Rabu, Desember 24, 2025
No menu items!

BAYI DENGAN BEDIL DALAM MULUTNYA

Must Read

Aku memiliki bedil dalam mulutku. Bedil itu tumbuh dalam diriku sejak aku dalam kandungan ibu. Pelatuknya hanya akan mengetuk peluru keluar apabila aku bersuara kencang, dengan kata lain, berteriak.

Bisa kalian bayangkan, bagaimana brutalnya kondisi ruang bersalin saat aku lahir. Pertama kalinya aku keluar dari perut ibu, aku tidak menangis. Sebagaimana menjadi prosedur pemeriksaan awal, tentu aku dibuat menangis oleh dokter karena memang bayi baru lahir, normalnya, harus menangis.

Dokter menepuk dada dan bibirku. Beliau juga mengejutkanku dengan seolah melepas pegangannya di punggungku. Aku terkejut, sangat, dan takut. Tidak pernah aku merasakan hal seperti ini ketika di dalam perut ibu.

Perasaan ini membuatku marah, aku menangis keras. Berteriak sekencang-kencangnya. Dokter merasa lega.

“Wah, kencang betul tangisannya. Sehat sekali ini ibu anaknya. Jantungnya ku…..”.

Dor! Suara tembakan yang begitu kecil, kalah oleh tangisanku.

Dokter itu tertembak bedilku, tepat di tengah kedua alisnya. Beliau terhuyung-huyung dan suster di dekatnya segera menangkapku sementara temannya sejawat dokter di ruang bersalin berusaha menolong si dokter.

Dor!

Tembakan kedua mengenai dada suster. Suster langsung membelalakan matanya lalu terjatuh ke belakang. Aku tertelungkup di dadanya dengan posisi kepala miring ke kiri, dan

Dor!

Kebetulan di arah situ, salah satu teman sejawat dokter sedang berusaha menutup luka di kepala, dan ia teriak kesakitan karena tiba-tiba telapak kakinya tertembak bedil dalam mulutku.

Aku masih terus menangis ketika salah satu dokter muda menggendongku dan membawaku pada ibu. Ketika ia berhasil meletakkan aku di dada ibu, perutnya kutembak dengan bedil di mulutku.

“Sudah sayangku, anakku, sudah cukup. Sudah ada ibu di sini memelukmu. Ini ibumu, anakku”.

Suara itu, suara lembut yang setiap hari kudengar dari dalam perut, seketika menenangkan emosiku. Ketika kulitku menyentuh dada ibu, aku juga merasa familier dengan aroma tubuh ini. Aku merasa aman dan berhenti menangis.

Kekacauan dalam ruang bersalin itu pun terhenti, namun diselimuti dengan kebingungan di mata paramedis yang masih hidup. Mereka tidak tahu dari mana tembakan itu karena memang suara bedilku kalah dengan suara tangisku yang menggelegar. Mereka hanya berpikir ada orang jahat yang sedang mengincar aku dan ibuku, jadi dokter yang tadi hanya tertembak di kaki, segera membawa kami ke ruangan lain yang ia rasa lebih aman.

Di hari yang sama, ibu membawaku pulang. Aku masih belum mengerti apa-apa, hanya merasakan kehangatan ibu. Jadi sejak itu, aku jarang sekali menangis. Kalaupun aku menangis, selalu saat ibu tidak ada. Ketika ibu kembali, aku berhenti menangis.

Dengan naluri keibuannya yang kuat, ibu selalu tahu apa arti tangisku. Jadi ketika ada ibu, aku bisa menahan tangisku. Suatu hari aku menangis, ibu tahu aku lapar dan ibu langsung menyusuiku. Lain waktu aku menangis, ibu tahu popokku penuh sehingga ibu langsung membersihkan aku dan mengganti popoknya.

Aku tidur di keranjang bayi yang terletak agak jauh dari ibu. Ibu tidur sendiri di kasurnya yang sebenarnya cukup untuk dua orang. Sampai sejauh ini, aku belum pernah menembak ibu.

Sekarang usiaku sudah tiga bulan, aku sudah mulai bisa melihat dan memahami pemandangan di sekitarku. Pemandangan yang paling sering kulihat adalah plafon dan dinding-dinding kamar yang dipenuhi bekas tembakan. Kuperhatikan lagi sekeliling, kamar ini begitu berantakan dan gelap, tetapi bersih. Kasur ibu yang besar selalu dihiasi sprei bermotif bunga. Aku tahu itu bunga karena ibu sering membawaku ke taman rumah kami yang begitu luasnya dan mengenalkan aku dengan bunga-bunga.

Tampaknya ibuku begitu suka dengan bunga. Dinding kamarnya berlapis wallpaper bunga bernuansa shabby. Gorden jendela juga bermotif bunga. Sayangnya beberapa bagiannya, seperti yang sudah kubilang tadi, banyak bekas tembakan bedil dari mulutku. Tapi aku rasa ibu lebih menyukai dan menyayangiku sehingga ibu tidak pernah memarahiku sekalipun meski aku menembakkan bedilku ke sana.

Suatu hari, saat usiaku sudah enam bulan, samar-samar aku mendengar suara yang begitu asing. Suara berat itu sepertinya sedang berbicara dengan ibuku. Suara itu berat dan kasar, tidak lembut seperti ibu. Tapi aku bisa mendengar ibu tertawa kecil dengan merdunya.

Aku jadi penasaran dan panik. Aku menangis kencang sekali, bedil di mulutku memuntahkan banyak sekali peluru. Terdengar suara tapak kaki berlari. Ibu membuka pintu perlahan, mengintip ke mana posisi kepalaku. Ibu mulai merangkak pelan sambil mengajakku bicara.

“Sayang… sayangnya ibu…sayangnya ibu yang manis tenang ya… Jangan menangis. Ini ibu.”

Ibu mendekatiku dari belakang, menggendongku sembari menahan kepalaku agar tidak menghadap ke tubuhnya. Aku merasa hangat dan kehangatan itu membuatku aman, sehingga aku melupakan tangisku dan langsung terdiam.

Brak!

Pintu kamar terbanting terbuka dan tampak seorang yang bentuknya berbeda sekali dengan ibuku. Rambutnya pendek ikal, bahu dan lengannya sangat besar. Ada bulu di dadanya dan telapak tangannya terlihat kasar.

“Apa-apaan ini, ternyata kamu sudah punya anak?! Kamu bukan gadis lagi? Dasar perempuan penipu.”

Ibu terkejut dengan itu semua, tanpa bicara apa-apa, ibu menghadapkan aku pada orang itu. Aku terkejut karena tidak pernah melihat manusia selain ibuku. Apalagi bentuknnya kasar begini. Aku pun langsung menangis meraung-raung.

Dor! Dor! Dor! Dor!

Pelatuk bedilku tak berhenti mengetuk peluru, dan peluru itu menembus berbagai bagian tubuh orang itu. Dadanya, kepalanya, perutnya, pinggangnya, bahunya, bahkan selangkangannya.

Bruk!

Tubuh besar itu terjerembab di depan pintu kamar. Berlumur darah merah kehitaman yang mulai mengotori lantai. Melihat darah itu aku berhenti menangis. Aku teringat waktu pertama kali dilahirkan. Setelah melihat darah berantakan, aku bertemu dada ibu dan suara ibu yang menenangkan.

Ibu mengusap kepalaku sebentar lalu membaringkan aku kembali ke kasurku.

“Bayi manisku, sekarang sudah tenang ya. Kamu tidurlah, Nak, ibu perlu bersih-bersih sebentar ya. Anak pintar”.

Aku tiduran sembari menghisap jempolku. Sayup-sayup terdengar suara ibu merogoh-rogoh saku orang itu, mengeluarkan isinya yang ternyata cukup tebal dengan uang, lalu menyeret mayat orang itu keluar dari kamar.

Ibu cukup lama di luar kamar, sesekali aku mendengarnya seperti sedang mengetuk-mengetuk sesuatu. Suaranya persis seperti ketika ibu di dapur entah sedang apa, namun tak lama membawakanku kaldu tulang ayam. Tapi kali ini, kutunggu-tunggu tidak ada kaldu untukku. Aku pun ketiduran dengan jempol masih dalam mulut.

Aku terlelap cukup lama sampai perutku tiba-tiba minta susu. Aku mulai membuka mata dan belum menemukan ibu di kamar. Aku pun menangis kencang mencari ibu.

Ibu pun datang dengan tangan belepotan tanah. Ibu juga tampak membawa vas berisi bunga-bunga yang cantik. Setelah meletakkan vas itu di meja riasnya, ibu mendekatiku perlahan dan menenangkan aku.

“Uh sayangku, anak pintar ibu. Tenang ya, sini menyusu dulu pada ibu. Habis nyusu tidur lagi ya, ibu belum selesai beres-beres. Nanti kamu bangun, ibu ajak berbelanja. Selama beberapa hari ke depan, kamu bisa makan dengan kaldu kaki sapi dan sayuran serta buah-buahan!”.

Sambil menyusuiku, ibu menghitung lembaran-lembaran kertas yang dia dapatkan dari kantong orang tadi. Ibu tersenyum lebar sekali, lalu mengajakku ke jendela untuk melihat taman.

“Bulan depan taman ini akan menjadi penuh dengan bunga-bunga karena ibu tadi baru memupukinya dengan pupuk yang bagus!”

“Rasa-rasanya jika kita bisa melakukan ini dua bulan sekali, ibu akan mampu memberikan makanan yang sehat dan lengkap untukmu, Sayang, bahkan yang mewah! Taman kita pun juga akan semakin rimbun dengan warna-warni yang cantik. Terima kasih ya, Sayangnya ibu!”

Profil Penulis

Karol Pancho adalah seorang penata kata, kuli tinta, dan pembaca yang malas. Penjaga Rawa Buaya yang semakin tua semakin menikmati kopi tubruk sendirian sambil bikin coret-coretan. Temukan dia di IG @karolpancho

komentar-komentar

Selain jalan ceritanya yang menarik ini, bahasanya lugas, narasinya sederhana tapi efektif. Alku bisa membayangkan tiap ruang, suasana dan rupa tokoh-tokohnya. (Wihambuko Tyaswening Maharsi, Redaktur cerpen jelata.co)

cerpen yang menarik tentunya. aku cuma membaca tentang perempuan yang menekan perasaannya. jadi butuh bayinya buat melakukan hal yang sebenarnya ingin dilakukan sendiri. Juga semua perbuatan yang dilakukan oleh bayi yang baru lahir seolah itu adalah tindakan dari sosok yang tak berdosa.

Kenapa ya aku nangkepya tentang perempuan yang sakjane (sebenarnya) penuh sakit tapi tak ingin tampak sakit. (Veni Poerbowati, Guide Pariwisata)

Artikulli paraprak
Artikulli tjetër
- Advertisement -spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img
Latest News

CATATAN PERJALANAN BENGKEL BENGKEL MIME KE TIMUR #1

Komunitas di Kudus dan Romo Ipeng Catatan ulang memahami, mengerti dan menyirami Latar Belakang lahirnya gagasan "Mandala Indoneis Cinta" Bengkel...
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img