Kamis, April 24, 2025
No menu items!

Topeng-Topeng Berjatuhan

Must Read

Sejak saya kecil, kata pantomim bukan kata yang asing, karena pada awal masa 1980-an TVRI kadang-kadang menayangkan program pertunjukan pantomim. Saya suka menontonnya karena lucu.

Namun, ketika saya berumur limabelas tahun, ayah saya membawa oleh-oleh buku tentang Milan Sladek, pemain pantomim dari Jerman yang sangat populer. Saat itu untuk pertama kalinya saya melihat foto-foto yang sangat bagus dari kelompok pemain pantomim. Buku tebal ini dipenuhi oleh foto-foto pementasan Milan Sladek dan kelompoknya Kefka.

“Ini pemain pantomim paling top di Jerman. Kamu mesti lihat foto-fotonya,“ katanya. Sayang, saya tidak mengerti apa isi buku itu karena tertulis dalam bahasa Jerman. Saat itu saya berpikir bahwa seniman pantomim adalah seni yang menarik dan tidak membosankan, (monoton) atau hanya sekadar menirukan gerak orang yang bergerak.

Dari buku Milan Sladek, saya membayangkan seperti teater besar dengan ragam kostum dan tata panggung yang luar biasa. Beberapa tahun kemudian, pikiran saya kembali lagi kepada sosok pantomim, ketika saya melihat pertunjukan tari  butoh di pertengahan 1980-an, yang dipentaskan di Sasonomulyo Solo oleh kelompok Byakosha dari Kyoto. Saya terkejut melihat mereka melumuri sekujur tubuhnya dan wajahnya dengan bedak lulur berwarna putih, dan setting panggung yang sederhana tapi sangat kuat. Imajinasi saya membawa kembali pada foto – foto pertunjukan kelompok Milan Sladek. “Jadi yang memakai bedak putih itu bukan hanya pantomim,“ pikir saya.

Pada tahun 1995, sepuluh tahun kemudian, ketika saya baru mulai di jurusan performance art di Braunschweig, professor saya waktu itu Anzu Furukawa, seorang tokoh koreografer Butoh,  mengundang seorang guru tamu salah seorang anggota  kelompok comedia del’arte dari Turino, Itali. Kedatangannya untuk memberi workshop kepada mahasiswa selama satu minggu penuh. Pada tahun itu, memang fokus pengajaran Furukawa hanya kepada tari butoh sebagai pelatihan dasar menuju performance art.

Dalam butoh klasik, memang banyak menggunakan latihan mimik, yang terinspirasi oleh nyawa-nyawa transparent, mimik.-mimik beku, menjulingkan mata, dan mengulurkan lidah. Tubuh dan wajah juga dilumuri dengan bedak putih. Namun, entah apa yang sedang ditelusuri oleh Anzu Furukawa pada saat itu, dengan mengundang Nicola ke kelas kami. Saya mulai menyelidik bahwa memang ada urutan sejarah yang menarik tentang pengaruh Commedia dell’arte bagi pantomim dan butoh, terutama karena teknik-teknik gerakan dan pelatihan mimiknya yang sangat mirip. Selama workshop Commedia dell’arte saya agak kesulitan untuk mendapatkan peran Pierott, si bodoh yang bisu tapi lucu itu. Bagaimanapun juga pengalaman itu mendorong saya untuk mengerti lebih jauh lagi tentang pengaruh Commedia dell’arte.

Dalam sejarahnya, pantomim muncul sejak zaman Yunani Kuno dan kemudian sampai ke Romawi. Pada masa-masa itu, pantomim hidup sebagai atraksi hiburan yang sifatnya komedi, tragedi, dan seks. Sayang sekali tidak ada bukti yang banyak tertinggal kecuali dari tulisan seorang penyair yang menyebut pantomim.

Dalam perkembangannya di Itali pada abad ke-16, Commedia dell’arte muncul dan menjadi seni pertunjukan yang sangat berpengaruh dalam perkembangan pantomim di Eropa. Commedia dell’arte adalah sekelompok aktor profesional yang mengutamakan pentas keliling. Naskah-naskah yang dipentaskan oleh Commedia dell’arte biasanya menyesuaikan dengan apa yang terjadi di wilayah yang mereka kunjungi, tetapi tetap menggunakan tokoh-tokoh intinya yaitu pasangan muda (Arlecchino dan Colombina), ayahnya (Pantalone), dan dua pembantu Pantalone (Pulcinella and Pierrot, yang satu gemuk yang satunya lagi bodoh).

Commedia dell’arte melakukan pentas keliling dari desa ke desa, antar provinsi hingga sampai ke Perancis dan Inggris. Ketika pemeranan tokoh itu mulai diadaptasi di Inggris pada abad ke-17. Lebih dari 150 tahun kemudian, tradisi ini berlanjut dan berkembang menonjol ketika munculnya cerita harlequin (tokoh Arlecchino pada naskah-nasakah Commedia dell’arte) dan colombine pada awal abad ke-19, yang digarap terus oleh Joseph Grimaldi yang mengutamakan peran kebadutan harlequin. Grimaldi dikenal sebagai tokoh pantomim karena kekuatan satiriknya dan kemampuannya mengangkat tema-tema pada saat itu dengan cara yang menggelikan.

Pada abad ke-18, pantomim di Inggris banyak mengangkat naskah-naskah dongeng dan biasanya dipentaskan pada sekitar waktu perayaan Natal dan tahun baru. Pantomim menjadi sebuah pertunjukan yang memiliki aturan-aturan pakem tertentu. Misalnya harus adanya tokoh-tokoh utama (mayor: peran utama laki-laki atau perempuan; peran ibu tua; peran utama kedua laki-laki atau perempuan, biasanya yang menjadi kesayangan ibu tua; badut dan tokoh berkarakter jahat, seperti nenek sihir) dan tokoh-tokoh tambahan (minor: tokoh bijaksana atau peri; binatang; paduan suara dan penari). Kemudian juga ditentukan bagaimana peran tokoh yang baik harus keluar dari sisi kanan panggung dan tokoh yang jahat dari kiri.

Yang menarik pada pakem ini, yang menjadi ciri utama pantomime adalah pertukaran peran gender, pemain laki-laki memainkan peran perempuan dan demikian pula sebaliknya. Penonton biasanya juga diajak untuk aktif berkomentar pada babak tertentu, biasanya di babak munculnya badut. Dalam pantomim, musik menjadi pengiring terutama musik yang berirama jelas dan kadang pula mengambil musik tradisional yang banyak dikenal oleh publik.

Pengaruh Commedia dell’arte pada perkembangan pantomim tidak saja mengalir dari Itali, Perancis lalu ke Inggris. Di Jerman pun bisa ditemukan dalam sejarah teaternya. Sementara di Inggris lebih mengambil tokoh Arlechino dari Commedia dell’arte yang kemudian menjadi harlequin, di Perancis dan Jerman, lebih berpihak pada tokoh badut Pierott.

Daya tarik peran Pierott dalam Commedia de’ll arte terutama karena pola gerakan dan dia sebagai peran orang bisu, yang banyak menggunakan bahasa isyarat tuna wicara. Gerakan-gerakan Pierott ini menjadi semacam pola dasar pada bentuk pantomim. Karakter ini menjadi sangat menonjol ketika ia muncul pada masa fin de siècle yaitu masa akhir abad ke-19 di mana kehidupan kesenian terutama mulai berkembang di Perancis yang diidentikan dengan kondisi kebudayaan yang kronis, membosankan, patah semangat, dan dekaden.

Pada saat itu lingkungan kesenian banyak berpihak kepada penolakan terhadap materialisme, rasionalisme, postivisme, kelas borjuis, dan demokarsi liberal. Masa-masa fin de siècle, ini menjadi pola berkembangnya gaya hidup boheme yang berkembang di pertengahan abad ke-20.

Tokoh Pierott dalam pantomim tunggal pada masa fin de siècle ini hadir sebagai sosok yang bermuka pucat dan mengenakan kostum berwarna putih dan terutama memakai kancing-kancing besar. Dia mewakili sosok seorang seniman tuna wisma yang berhadapan dengan kesulitan hidup namun diselimuti oleh dilema-dilema percintaan yang akhirnya membentuk dia sebagai sosok pemimpi yang melancholis. Sosok ini melalui improvisasi dalam situasi yang diwakilinya, mampu mengungkapkan puisi gerak yang estetis.

Salah satu tokoh Pierott legendaris awal abad ke-19 di teater funambules adalah Jean Gaspard Deburau melalui debut penampilannya dalam film  di akhir abad ke-19, telah meyakinkan Paul Landau, seorang kritikus teater dalam esainya bertajuk Pantomime und Pierott. Tokoh pemicu tumbuhnya pantomim adalah Pierott dan bukan Arlecchino. Di sini, bisa ditarik benang merah bahwa pantomim di Eropa bisa dikatakan bersumber pada salah satu tokoh dalam Commedia dell’arte  yaitu Pierott.[2]  Popularitas Pierrot Deburau dan anaknya (Charles Deburau) tercermin juga dalam puisi-puisi penulis Perancis canggih seperti Charles Baudelaire, Paul Verlaine, Theophile Gautier, Jules Laforgue dan Jean Richepin.

Pada tahun 1884, terbit siklus lirik puisi Pierrot Lunaire oleh Albert Giraud dari Belgia yang kemudian pada tahun 1893 di Jerman digarap oleh Otto Erich Hartleben. Garapan ini selanjutnya ditambahi dengan komposisi musik oleh Arnold Schoenberg pada tahun 1912.

Setelahnya muncul esai-esai tentang fenomena yang muncul dari pantomim, yang tujuannya untuk mencari makna dan posisi pantomim dalam kesenian hingga awal abad ke-20. Pantomim mulai mendapatkan tempat di kalangan masyarakat umum dan juga banyak digemari oleh para seniman, terutama penyair, aktor, dan pemusik.

Dalam perkembangannya pertengahan abad ke-20, pantomim dibahas terutama karena konsep bahasanya dan kaitannya dengan displin seni yang lainnya. Pantomim memiliki keterikatan yang kuat terutama dengan musik dan gerak (tari) juga acting. Namun, ada beberapa penolakan terhadap anggapan bahwa pantomim merupakan seni gerak yang menggunakan musik untuk meniru aktivitas keseharian melulu.

Pantomim lebih dari pada sekadar meniru dengan menggunakan bahasa isyarat. Sejak akhir abad ke-19, pantomim menjadi menarik perhatian karena gerak.-gerak tubuhnya bukanlah sekedar meniru tetapi menjadi alat untuk mengungkapan bahasa. Tubuh menjadi sarana untuk mengkomunikasikan emosi dan intensitas pikir.

Di sini, bisa kita lihat esensi yang paling mendasar pada pertumbuhan manusia sejak dia bayi. Bayi yang normal akan belajar untuk bergerak dan mengungkapkan keinginannya dengan mimik dan geraknya, baru bahasa yang diucapkan dipelajari sesudahnya. Kekuatan bahasa tubuh dalam pantomim menjadi sangat esensial. Seorang pemain pantomim yang bagus sekiranya mampu untuk mengomunikasikan emosi dan ide-ide dalam naskah yang dimainkannya. Dia juga mampu memancing imajinasi dan emosi penontonnya.

Saya ingin kembali kepada pengalaman saya menghadiri Solo Mime Parade di Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah, bulan Juni lalu. Sejak lama, saya tidak melihat pertunjukan pantomim di tanah air. Sebagai seorang yang bergelut di dunia performance art, saya agak terkejut melihat semangat lima kelompok yang tampil dengan berbagai macam latar belakang pengalamannya dan kemampuannya.

Sebenarnya ketika saya berangkat saya sudah menyiapkan diri untuk melihat dengan penuh keingintahuan tentang perkembangan pantomim di tanah air, yang hampir dikatakan sebagai minoritas dalam seni pertunjukan. Saya bertanya juga, melihat sejarah pantomim yang begitu kuat di Eropa, lalu bagaimana kita di Indonesia ini bisa mengembangkan pantomim tanpa ada jalur pelatihan atau pendidikan yang kuat? Sementara untuk mendukung sebuah perkembangan perlu adanya pengembangan dan peningkatan skill, di samping tentunya menjalin hubungan baik dengan elemen-elemen pendukungnya seperti tata panggung dan musik.

Solo Mime Parade menurut saya menjadi ajang yang menarik jika bisa mempertahan kegemaran dan minat para pelaku dan penontonnya. Walaupun konteks kualitas tentunya perlu diperhatikan tetapi rasanya kita mesti bersyukur bahwa ruang Teater Arena hampir penuh dengan publik yang mayoritas anak-anak muda, pelajar, dan mahasiswa. Saya melihat adanya harapan untuk terus melanjutkan agenda serupa di kemudian hari. Maka, keinginan untuk menampilkan karya semakin besar.

Saya pikir apapun latar belakang sejarah pantomim ini, saya tertarik ketika kelompok-kelompok yang tampil menyajikan naskah-naskah yang sederhana tapi dekat dengan tema kehidupan kita sehari-hari. Kejujuran dan keberanian untuk menguak kehidupan keseharian dan lingkungan lalu memprosesnya dalam bahasa pantomim, saya pikir ini sebenarnya yang paling esensi dalam sebuah proses kreatifnya.

Di sini, topeng-topeng itu berjatuhan dan fenomena-fenomena kehidupan atau kenyataan muncul dalam bahasa yang tidak terwakili oleh kata-kata.

1 Agustus 2013

PENULIS

https://koalisiseni.or.id/anggota/melati-suryodarmo/

MELATI SURYODARMO

Pelaku Performance Art, Tinggal di kota Surakarta.

Artikulli paraprak
Artikulli tjetër
- Advertisement -spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img
Latest News

Andai Aku Jadi Maghrib 

Adzan maghrib berkumandang. Sebuah penanda yang dinantikan. Semua orang yang berpuasa seolah terprogram untuk menunggu detik-detik  itu. Piring sudah...
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img