Senin, Juni 9, 2025
No menu items!

Tentang Mikroba

Must Read

Di Jombang, tanah kelahiran kami, warga telah mendapatkan akses pendidikan yang memadai, mudah dijangkau dan sesuai standar pendidikan nasional. Akses jalan desa pun sudah baik dan tak lagi becek berlumpur. Kami berpikir, jika ingin membantu masyarakat, kami harus keluar dan mencari kawasan lain. Kami pernah berkegiatan di tempat terpencil di luar tanah kelahiran, tapi karena satu dan lain hal akhirnya kami sudahi.

Setelah sekian lama berkutat dengan kegiatan perkuliahan, suatu hari salah seorang teman bercerita tentang satu kawasan yang relatif sulit dijangkau masih di Kabupaten Jombang. Meski dengan sedikit tidak percaya, keinginan kami untuk menemani masyarakat-pinggir muncul kembali.

Seolah layang-layang bertemu angin, keinginan kami pun mengudara. Pada kesempatan lain, kawasan itu pun kami kunjungi. Kawasan itu bernama Dusun Rapah Ombo, Desa Pojok, Kecamatan Plandaan, Kabupaten Jombang. Waktu itu kami belum memiliki rencana membentuk komunitas. Kunjungan pertama kami isi dengan memperkenalkan diri kepada beberapa petani dan melihat lahan pertanian mereka. Bukannya tanpa alasan hal itu kami lakukan, latar belakang pendidikan kami banyak di bidang pertanian.

Untuk bisa berkegiatan di sana kami butuh bantuan beberapa teman lagi yang rela menyisihkan waktu untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman. Mau bersusah-susah masuk ke dusun melalui jalan berbatu-batu dan berlumpur ketika musim hujan. Siap terisolasi dari komunikasi modern, -jangankan jaringan internet 4G, menemukan sinyal provider saja membuat kami merasa sudah beruntung. Untuk bisa terhubung dengan jaringan provider kami harus pergi dan mendaki perbukitan Sela Lanang. Hanya itu cara kami ketika ingin berkomunikasi dengan yang berada jauh di luar dusun.

Di dusun Rapah Ombo, Pembangkit Listrik Tenaga Surya menjadi andalan untuk memenuhi kebutuhan listrik untuk alat elektronik, seperti televisi dan sumber penerangan sehari-hari. Baru beberapa minggu ini saja –saat tulisan ini dibuat- jaringan listrik dari PLN masuk. Sebuah perubahan yang menggembirakan hati.

Sehari pertama di Rapah Ombo, kami menemani anak-anak usia sekolah dasar belajar -dan kelak inilah yang menjadi kegiatan inti setiap minggunya. Saat belajar, kami mengemasnya seperti bermain-main dan sering kali kami ajak mereka keluar ruang, untuk mengamati atau sekadar bermain di alam. Kami ingin mereka merasa bahwa belajar itu bukan hanya di sekolah. Belajar bukan soal berapa angka yang didapat di rapor. Belajar merupakan cara kita untuk bisa lebih berdaya.

Di Rapah Omboh hanya ada satu Sekolah Dasar. Sekolah inilah yang selama ini memberi layanan pendidikan kepada anak-anak. Dengan segala kekurangan dalam layanan pendidikan, mereka tetap belajar. Tidak semua anak sudah bisa mengikuti pelajaran sesuai jenjang kelas mereka. Ini hal yang kami coba perbaiki. Mengasah kemampuan dasar mereka; membaca, menulis dan berhitung. Ketika mereka lulus sekolah dasar, mereka harus keluar desa untuk melanjutkan pendidikan di sekolah menengah. Setidaknya saat itu mereka sedikit banyak telah siap menghadapi pelajaran yang lebih menantang. Adakalanya, orangtua mereka mengirim anaknya belajar ke pesantren di sekitar Jombang. Pendidikan agama selalu dibutuhkan, meski nantinya mereka hanya akan menjadi petani di desanya sendiri.

Sering kali kesempatan berbincang dengan petani kami gunakan untuk bercerita tentang cara membuat pupuk dengan memanfaatkan bahan-bahan dari alam atau cara membasmi hama dengan bahan alami. Selain benih, pupuk dan pestisida adalah hal yang paling dibutuhkan oleh para petani, apalagi di tempat dengan akses jalan yang sulit dan pupuk industri kadang kala susah didapat. Pemanfaatan bahan alami sebagai alternatif untuk kebutuhan pupuk ini baik untuk dipelajari dan diterapkan. Ada kotoran ternak yang bisa dimanfaatkan, atau pupuk organik cair dengan bahan-bahan yang bisa dicari di alam atau dibudidayakan di sekitar lahan pertanian atau sebagai tanaman di halaman rumah. Inilah di antara cara kami berbagi pengetahuan untuk memotivasi petani agar mengoptimalkan potensi alam. Materi kami sampaikan melalui obrolan-obrolan santai dengan sesekali menyiapkan rokok tembakau yang kami linting sendiri.

Bagaimana cara kami menyampaikan gagasan kepada masyarakat Rapah Ombo? Kami memulainya dari ngopi. Kami ngobrol layaknya obrolan di hadapan secangkir kopi. Kopi yang kami minum adalah kopi yang sama, dari air yang sama, takaran yang sama, merek yang sama dan juga satu cangkir yang sama dengan warga. Maksud saya, kami mencoba menciptakan rasa yang sama. Tidak ada yang lebih pandai. Mungkin saja kami lebih beruntung bisa belajar sampai pendidikan tinggi dan pengetahuan tentang pertanian dan pendidikan kami terima lebih dahulu dari pada teman-teman di Rapah Ombo. Tapi mereka lebih beruntung karena memahami pertanian melalui komunikasi dengan alam dan dari apa yang pernah disampaikan generasi sebelumnya, yang kadang terdengar mistis bagi kami.

Tidak semua cara bertani mereka mengandalkan tradisi lama. Penggunaan pupuk dan pestisida pabrikan kadang lebih mereka pilih. Praktis, efektif dan efisien adalah alasannya. Namun kadang mereka mencoba mencampur dua merek berbeda untuk mendapatkan hasil yang lebih baik tanpa tahu prinsip kerja dari obat tersebut. Di titik ini obrolan kami mulai mengarahkan mereka. Meski kadang juga mereka kaget tak percaya. Setiap teori mesti diuji. Dan kami meminta mereka untuk menguji dan membuktikan.

Mulanya kegiatan di Rapah Omboh hanya kami laksanakan dengan beberapa teman saja. Seperti halnya virus, ketika kami pulang dan bercerita, beberapa teman lainnya ada yang mulai terjangkiti keinginan ikut datang ke Rapah Ombo untuk berbagi pengetahuan mereka sesuai disiplin belajar masing-masing. Latar belakang pendidikan kami yang berbeda memperkaya ragam pengetahuan yang bisa kami sampaikan. Di antara kami ada yang belajar psikologi, pertanian, ilmu pendidikan, dan ilmu tarbiyah.

Jumlah kami yang berangkat ke Rapah Omboh saat itu 12 orang. Seiring waktu, banyak yang akhirnya tidak pernah datang lagi karena berbagai kendala masing-masing. Tentu tidak semua beruntung bisa berbagi. Sebagian dari kami juga harus mencari biaya kuliah. Kami tidak bisa mengandalkan dan bergantung kepada orangtua. Kami juga tidak bisa memaksa rekan kami yang tidak lagi bisa terlibat. Beberapa orang yang bertahan inilah yang kami harapkan tetap bisa istiqomah dan mengajak orang lain untuk berbagi, walau hanya sekali.

Kini kami yang masih sering datang ke sana tinggal enam orang saja. Kami tidak memiliki susunan kepengurusan. Kami hanya menyebut komunitas ini sebagai Mikroba. Sinyo,  salah seorang teman yang pertama kali datang ke Rapah Omboh dan paling mampu mengkomunikasikan kegiatan kami dengan masyarakat selama di sana, kami percayakan sebagai koordinator. Kami sering kali dibantu teman-teman mahasiswa yang diberi tugas oleh dosennya untuk ikut dengan kami mendampingi anak-anak warga Rapah Omboh. Kami juga meminta bantuan warga bekerjasama untuk terlibat dalam proses pendampingan. Warga ini yang kami sebut sebagai ‘tutor lokal; yang juga memiliki peran sebagai penanggung jawab kegiatan dan mediator.

Anak-anak Rapah Ombo adalah poin penting bagi kegiatan kami. Kami berusaha mempengaruhi cara belajar mereka. Kami memandang setiap anak seperti tumbuhan dengan segala keunikannya masing-masing. Mereka akan tumbuh dengan bimbingan alamnya. Maka pembelajaran yang kami terapkan adalah usaha menumbuh kembangkan kemampuan alami masing-masing. Dalam pembelajaran, anak dengan kemampuan yang belum sesuai dengan jenjang kelasnya kami bantu agar tidak tertinggal.

Ada bakat atau kemampuan dan kepandaian alami mereka yang mungkin saja tidak akan bisa dipelajari dengan mudah meski oleh orang dewasa. Bakat yang diperoleh karena hubungan komunikasi dengan alam ini, masih dipandang tidak akan banyak berguna dalam kehidupan dewasanya nanti. Seperti bakat yang dimiliki Guntur, sembilan tahun, yang mampu membaca pergerakan ayam hutan, di mana ke mana dan bagaimana agar ayam itu bisa tertangkap dengan mudah. Ini adalah kemampuan istimewa dari bimbingan alam selama ini. Namun kemampuan yang demikian dianggap bukanlah sesuatu yang diperlukan.

Sekali waktu, anak-anak kami ajak untuk bermain peran. Meski tidak ada naskah pertunjukan dengan judul tertentu. Kami dan anak-anak mencoba memahami diri dengan mendalami peran sebagai diri sendiri. Dengan mengadaptasi seni teater, kami mengajak mereka sekali waktu berperan menjadi orang lain dengan tujuan mencari diri sendiri. Setidaknya, tak perlu menjadi orang lain untuk menjadi hebat. Itu yang kami coba tanamkan bukan hanya kepada anak-anak namun juga pada orangtua mereka. Di sini, bantuan tutor lokal kami butuhkan untuk bisa mengkomunikasikan kepada para orangtua.

Bantuan dari tutor lokal sangatlah berarti. Di sinilah terjadi komunikasi antara keinginan kami, keinginan warga dan faktor yang menyertainya. Tutor lokal lah yang paling memahami keadaan, kebiasaan dan tradisi masyarakat setempat. Berangkat dari hal yang mereka sampaikan lalu kami sesuaikan. Bukankah perubahan berangkat dari hal yang disesuaikan?

Tutor lokal ini terdiri dari ibu-ibu rumah tangga. Ada empat orang. Merekalah yang sering kami mintai bantuan dalam kegiatan. Selain mereka juga ada Cak Jum. Cak Jum memang tidak ingin tercatat sebagai tutor lokal, namun untuk mengkoordinasikan materi yang akan disampaikan, kami membutuhkan Cak Jum. Peran Cak Jum seperti peran seorang bapak yang bisa ngemong kami semua.

Beberapa petani yang mau mencoba metode bertani yang dibawa teman-teman merupakan rekan tani yang menyenangkan bagi kami. Mengingat sebagian dari mereka cukup berumur. Mereka punya semangat untuk mempelajari hal baru, seakan bagi mereka usia hanya hitungan semata dan untuk belajar jiwa mereka selalu muda.

Pada mulanya kegiatan kami dilaksanakan di rumah-rumah warga untuk program belajar dengan anak-anak maupun ketika berbagi pengetahuan dengan para petani. Kami selalu mencoba menyesuaikan keadaan. Pernah kami membuat kegiatan dalam rangka peringatan kemerdekaan Indonesia. Saat itu, sebagian jalan akan diperbaiki, dipaving block. Tumpukan paving itu kami hias bersama warga dengan menancapkan bendera merah putih dari plastik pada sisi-sisinya dan satu tiang untuk bendera besar. Dengan lampu sorot seadanya pada beberapa sisi tumpukan itu terlihat lebih menarik.

Kegiatan kami semakin fokus semenjak dibangunkan sanggar oleh warga secara gotong royong. Di sanggar, kami bisa mempersiapkan materi yang akan disampaikan. Anak-anak yang datang sebelum kegiatan juga bisa meminjam buku bacaan hasil donasi. Sebagian besar buku koleksi yang ada di sanggar adalah buku bacaan untuk anak-anak usia dini dan usia sekolah dasar. Buku untuk usia dewasa hanya ada beberapa, itu juga hanya dipinjam oleh tutor lokal. Harapan kami, kebiasaan membaca bukan hanya tumbuh pada anak-anak, orang-orang dewasa juga perlu punya kegemaran membaca.

Tanggal 9 Februari 2018 kami tandai sebagai setahun perjalanan terbentuknya Mikroba. Tentu, kami bukanlah satu-satunya komunitas yang ikut andil dalam pendampingan masyarakat. Lagipula ada bidang-bidang yang belum bisa kami jangkau; bidang kesehatan atau bidang keagamaan, misalnya. Dengan modal pengetahuan dan semangat kami mencoba untuk tetap berkegiatan. Untuk mencukupi operasional kegiatan, kami bergotong royong saling membantu. Semisal urusan transportasi, kami bisa gunakan motor teman yang kondisinya prima. Untuk makan kami bisa patungan membawa bahan makanan.

Ada banyak hal yang kami lalui bersama selama ini yang mungkin akan menjadi cerita tersendiri. Dan inilah cerita dari kami, Komunitas Mikroba.***

PENULIS

INUNG ARDIANSYAH lahir di Jombang, 22 Agustus 1988. Pernah menjadi tenaga pendidik di salah satu Sekolah Luar Biasa (SLB) di Jombang. Pernah aktif bersama komunitas pendampingan sosial dan pendidikan Mikroba. Sekarang aktif berkegiatan sosial bersama Komunitas Lintang. Ia sering ikut nimbrung di kegiatan sastra sebagai penyumbang tepuk tangan.

Artikulli paraprak
Artikulli tjetër
- Advertisement -spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img
Latest News

Puisi-puisi pendek Fathurahman Ramadhan

Kata Kata selalu tertinggalDari kebutuhan zamanBahkan kitaTak bisa menggambarkanLukaYang diberikan penguasa Yogya, 2025 Frasa Hingga kita mencoba trilyunan kombinasiKataMustahilMenemukanIstilah untukKegelapan ini Yogya, 2025 Klausa Pada sebagian...
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img