Kamis, April 24, 2025
No menu items!

Memainkan “Sepasang Merpati Tua” Pak Bakdi

Must Read

SEMARANG – Membayangkan teks drama yang ditulis oleh Bakdi Soemanto yang kuyub dengan dialog, tentu tidak setiap pemain teater berani mengekspresikan di panggung. Butuh dukungan gestur dan mimik yang total. Paling tidak, pemain  berupaya keras membangun kekuatan dialog yang nyaris tidak putus iramanya. Perlu selingan improvisasi yang bijak dan penuh renungan. Perlu setting suasana ngelangut seperti ketika usia kita bergulir memasuki hitungan senja.

      Terbangkan sejenak imajinasi kalian, ketika menua dan anak-anak saling pergi terbang memburu kehidupan – kita tertinggalkan. Berdua menjaga rumah. Dihantui hari-hari yang menua. Menghitung penuh kecemasan dan  kemesraan yang mengendap matang. Sama-sama tua dan berpotensi menggelincirkan kebosanan satu sama lain.

       Gambaran sekilas menguat kencang mewarnai penampilan prima  Niken Ardhana Reswari jadi tokoh Nenek dan Prieh Raharjo yang memainkan tokoh Kakek. Kapabelitas keduanya mampu tampil luwes di panggung. Nyaris tidak ada gangguan yang berarti kecuali suara  Niken di bagian awal terdengar kurang jelas beberapa kalimat. Saya yang duduk di kursi VIP bersama jurnalis Chritian Saputra merasakan itu. Seperti disentakkan kesadaran, Niken segera menyelaraskan hingga tontonan mengalir prima.

Terasa aman dari jebakan monotonitas dialog, secara keseluruhan Mas Ton sebagai sutradara lumayan tanggap pada materi teks. Variasi siluet mampu menggusur kejenuhan yang dikuatirkan. Imajinasi penonton larut terbangun. Penonton yang muda bisa tergoda membayangkan masa tua yang akan dialami kelak. Sebaliknya penonton senior  seperti yang disimbolkan sepasang merpati tua, bisa tahu diri. Serasa cermin yang bisa diformatkan untuk berkaca.  

Membayangkan perjalanan  Teater Lingkar, salah satu grup teater yang terhitung kesohor di kota Semarang, mengusung lakon “Sepasang Merpati Tua” adalah sebuah hiburan yang ditunggu publik. Tata panggung yang sederhana,  disimboliskan fungsi pintu dan jendela untuk melegitimasi ruang tamu terasa menarik. Pancingan memaksimalkan peran blocking terasa kental. Adegan sliwar-sliwer pemain – meski tidak terlalu frekuentatif terbaca jelas. Terasa sebagai tontonan yang mengalir. Ini barangkali yang ikut berperan menjaga penonton yang memenuhi isi gedung patuh menikmati hingga tontonan menyentuh pungkasan.

            Lakon yang memprioritaskan tokoh Kakek dan Nenek tetap terasa utuh meski dibumbui ilustrasi musik dan dilengkapi siluet yang menawan. Tontonan ini telah menunjukkan kelasnya para pemain melengkapi kesukssesan pementasan-pementasan lakon sebelumnya. Kita berharap, suguhan dengan tema dan nuansa berbeda akan terus digali untuk mengukuhkan keberadaan kelompok teater yang sudah bertarung memanggungkan persoalan kehidupan selama empat puluh lima tahun  (mulai  aktif  4 Maret 1980) tersebut.

Pentas yang bertempat di  Gedung Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang tanggal 15 Februari 2025, pukul 20:07 WIB didukung oleh: Pay, Sindhu, Sari, Alvin, Jibril, Namek, SigidKris, Ndhori, Shodiq, Fajar, Black, Aufa, Belqis, Mar, Jeng Dien, Fira, Aya, Fahmi, Rio, Edy, Jaya, Budi.

Kelangsungan kehidupan sebuah grup akan terasa manakala dinamika ditunjukkan dengan tampilnya generasi yang terus belajar di dalamnya. Mungkin diberi peran sederhana baru kemudian peran-peran yang menggerakkan tantangan. Sebuah pilihan yang sangat terasa ditaklukkan dengan baik oleh Niken Ardhana Reswari  dan Prieh Raharjo. 

Romantisme dialog di hari tua, mengimajinasikan pintu pagupon (kandang merpati), sesuai metafora  lakon.

Permainan bloking yang rapi, memberi peran  lancarnya pementasan.

Mas Ton, sutradara, memberi pengantar di panggung.

PENULIS

Budi Wahyono, penikmat teater, penulis teks drama, resensi, puisi, cerpen, esai, kolom, cerkak, geguritan yang tersebar di banyak media masa cetak  dan online. Tinggal di pinggiran kota Semarang.

- Advertisement -spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img
Latest News

Andai Aku Jadi Maghrib 

Adzan maghrib berkumandang. Sebuah penanda yang dinantikan. Semua orang yang berpuasa seolah terprogram untuk menunggu detik-detik  itu. Piring sudah...
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img