Ciiiuuuuutttt jeduuugg blegedrreekk jemblemm…
Ucapan itulah yang sering keluar dari mulut sang Prabu Minak Jinggo dari kerajaan Blambangan. Ucapan yang entah apa artinya tapi membuat banyak penonton tertawa geli mendengarnya.

Malam itu benar-benar meriah, gelak tawa penonton terdengar renyah tiap kali ada adegan yang Ndagel. Apalagi saat adegan Prabu Minak Jinggo nggandrung Suwita dan Puyengan, dua putri yang selalu menolaknya.
Tak kalah serunya saat adegan perang tanding antara prajurit Majapahit dan Blambangan. Gaya perang tangan kosong itu amatlah gayeng, ketrampilan anak-anak muda benar-benar trengginas dan mumpuni.

Koprol, jungkir balik dan bergulungan di atas panggung menjadi tontonan yang memikat. Sekaligus mengundang gelak tawa lantaran ada seorang prajurit pembawa senjata Gada, memukul lawannya dengan sekenanya. Seenaknya sendiri. Kadang mengenai temannya.
Masih banyak adegan-adegan yang atraktif, dialog lucu dan gerakan unik dari para tokoh. Semua itu perlu ketrampilan yang terus diasah dengan latihan. Seperti gerakan khas prabu Minak Jinggo setiap kali muncul dengan kaki pincang dan tangan thekle-nya. Gerakan yang tampak mudah tapi ternyata sulit sekali dicoba.
Sungguh saya tak mengira bakal dapat tontonan seni tradisi yang membuat malam minggu menjadi cerah dan meriah. Malam itu juga saya mengabari beberapa teman via Watshap untuk merayakan kegembiraan hati : “Saya sedang menonton Kethoprak di Lasvegas!”
Terimakasih para seniman Kethoprak.
Cinta Kuasa dan Kuasa Cinta
Ini perkara cinta, tak jauh beda dengan kisah-kisah cinta lainnya. Kita telah mengenal Roro Mendhut dan Prono Citra, Rama dan Shinta, atau karangan William Shakespiere: Romeo dan Juliet. Namun dalam lakon “Minak Jinggo Lena” agak berbeda dengan kisah-kisah di atas.

Cerita ini sebenarnya mengisahkan Raja Minak Jinggo, Raja Blambangan, yang ingin melamar Dyah Ayu Kencono Wungu, Putri dari Kerajaan Majapahit. Beliau mengutus Patih Ongkot Buto untuk berangkat ke Majapahit meminang Dewi Kencono Wungu. Namun malah mendapat tantangan berkelahi dari Layang Kumitir dan Layang Seto, dua putra Patih Logender.
Perkelahian itu dapat dimenangkan dengan mudah oleh Patih Ongkot Buto. Majapahit yang kuwalahan akhirnya menerima lamaran tersebut tapi dengan syarat: Bahwa Patih Ongkot Buto diminta menyampaikan pada Prabu Minak Jinggo. Silakan datang lagi pada hari Selasa Kliwat, wulan Jumadilawas, tahun Bebas lan mletheke Srengenge seka kidul.
Kalimat tersebut sebenarnya sebuah penolakan atas lamaran dari Minak Jinggo. Sebab nama hari, bulan dan tahun yang diucapkan Patih Logender sebenarnya tak pernah ada. Apalagi matahari yang terbit dari selatan. Tak akan pernah terjadi.

Karena penolakan tersebut maka marahlah Prabu Minak Jinggo yang sakti mandraguna itu. Tak ada yang sanggup melawannya. Sebab Prabu Minak Jinggo punya senjata sakti: Gada Wesi Kuning.
Di tengah kecamuk cerita, masuk Tokoh Damar Wulan, pemuda dari desa Paluamba. Bersama dua abdinya, Naya Genggong dan Sabdo Palon, ingin mencari kerja di kerajaan. Dari sinilah awal tumbuhnya kisah cinta yang berbeda: antara Damar Wulan dan Anjasmara, putri Patih Logender.
Anjasmara terpikat dengan Damar Wulan saat menghadap Patih Logender untuk melamar pekerjaan. Kisah cinta mereka semakin bersemi dari hari ke hari, Anjasmara begitu terpikat oleh ketampanan dan kegagahan Damar Wulan.
Sepasang muda-mudi itu merajut cinta dan cita-cita bersama. Anjasmara dengan berbagai cara harus bertemu Damar Wulan setiap hari meskipun harus dengan mengantar makanan saat Damar Wulan istirahat bekerja.

Damar Wulan si Pemuda desa yang sakti mandraguna tersebut diminta untuk menghadapi Prabu Minak Jinggo. Kesaktiannya terbukti saat menjaga pintu gerbang. Diperintahkan Tak ada yang boleh masuk kecuali ada surat ijin dari Patih Logender.
Maka ketika Layang Seto dan Layang Kumitir hendak masuk tanpa surat ijin, tetap dihalangi meski sebenarnya mereka anak Patih Logender. Alhasil keduanya dapat dikalahkan oleh Damar Wulan sebelum akhirnya dilerai oleh Patih Logender sendiri.
Berangkatlah Damar Wulan ke Blambangan untuk menghadapi kesaktian Minak Jinggo. Namun sayang beribu kali sayang, pemuda sakti itupun tak mampu mengalahkan kesaktian prabu Minak Jinggo. Damar Wulan tak sanggup menghadang kekuatan senjata gada Wesi Kuning yang dipukulkan Prabu Minak Jinggo.

Suwita dan Puyengan dua perempuan yang disandra di dalam taman keputren oleh Minak Jinggo, akhirnya turut membantu Damar Wulan. Mereka membujuk rayu Minak Jinggo hingga lengah untuk mencuri senjata andalanya Gada Wesi Kuning. Akhirnya setelah mendapatkan senjata Gada Wesi Kuning, segera diberikan kepada Damar Wulan.
Pertarunganpun kembali terjadi, kali ini dimenangkan oleh pemuda desa, Damar Wulan. Senjata gada Wesi Kuning itu menajdi senjata makan tuan yang mengenai prabu Minak Jinggo sendiri. Damar Wulan menghantamkannya pada tubuh Prabu Minak Jingo berkali-kali hingga rubuh tumbang tak berdaya.

Begitulah sebuah cerminan atas cinta dan kuasa di dunia manusia sejak berabad-abad silam. Orang boleh mengejar ambisi kekuasaan dengan segala setrategi hingga mendapatkannya, tapi tak dapat memaksakan mendapat cinta. Sebab cinta adalah anugrah dari tangan Sang Hyang Widi Wasa.
Berbahagialah mereka yang merasakan cinta. Barang siapa dikuasai cinta, hati keduanya berbunga bunga, energinya menjadi berlipat ganda. Sebagaimana Damarwulan si pemuda desa dan Anjasmara putri bangsawan. Dengan kekuatan Cinta Damar Wulan berani melawan Prabu Minak Jinggo.
Daya Tarik Panggung dan Pertunjukan
Tepat tanggal 31 Agustus 2024, tanggal terakhir yang begitu ramai, banyak acara perayaan di berbagai kampung dan desa. Acara untuk merayakan hari kemerdekaan Republik Indonesia. Jatuh pada hari sabtu atau malam minggu. Malam yang dinanti-nanti para muda remaja yang menyukai keramaian.

Mengapa saya berhasrat menonton pementasan Kethoprak? Begini cerita awalnya:
Namun jauh berbeda degan malam minggu saya yang sepi seperti biasanya, di rumah sendirian dan melamun panjang. Sungguh suatu kebiasaan yang menyebalkan dan merasa jauh dari kehidupan. Saat sedang sebel-sebelnya dengan diri sendiri, tiba-tiba teringat tadi sore, saat naik motor lewat jalan tengah desa saya melihat sebuah panggung berdiri di pertigaan jalan.
Denger-denger akan ada aneka macam pementasan seni tradisi: tari-tarian, panembromo, dan kethoprak. Pasti ramai dan menyenangkan. Langsung terbersit ide untuk menontonnya. Siapa tahu dapat mengobati rasa sepi. Syukur-syukur bertemu jodoh seorang gadis desa. Hihihii…

Maka saya datangi panggung pertunjukan itu dengan suka cita, dengan hati yang berseri-seri. Jujur saya amat ingin dan tertarik sekali menonton pagelaran kethoprak, lantaran sudah lama tidak menonton ketoprak secara langsung, tidak lewat media televisi.
Ngomong-ngomong soal kethoprak, saya langsung teringat dengan pakdhe Nano Asmorodono, Seniman kethoprak yang saya hormati. Sebab beliaulah satu-satunya seniman tradisi yang mengajak saya main kethoprak.
Sungguh menjadi pengalaman pertama yang tak mungkin terlupakan. Waktu itu diajak main di panggung kethoprak tobong yang diusung di aula sebuah Mall, tepatnya Hartono Mall.

Pengalaman itulah yang membuat saya berminat untuk mengapresiasi pertunjukan Kethoprak. Sebuah kesenian tradisi yang harus diapresiasi dan dilakoni agar selalu hidup di jantung masyarakat.
Kethoprak berjudul “Minak Jinggo Lena” tersebut didominasi oleh pemain perempuan, bahkan yang menjadi tokoh-tokoh utama seperti Prabu Minak Jinggo, damar Wulan dan Patih Logender adalah perempuan. Mereka berlatigh selama berminggu lamanya dibawah arahan sutradara pak Kasut.
Sungguh pertunjukan yang tak mungkin terlupakan, selalu saya kenang sepanjang hidup. Pertunjukan kethoprak di sebuah panggung yang manis, berlatar warna merah putih, bertuliskan “Pagelaran Seni Kethoprak Padukuhan Tirto Lestari Budaya”. Di desa Tirto, Bangunjiwo, Kasihan Bantul Yogyakarta. Panggung itu untuk merayakan hari kemerdekaan Republik Indonesia ke 79 tahun.

Panggung itu menjadi tampak menarik dan mencuri perhatian orang lewat lantaran letaknya amat strategis: di tengah pertigaan jalan desa, di depan sebuah tugu berhias patung Singa yang di bawahnya bertuliskan: LASVEGAS. (S3)
Jogja – Tokyo, September – Oktober 2024
Mantab bro
maturnuwun sudah apresiasi mas Joko. Semoga Kethoprak semakin eksis dimana mana..
Kui ibu ibu tiirto tergabung dalam paguyuban ketoprak budaya sering pentas di pedukuhan Tirto …yg masih eksis berkethoprak dan usia hanya soal angka katanya.
keren.. terimakasih Kang Sipen Purwanto atas tanggapannya. selamat buat ibu ibu Paguyuban Kethoprak Budaya.. Semangat terus pokoknya..