernama ‘pisau’.
“Tinggal pilih pakai laser, pisau, atau gunting kok. Rasanya cuma kayak digigit semut.”
Semut? Semutnya pasti besar sekali hingga bisa membuat bengkak. Itu yang Ron ingat ketika temannya tiga hari selesai disunat dan ia melihat kelaminnya menggembung lebih besar dari biasanya.
“Abang cinta ‘kan sama Runi? Besok pagi kita berangkat ke tukang sunat.”
Malam terasa benar-benar panjang dan Ron tak bisa tidur. Di atas ranjang, di samping tubuh yang sudah begitu nyaman memeluk dadanya yang telanjang dada. Runi tetiba terbangun, baru sadar ada tato gambar sendok garpu menyilang di perut Ron yang gemoy.
“Eh, ini gambar apa? Kayak simbol warung makan. Hahaha …”
Ron ikut tertawa. Mencubit manja pipi Runi meski dalam dadanya ada perih jika mengingat arti sendok garpu itu. Namun, yang Ron terus pikirkan dalam kepala, bagaimana jika ilmu kebalnya benar terbukti dan Ron tak akan pernah bisa disunat. Semua benda tajam tak akan bisa melukai tubuhnya. Kulupnya akan alot serupa kulit lembu tua. Apa Runi akan tetap mencintainya? Sedangkan dukun itu sudah meninggal dan ia tak tahu mantra penawarnya.
Malam benar-benar terasa sangat panjang bagi Ron.
Biodata Penulis:

Dody Widianto lahir di Surabaya. Karyanya tersiar di berbagai media massa. Silakan kunjungi akun IG: @pa_lurah untuk kenal lebih dekat.







Temanya lucuk.. 🤭👍