“Perubahan sulit pada awalnya, berantakan di tengah dan indah di akhir”- Pepatah entah
Berangkat dari “pepatah entah” itu kita diajak merenung tentang terjadinya perubahan. Darimanakah terjadinya perubahan? Mengapa bisa terjadi? Namun, sebelum jauh melangkah sebaiknya kita tanyakan pada diri kita sendiri terlebih dahulu. Apakah kita butuh perubahan? Apabila kita tidak butuh maka tak perlu kita repot-repot berpikir dan bergerak. Kita tinggal mengikuti arus dengan tenang. Aman.
Apabila kita butuh sebuah perubahan, maka harus melakukan banyak eksperimen-eksperimen. Untuk apa eksperimen itu kita lakukan? Tentu saja untuk membuat sebuah bentuk yang berbeda dari sebelumnya. Hari ini kita bicara dalam konteks penciptaan karya seni yang berangkat dari satu jenis karya seni menjadi jenis karya seni yang berbeda. Berbahaya, tapi bagi saya mengasyikkan.
Sebuah Awalan
Dalam bidang seni, saya memulainya dari menulis karya sastra baik itu puisi, cerpen, esai, naskah drama dan novel (khusus novel hanya untuk koleksi pribadi). Dari karya sastra itulah tumbuh menjadi berbagai macam bentuk karya seni, yang sebelumnya tak pernah saya sangka. Bagaimana mungkin itu semua bisa terjadi?
Jika diminta untuk menjelaskan saya kurang fasih menggunakan kata-kata yang cukup mewakili. Bisa jadi yang mendengar akan kebingungan memahaminya. Baiklah, saya akan sedikit bercerita perihal sepengggal proses kerja kreatif yang saya lakoni. Semampu saya menggunakan kata-kata untuk menyampaikan.

Terkadang saya heran sendiri mengapa kemudian bisa berkarya pantomim. Membuat pertunjukan teater, melagukan puisi, menggambar, menari bebas, bikin video puisi amatir, membuat patung keramik, dan menggerakkan peristiwa seni budaya di tengah masyarakat. Hal ini bukan perkara bakat atau orang menyebutnya multi talent. Karena saya tidak ada bakat di bidang seni yang disebutkan di atas.
Namun saya mencoba memahami dan mengerti, baik secara prinsip dasar (misal pantomim dan tari prinsip dasarnya imajinasi, tubuh dan gerak), teknik (metode, alat, ketrampilan) dan nilai (sejarah, fungsi, kekuatan, bahasa dll). Saya mempelajari itu semua meskipun tidak sempurna. Mungkin lebih tepatnya disebut “Multi Interest”, kata yang mewakili kerja kreatif saya.
Lantas apa yang menggerakkan saya untuk memulai kerja diberbagai bidang seni? Pernah suatu kali mencoba menelusuri mengapa bisa melakukan proses kerja yang begitu kompleks. Saya curiga karena hidup di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Negara yang setiap tahunnya mempunyai banyak agenda perayaan baik acara tradisional, keagamaan maupun nasional.
Terlebih lagi saya hidup di kampung, yang warganya wajib turut merayakan. Seperti hari kemerdekaan, hari kartini, sumpah pemuda, lebaran, perayaan kawinan, merti dusun dll. Masyarakat sebagai pelaku,bukan seniman tapi masyrakat yang membuat. Masyarakat sebagai penyaji, penyelenggara, sekaligus penyandang dana. Saya menjadi bagian dari masyarakat.
Dari sanalah kebebasan berekspresi saya tumbuh dengan bebasnya, tak peduli perayaan apa saja pasti turut serta meramaikan. Pada setiap perayaan tersebut ada bermacam pertunjukan dan aneka properti seni yang disajikan. Ada tarian, drama, sastra, musik, pemutaran film, menggambari tembok, membuat umbul-umbul, menganyam janur dan lain sebagainya. Semua itu dikerjakan secara bergotong royong.
Anak-anak sampai orang tua berperan menghias dan meramaikan kampung dengan daya kreativitasnya. Sedari kanak-kanak hingga remaja saya bebas tampil dan berkreasi baik dalam berbagai seni pertunjukan maupun tata rupa. Begitu juga dengan anak-anak seusia saya melakukan hal serupa, tak peduli hasilnya bagus atau jelek. Disini yang diutamakan adalah keberanian. Sekali lagi keberanian.
Membaca dan Eksplorasi
Ingatan dan pengalaman di kampung halaman membuat saya mempunyai ketertarikan berbagai bidang seni. Bagi saya seni bukanlah sebuah profesi tetapi lebih pada pengetahuan umum, media dan bahasa untuk berkomunikasi. Semua orang bisa melakukannya sesuai dengan kemampuan masing-masing. Sebab kesenian bukan semata-mata hasil karya tapi ada banyak unsur di dalamnya. Orang dapat mendidik diri dalam berdisiplin, berimajinasi, berpikir- kritis, mengolah rasa dan raga, dan mengasah sensitivitas indera.
Sebagai pengetahuan kita berhak mempelajari semua bidang seni untuk wawasan dan ekspresi. Saya bisa mengekspresikan pikiran dan perasaan lewat bahasa seni yang saya pelajari. Saya tidak berhenti berkecimpung pada satu bidang seni, mungkin lantaran ada batasan-batasan tertentu di setiap bidang seni. Ketika saya menulis puisi saya merasa terbatas pada kata-kata dan cenderung hanya bisa dibacakan. Maka saya berpikir bagaimana puisi bisa divisualkan atau menjadi peristiwa seni bersama. Karena akan semakin kaya secara bentuk dan dapat diapresiasi secara luas. Tidak berhenti pada kata-kata saja.

Apa saja yang kemudian saya lakukan untuk memvisualkan puisi-puisi? Saya memilih puisi-puisi yang potensial untuk divisualkan dalam seni yang lain, seperti pantomim atau teater. Bagi saya puisi yang imajinatif dan memberi kesan berbeda itulah yang potensial. Tentu saja sangatlah subyektif tolak ukurnya. Dan itu tidak masalah.
Selanjutnya saya membaca kembali puisi-puisi itu, dan banyak yang bermunculan dalam imajinasi. Karena saya sendiri yang menuliskannya maka saya paham betul dari mana puisi lahir. Jika itu puisi orang lain tentu saja saya berhak menafsirkannya lewat diksi dan metafor-metafor yang ada. Kemudian baru saya masuk pada tahap eksplorasi. Saya kira sama saja proses transformasinya.
Sekali lagi prinsip dasar yang ada dalam puisi seperti diksi, metafora, imajinasi, dan irama harus diperhatikan. Karena akan kita transformasikan ke dalam tubuh, mimik, gerak dan ruang. Unsur-unsur itulah yang kemudian akan bertransformasi menjadi daya gerak ketika eksplorasi, yang kemudian akan menemukan banyak pillihan bentuk. Bahkan akan memunculkan properti, setting, lighting dan kostum untuk mendukung estetika sekaligus esensi.
Selama kita melakukan eksplorasi, satu yang dibutuhkan yaitu intensitas. Kita musti melakukannya terus menerus secara rutin dan tercatat. Memang pada awalnya terasa sulit, dan jika terus kita lakukan lagi akan mengalami fase berantakan. Kita akan dilanda keraguan, kebingungan, pusing dan bahkan bisa jadi menjadi beban yang membuat depresi. Berbahaya kan? Dan hasilnya belum tentu indah seperti dikatakan dalam “pepatah entah” di atas. Namun satu hal yang harus kita catat bahwa kita telah melakukan kerja atau proses kreatif mencipta karya. Kita telah melakukan eksperimen. Dari sesuatu menjadi sesuatu. Itu yang disebut Nilai!
Kini puisi tak lagi berupa kata-kata yang hanya dibacakan lewat mulut. Puisi telah menjelma menjadi bentuk yang berbeda. Puisi akan lebih luas cara mengapresiasinya dan memberikan tawaran anyar bagaimana cara membaca puisi. Puisi itu telah menjadi. Terimakasih.
Yogya-Sala, Desember 2024