Saya belum menemukan istilah bahasa Indonesia yang pas untuk mempredikati dia. Mungkin kata “ngglidhig” (bahasa Jawa yang paling pas) paling cocok untuk disematkan pada Ramli Kancil ini. Bocah SD kelas dua ini memiliki jam terbang tinggi dalam soal berburu makanan. Sasaran yang sering jadi korban, sebutlah begitu, manakala ada orang punya perhelatan, Paling tidak kalau akan ada arisan, pertemuan dasa wisma hingga PKK.
Ramli Kancil selalu wira-wiri manakala ada perhelatan kecil-kecilan semacam itu. Entah bermain-main dengan sejumlah kawannya, atau pura-pura mencari ibunya untuk konsultasi. Ah, mengapa tidak dari rumah tadi, masalah minum obat, jumlah susu yang akan dibuat dan lain-lain sebagai bahan konsultasi?
“Paling-paling cari makanan,. Seperti tidak hapal ta Pak,” gurau istri saya. Istri saya kadang merasa heran, kok tahu saja tempat-tempat yang berpotensi bisa digaruk makanannya. Ya, garukan sebelum acara dimulai, pas pulang, bahkan pas acara berlangsung. Ini yang kadang-kadang mengganggu kekhidmatan acara.
Maka istri saya pun mencoba memanja Ramli Kancil setiap ketiban perhelatan. Dia menyediakan permen, jeli, kacang atom hingga puding. Manggis dan jeruk santang mungil-mungil menantang pun pernah digodakan untuk Ramli Kancil.
“Bu, Sabtu sore kita mau jadi tuan rumah PKK kan?”
“Ya Pak, ada usulan menarik?” tanya istri saya terbuka.
“Ramli Kancil mau kamu goda lagi dengan penganan atau buah menggiurkan?” cecar saya bertubi-tubi. Ia saya tersenyum manis.
“Libur nasional Pak. Sudah tidak mendidik,” jawabannya mengandung kejengkelan.
“Berarti tidak ada menu yang lebih ekslusif untuk anak kemalan panganan itu?” tanya saya ingin tahu.
“Ada Pak, tetapi mau tak akali. Demi pemerataan. Makanan anak-anak akan kami keluarkan di tengah tamu menjelang pulang saja. Biar bisa dibawa pulang. Tidak dihabiskan Ramli Kancil,” jelasnya. Saya maklum dan tambah geli.
Hari arisan PKK yang dijanjikan tiba. Saya sebagai tuan rumah membersihkan teras yang bisa menampung peserta satu RT itu. Saya sapu dan saya pel keramiknya. Di tengah kesibukan, eh! Oknum yang tidak kami rindukan sudah datang. Mimiknya penuh selidik dan tidak sabar bertanya:
“Akan ada apa ta Pak?” tanyanya.
“Akan ada diskon di mal, mudah-mudahan,” jawab saya ngawur.
“Di sini, maksudnya, bukan di mal,” selanya terkekeh. Tambah mboseni pikir saya.
“Akan ada arisan. Kamu pilih buah dondong apa salak? Biar kayak lagu anak-anak itu?” goda saya. Ramli Kancil mlengeh.
“Gak pilih, yang empuk-empuk saja,” jawabannya mantap.
“Ya sudah kalau begitu, saya lega. Berarti konsumsinya untuk ibu-ibu saja. Jadi nanti anak-anak tidak usah ke sini ya?” terang saya. Dia nampak kebingunan. Melihat tidak ada prospek yang diharap, dia pergi tanpa pamit.
Pukul 16.00 tikar lengkap dengan minuman dan makanan sudah tersaji. Bergaya seperti Pengawas Bidang Perkulineran, Ramli Kancil nyelonong lagi ke teras rumah. Maklum, rumahnya hanya belasan meter dari rumah saya.
“Lihatlah, tak ada makanan untuk anak-anak kan?”
Celingak-celinguk dia memeriksa. Lalu tersenyum:
“Sudah, tinggalkan saja, main-main sama anak-anak sana,” usir saya. Dia pun ngeloyor pergi. Lalu tiba saatnya ibu-ibu berdatangan. Lalu acara sekitar dua jam rampung. Lalu, sebelum pulang, istri saya memberi oleh-oleh bonus untuk anak-anak mereka. Termasuk Ramli Kancil. Saya membayangkan, apa komentar ceriwisnya ketika menerima oleh-oleh yang dibawa ibunya. Mungkin saya bakal kena tuduh “pembohong”.
Ditulis oleh Budi Wahyono, penulis humor yang tinggal di pinggiran kota Semarang.
