“Merdeka di Sangkasa” adalah tajuk pameran seni rupa di Galeri Sangkasa yang berlokasi di Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, DI Yogyakarta. Ini merupakan galeri baru milik seniwati Indonesia berdarah Bandung-Bugis, Lenny Ratnasari Weichert dalam manajemen Kersan Art Foundation.
Sebelumnya, galeri ini beroperasi di daerah Kersan, Triwidadi, Pajangan, Bantul, DI Yogyakarta dengan nama Kersan Art Space. Setelah non-aktif beberapa tahun, galeri ini aktif kembali sejak Juli tahun ini dengan menggelar pameran “New Chapter – Neosantara” sebagai peluncurannya.

Di bulan Agustus ini, dalam rangka memperingati Kemerdekaan Republik Indonesia, Sangkasa kembali menggelar pameran disertai berbagai acara lainnya, berupa: booth yang menjual berbagai produk para seniman baik food and beverage, produk berbahan kulit, keramik, hingga fashion; main pingpong; dan karaoke bareng.
Ihwal Tergelarnya Pameran Ini
Pameran ini sebenarnya digagas belakangan dari rangkaian acara perayaan “pitulasan”. Acara yang diorganisir seniwati Lashita Situmorang lewat brand Kutubaruku Kebaya Club ini pernah digelar di Kedai Mari Kangen pada 26 Juli 2024.
Dalam acara perdana inilah, Lenny yang sudah berteman akrab cukup lama dengan Lashita datang bersama seniwati lainnya, Lelyana. Demi melihat acara yang demikian menyenangkan dan meriah, Lashita dan Lenny bersepakat untuk menggelar acara serupa di Sangkasa dan perayaan kemerdekaan ke-79 yang jatuh pada 17 Agustus 2024 menjadi momen tepat untuk menggelar acara tersebut.

Kemerdekaan menjadi isu sentral rangkaian acara termasuk pameran hingga menjadi kata pertama judul acara. Kemerdekaan pula yang menjadikan titik pijakan dalam menyusun konsep dan metode kurasi karya beserta seniman. Siapa pun boleh terlibat dalam pameran ini.
Karya apa pun boleh dipamerkan. Kurasi dilakukan oleh seniman sendiri atas karya-karya yang dimilikinya. Tidak ada pendaftaran. Seniman dipersilakan membawa karya yang dipilih dan memajangnya secara mandiri di galeri Sangkasa sekaligus menerakan deskripsi karya jika dirasa perlu.
Memasuki Ruang Pameran
Hingga tulisan ini dibuat, total ada sembilan karya dari sembilan seniman berbeda yang mengikuti pameran ini. Dua karya tidak disertai keterangan karya. Hampir seluruh karya adalah lukisan dengan berbagai gaya; ekspresionis, abstrak, naif, dan surealis. Satu karya instalasi dan satu lagi video art.

Ruang menyerupai kubus putih ini cukup lega untuk menampung tujuh karya lukisan berlebar 30 hingga 54 centimeter, bahkan sangat lega sehingga membuat penonton dapat bernapas leluasa tanpa sesak dalam menikmati pameran. Sementara, karya video art dipamerkan dengan menggunakan televisi yang dipajang portrait dengan lebar juga kurang dari satu meter (sekisar 70 centimeter).
Satu-satunya karya berukuran lebih dari satu meter adalah instalasi bertajuk “Blessing” dengan memadukan lukisan potret kecil disertai seranting tanaman dan 4 tusuk cabe merah-bawang merah yang menempel di tembok.
Di depan material pada tembok itu, dua belas tusuk cabe merah-bawang merah ditempatkan dalam pot kecil di atas meja kotak kecil serta terdapat sebaran kelopak-kelopak mawar yang mengering di lantai. Merangkai kesemua itu, tulisan dari charcoal digoreskan di tembok.

Konsep “Merdeka” yang diusung diterapkan juga dalam penataan pemajangan karya. Meski para seniman dipersilakan memilih lokasi tembok pajang, alur penataan karya tidak membosankan.
Diawali lukisan ekspresionis Pembayun berjudul “Love Blossom” menampilkan sosok manusia sedang duduk rileks di malam hari yang biru dalam cahaya bulan kuning. Setelah dijedai 2 kolom jendela besar, instalasi “Blessing” dari Andita Purnama menjadi karya berikutnya. Kedua karya ini berada di sisi barat ruangan atau persis di sebelah kiri pintu ketika memasuki ruangan.
Lanjut ke tembok sisi utara, terdapat lukisan potret Tina Wahyuningsing berlatar hijau tentang “Aku dan Burung-burung”. Karya berikut pada sisi yang sama, video art Lenny Ratnasari Weichert menampilkan gaun putih ditemarami cahaya lampu biru.
Dua potongan video berdurasi total 54 detik itu menyuguhkan cerita yang sama dengan akhir berbeda, yaitu: posisi gaun berdiri terbalik di bagian akhir video kedua. Kedua video ini diterangkan dengan judul karya “Up Side Down”.

Namun visual karya berupa gaun putih mengajak penonton untuk segera saja mengartikulasikannya sebagai gaun pengantin perempuan. Keterbalikan gaun pengantin itu dapat dimaknai macam-macam yang berinti pada hal dalam pernikahan yang menjadi terbalik. Apa pun hal itu.
Sisi ruangan berikutnya, sisi timur, dipajang karya abstrak Arya Sukma dengan judul “Attitude, Respect, Appreciate”. Setelah dua kolom jendela besar, dua seniman memasang lukisan yang sama-sama menggunakan serangga sebagai figur kisah. Utin Rini menata tiga lukisan kecil “Red Harvest” memanjang horizontal. Disusul, “Gently Queen” milik Joelya “IA” Nurjanti.
Terakhir pada sisi Selatan, tepat di sebelah kanan pintu saat memasuki ruangan, terdapat lukisan Hengki dan Sri Ambarwati. Hengki melukiskan perempuan dalam baju zirah perang dengan kepala berupa buket bunga-bunga.
Sosok Perempuan dalam lukisan Hengki ini dapat ditengarai dari struktur tangan yang dilukiskan tak mengenakan sarung tangan zirah. Sementara Ambar, panggilan keseharian Sri Ambarwati, melukis potret perempuan yang menangis dengan dua bunga mawar merah dan biru berjudul “Meditasi”.
Bermenung dalam Merdeka di Sangkasa

Berdiam diri di dalam ruang pameran serampung mengamati dan menikmati seluruh karya adalah satu hal yang menyenangkan. Segala pemikiran tentang karya-karya yang dipajang, pameran, dan berbagai hal bersengkarut sembari berupaya memahami dan menyerap berbagai makna tiap-tiap karya.
Kelindan yang memunculkan tanya-tanya itu menjadikan bermenung dalam ruang pameran Merdeka di Sangkasa adalah satu pilihan yang tepat. Ketika ada hal-hal berkait karya baik dalam hal rupa, artistik, dan estetika yang perlu dikonfirmasi, seketika dapat melihat secara cermat dan detil.
Meski ada 2 karya dalam pameran yang tak disertai keterangan dan beberapa nama tak menunjukan stereotipe gender tertentu, kesan kuat yang terpancang adalah pameran ini sangat “Perempuan”. Dari sinilah semua kelindan itu bermulai. Mengapa bisa kesan itu yang menancap di kepala dan tak mau pergi?
Apa yang menjadi tengarai dalam karya-karya yang dipajang untuk sampai pada kesimpulan itu? Adakah simbol-simbol yang digunakan kesembilan karya ini memang menunjukan keperempuanan? Ataukah justru aku yang sudah terkonstruksi tentang keperempuanan?
Dari kesembilan karya yang dipajang, ada tiga karya yang melukiskan potret wajah; “Aku dan Burung-burung”, “Blessing”, dan “Meditasi”. Ada dua karya yang menampilkan figur, yaitu: “Gently Queen” (serangga) dan “Love Blossom” (manusia).

Dua karya lain menghadirkan kostum dalam lukisan “Personality” dan video channel “Up Side Down”. Ketujuh karya ini menggiring pemikiranku untuk memaknai wajah, figur tubuh, dan kostum yang ditampilkan adalah tentang perempuan.
Bagaimana bisa kesimpulan itu dengan cepat muncul? Apakah karena lekuk halus yang digambarkan pada wajah dan figur? Atau bentuk tubuh yang digambarkan oleh figur serangga dan kostum? Apakah tidak mungkin gender lain memiliki wajah dengan lekuk halus, bentuk tubuh dengan pinggang yang kecil?
Apakah tidak bisa gender selain perempuan mengenakan kostum gaun? Bukankah sekarang gaun dan rok sudah juga dipakai para lelaki? Bahkan perkembangan fashion untuk laki-laki terkini sudah menawarkan rok yang juga diperagakan model-model lelaki.
Satu karya dengan tiga lukisan yang berjudul “Red Harvest” memang tidak menggambarkan stereotip serangga perempuan. Namun demikian, warna merah yang mendominasi ketiga lukisan tersebut yang juga secara jelas dijadikan judul menggiring pemahamanku bahwa karya ini pun menuturkan tentang perempuan. Lagi-lagi, memang ada konstruksi budaya yang menyematkan warna merah sebagai identitas Perempuan.

Satu-satunya karya yang tak menggambarkan secara jelas rupa berkait perempuan adalah lukisan abstrak hitam-putih “Attitude, Respect, Appreciate”. Tetap saja, karya ini menghadirkan simpulan di kepalaku bahwa ini juga dibuat oleh seniwati demi melihat tema yang dapat ditengarai dari judul karya serta goresan yang penuh lekukan halus.
Hanya saja, benarkan pemikiran tentang sikap, menghormati, dan menghargai melulu dipikirkan perempuan? Bukankah ketiga hal itu netral dan bisa dipikirkan siapa pun terlepas gender dan orientasi seksualnya? Sama halnya dengan goresan lekukan-lekukan halus yang tak melulu menjadi kuasa dan milik perempuan.
Kalau begitu, aku dan para seniwati tersebut sebenarnya masih belum benar-benar bebas dari konstruksi pengarusutamaan gender. Hal ini tampak jelas dari pelepasan simbol-simbol yang dilekatkan dengan gender tertentu tak dapat dilakukan dengan mudah dan cepat.

Butuh upaya serius dan terbuka terhadap renik-renik berbagai pemikiran yang hadir dengan mempertanyakan ulang pemikiran-pemikiran itu untuk kemudian dapat direpresentasikan dalam karya baik visual, audio visual, dan teks.
Demi mendapatkan titik terang, perlu ada konfirmasi dari pihak penyelenggara yang justru membenarkan simpulanku bahwa semua yang memajang karya dalam pameran ini adalah perempuan alias seniwati.
Karena pameran ini menggunakan metode kurasi mandiri oleh para seniwatinya, kemudian menghadirkan pertanyaan; mengapa masing-masing seniwati tersebut memilih karya tersebut untuk dipajang? Tidakkah kurasi yang dilakukan juga menunjukan stereotipe perempuan?
Rasikei 240828
OPée Wardany
End Notes
Acknowledgement: untuk Lashita Situmorang yang meminta reviu pameran Merdeka di Sangkasa ini, Lenny Ratnasari Weichert sebagai host yang hangat dan ramah untuk pameran dan acara perayaan pitulasan di Sangkasa yang meriah, Andita Purnama yang menemani selama riset kecil di Sangkasa dengan suguhan teh dan obrolan hangat di senja hari, Samael Ali yang sedia memfoto karya-karya pameran untuk bahwa tulisan, Dewi yang sedia menemani bolak-balik ke Sangkasa untuk nonton pameran dan mengikuti perayaan pitulasan, Marcos Leon yang selalu memberikan dukungan dan kepercayaan hingga menjadikan hidup lebih bersemangat, Galeri Lorong squad (Nabila, Thole, Pak Wamang, Ryan, Pak Wid) yang selalu kompak.
Author:

OPée Wardany adalah nama pena Dr. Octalyna Puspa Wardany, S.E., M.Sn. yang merupakan Kurator Perempuan Indonesia, Peneliti juga aktif di bidang manajemen dan konsultan keuangan di Rumah Produksi untuk Kebudayaan Indonesia (Rasikei) serta Galeri Lorong dan MataWarna Digital Printing. Aktif pula dalam berbagai kelompok sastra dan media, seni, budaya, serta organisasi masyarakat sipil dan adat.
Tanggapan dari para pembaca
Tulisan diatas ditanggapi langsung dari tiga pembaca yang budiman: mas Ali Hasan, mbak Ayek dan mbak Yuli. mereka bertiga adalah pribadi-pribadi yang apresiatif, gemar menabung dan bekerja keras. Berikut kalimat dari para penanggap:
PENANGGAP 1
Tanggapan tentang tulisan: Sangat menarik sekali tulisan ini, mewartakan bagaimana momentum kemerdekaan menjadi semakin semarak dengan pameran karya seni rupa, karya-karya yang dipamerkan juga apik. Dengan gaya tulisan yang tidak muluk-muluk selayaknya feature menjadi lebih hidup ruang dimensinya. Karya-karya yang dipamerkan secara keseluruhan keren, saya suka
Apresiasi untuk dua karya dari:
Sri Ambarwati, Meditasi: Seorang perempuan yang sedih, di kanan dan kirinya ada bunga, karya yang otentik bagaimana menceritakan sebuah peristiwa yang sangat dalam, proses kesedihan dan ketabahan keren sih ini
Andita Purnama, Blessing Variable: Instalasi yang cukup menarik untuk saya perhatikan dengan seksama, karena komponen yang dipakai adalah cabai, bawang merah yang ditusuk seperti sate biasanya dipakai untuk menahan hujan agar tidak turun disuatu tempat, apakah sama dengan air mata kita agar tidak menetes saat mengingat seorang mantan kekasih yang ingkar janji sesuai dengan ide kreatif karya tersebut, tapi banyak juga tafsiran sebuah karya instalasi ini, jelas cerita yang ingin disampaikan senimannya menjadi multi tafsir di pikiran kami para penikmat karya seni.

Mas Ali Hasan a.k.a Djimbe seorang Sopir teladan. Kadang sopir kendaraan jasa angkut barang dan orang, kadang sopir borongan di seni pertunjukan. Giat bekerja dan gemar menabung. Saat ini bekerja di kebun binatang Solo Safari, menemani satwa yang lucu dan menghebohkan.
PENANGGAP 2
Tanggapan tentang Tulisan: Sudah cukup menggambarkan tentang Pameran itu adalah pergerakan perempuan melalui karya-karyanya
Apresiasi untuk dua karya dari :
Andita Purnama, Blessing Variable : Jangankan kekasih, diriku saja sering mengingkari janjiku sendiri (untuk setia)
Arya Sukma, Attitude Respect Appreciate: Aku menikmati apa yg kamu benci. Terkesan egois.. Tapi setiap orang punya cara tersendiri untuk menyenangkan dirinya sendiri.. Kalau pun merugikan, menjauhlah. (Asap rokok)

Ayek, perempuan asli orang jogja, seorang single fighter. Alumni Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) lanjut ke Modern School of Design (MSD). Sekarang kesibukannya kerja aja sebagai rutinitas keseharian. Sesekali ngopi-ngopi sama temen. Gak ada yang istimewa, kecuali dirinya sendiri 😁
PENANGGAP 3
Tanggapan tentang tulisan : Bahasa yang sederhana dirangkai sesuai alur cerita. Sehingga bisa menarik pembaca semakin ingin mengerti dan lebih penasaran pada cerita karya seni lukis, sekaligus pelukisnya. Dan yang lebih menariknya lagi adalah semangat baru karya seni lukis wanita, yang bangkit di moment hari bersejarah. Memperingati Kemerdekaan RepubIik Indonesia (RI) yang di jadikan hari kebangkitan dan semangat baru untuk bangkit aktif kembali, dan bisa terlaksana bersama produk-produk yang lain. Acara berjalan meriah disertai penjelasan tentang karya-karya yang terpasang secara mandiri (Seniman memilih karyanya sendiri dan di pajang sendiri). Semakin informatif hingga menarik ingin lebih mengikuti dan masuk lebih dalam di kenyataanya.
Apresiasi untuk semua karya: Dibuat dengan suatu ide yang terealisasi dalam bentuk goresan yang di proses dalam jiwa secara sadar, tergores di media untuk menginformasikan sesuatu menjadi indah. Goresan tangan yang kadang tebal kadang tipis seakan mengajak bicara. Muncul ekspresi ramah, manis , bahagia, sedih, marah.
Siapa aku ? Apa gunanya aku ? Untuk apa aku?
Dibuat dengan cara dan tehnik yang unik di atas media agar terkesan bebas bergerak di mata dunia melenggang di kota-kota. Tak hanya terbatas di wajah.

Maria Magdalena Yuliati Perempuan setengah abad lebih yang masih aktif berkegiatan di kampungnya: arisan, rapat tujuh belasan, jalan sehat, sepeda gembira, tilik sesepuh kampung dll. Perempuan bercucu satu ini dimasa mudanya seorang pesenam dan balerina, tapi memutuskan menjadi pembuat kue tuk dijual di pasar tradisional. Sampai sekarang masih menerima pesanan aneka macam kue. Beliau menggemari ajaran-ajaran Budha.
Selamat ya mbak Ope.. Tulisannya dapat tanggapan langsung dari pembaca dan seru seru tanggapamya..