Pagi itu, Kampung Batara Lengsar terasa lebih sibuk dari biasanya. Hari Jumat adalah hari yang istimewa. Para lelaki kampung bersiap menuju masjid untuk sholat Jumat, sementara para perempuan sibuk di dapur, menyiapkan makanan seadanya
Masjid Al-Aberokah, dengan kubah emasnya yang menyilaukan, berdiri megah di tengah kampung. Toa masjid mulai berbunyi, seperti biasa, menggema ke seluruh penjuru kampung. Tanpa nguing, mulus seperti suara mobil hybrid
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh!
Bapak-bapak, Ibu-ibu, dan para jamaah yang dirahmati Allah, kami umumkan bahwa infak dan sedekah hari ini telah mencapai LIMA PULUH JUTA RUPIAH! Masya Allah, Tabarakallah. Semoga menjadi amal jariyah bagi kita semua!”
Suara itu membanggakan, tapi juga menyayat hati bagi sebagian orang.
Di gang majukarya sebuah rumah kecil tak jauh dari masjid, Bu Rukmini sedang duduk memandangi tiga anaknya. Di atas meja, hanya ada sebutir telur yang telah direbus, dibagi menjadi empat bagian kecil.
Mak, aku lapar, rengek Zikri, si bungsu.
“Emak sih aneh malah beli telur. Kan lebih baik beli beras biar sama garampun biasa” , timpal Izal anak sulungnya. Emaknya hanya tersenyum saja, lagi lagi dalam hatinya berucap ‘uangnya kurang nak”..
Bu Rukmini menghela napas panjang. Sabar, Nak. Nanti kalau sudah ada rezeki, kita makan kenyang.
Sementara itu, di luar rumah, suara toa masjid kembali mengumumkan sesuatu:
“ Waktu sholat Jum’at tinggal 7 menit, yang masih di rumah disegerakan pergi ke Masjid dan jangan lupa, seusai sholat Jumat, panitia Dewan Kemakmuran Masjid akan membuka donasi tambahan untuk pembangunan kubah baru dan renovasi tempat wudhu. Ingat harta yang sesungguhnya adalah tabungan kita buat di akherat nanti, mari para jamaah yang ingin berpartisipasi dipersilakan! “
Bu Rukmini mendengar pengumuman itu dengan hati yang campur aduk. Renovasi kubah? Kubah itu kan sudah bagus. Sementara di sini, nasi saja sulit kami dapatkan, gumamnya lirih dalam hati lagi.
Pak Dul, pekerja Ojeg Online yang sedang duduk menunggu penumpang di dekat Masjid, juga mendengar pengumuman itu. Ia menatap kubah emas Masjid dengan mata nanar, perutnya berbunyi karena sejak pagi belum terisi apa pun.
“Jum’atan. Jangan. Jumatan. Jangan”, begitu terus dalam pikirannya, sambil menghitung rel sliting di jaket kumalnya..
“Lima puluh juta kalau dibagi ke warga sini, semua pasti bisa makan enak,” pikirnya lagi.
“Eh, Jum’atan. Jangan. Jum’atan. Jangan.”
Waktu menjelang sholat jum’at tiba. Jamaah mulai berdatangan ke Masjid, berpakaian rapi, membawa sajadah masing-masing. Para pengurus asjid sibuk mempersiapkan kotak infak tambahan yang akan diedarkan setelah khutbah.
Di depan Masjid, gerombolan cosplay miskin yang tidak dikenal duduk di pinggir jalan, menanti iba dari para Jamaah. Anak-anak mereka terlihat kurus dan kotor, sementara si ibu memandang setiap orang yang lewat dengan harapan. Namun, para jamaah hanya lewat tanpa menoleh.
Ada yang menoleh dan memperhatikan, ialah pak Dul yang akhirnya jum’atan juga. Pak Dul memperhatikan peminta minta itu yang kadang sering juga jadi langganannya.
“Ah, lebih baik aku belajar acting untuk bisa meminta-minta begini, tapi rasanya aku nggak perlu acting, wajahku sudah sangat mengkhawatirkan organisasi pangan dunia sekelas FAO”, katanya dalam hati.
Saat khutbah dimulai, Khatib berbicara tentang pentingnya memilih pemimpin yang bijak, keutamaan bersedekah dan pentingnya berbagi.
“Para jamaah yang di karuniai rahmat Allah, memilih pemimpin itu harus yang seiman seirama se bla… bla… bla.., Saudara-saudara sekalian, sedekah itu pembersih hati. Rasulullah SAW bersabda, barang siapa yang bersedekah, maka Allah akan melipatgandakan pahalanya…”
Bu Rukmini, yang mendengar khutbah dari luar rumahnya, hanya tersenyum getir. “Pemimpin?? Sedekah? Untuk siapa? Kami di sini bahkan tak pernah merasa disentuh oleh pemerintah sedekah itu.”
Setelah sholat Jumat usai, panitia masjid kembali mengumumkan hasil donasi tambahan yang baru saja terkumpul.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh!
Kami ucapkan terima kasih kepada seluruh Jamaah. Donasi tambahan kita hari ini mencapai DUA PULUH LIMA JUTA RUPIAH! Allahu Akbar! Masya Allah! Wabil khusus ke bapak Haji Nursamsak.
Di ujung teras masjid, Pak Dul menghela napas panjang. Para pemakai kostum kemiskinan yang duduk di pinggir jalan tadi perlahan pergi, dengan tangan kosong dan hati hampa..
Bu Rukmini, dari balik jendela rumahnya, menatap masjid megah itu dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu, lima puluh juta, bahkan seratus juta rupiah, tidak akan pernah sampai ke dapurnya yang kosong.
Malam itu, masjid Al-Aberokah kembali terang benderang dengan lampu-lampu besar yang baru dipasang. Sementara di rumah-rumah kecil di sekitarnya, lilin-lilin kecil menyala, menemani perut-perut lapar yang tak lagi berharap.
Malam itu, Masjid Al-Aberokah memancarkan cahaya dari lampu-lampu baru yang terpasang di sekelilingnya. Suaranya kembali terdengar, kali ini lantunan ayat suci Al-Quran.
Di rumah Bu Rukmini, lilin kecil menyala, menemani dirinya yang termenung. Telur terakhir sudah habis. Anak-anaknya tidur dengan perut kosong.
Pak Dul, di sudut gang, menghisap rokok murahan sambil menatap kubah emas masjid. Ia tertawa lirih.
“Kubahnya makin terang. Perut kami makin gelap.”
Di langit malam, bulan bersinar, seakan menjadi satu-satunya saksi keadilan yang tak pernah sampai ke bumi.
Penulis

AB Asmaradana, seorang teaterawan Indonesia tinggal di Tasikmalaya, Jawa Barat. Bekerja sebagai Dosen di Universitas Muhamadiyah Tasikmalaya. Pendiri dan mengelola ruang seni Ngaos Art di Tasikmalaya, Jawabarat dan Lanjog Art Festival (LAF) di Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.