Senin, Juni 9, 2025
No menu items!

Tirto, Rojokoyo, dan Himpitan Budaya Urban

Must Read

Apa yang istimewa dari Tirto? Sebagai sebuah wilayah dusun yang secara adminsitratif ada di Desa Bangunjiwo, nama Kasongan tentu sudah lebih popular. Barangkali tidak ada yang berbeda secara khusus antara Tirto sebagai sebuah dusun dengan dusun-dusun lain di sekitarnya. Ia merupakan wilayah di selatan Jogja dengan karakteristik geografis yang khas, yaitu sebagian wilayah berbukit kapur.

Karya Ismanto

Dalam ingatan penulis (yang sejak kecil tinggal di Kota Yogyakarta), wilayah Kasongan dan sekitarnya (termasuk Tirto) merupakan wilayah “desa” atau “ndeso” pada kurun waktu dua atau tiga dekade yang lalu. Wilayah ini selalu diingat sebagai bagian rute yang dilewati para penglajo dari wilayah Bantul yang bekerja di Kota Yogyakarta dengan mengendarai sepeda, melewati sepanjang Jalan Bantul. Kini, para penglajo itu masih ada, namun tak lagi ditemui (mungkin masih sebagian kecil) dengan naik sepeda, namun telah berubah dengan sepeda motor dan bahkan kendaraan roda empat. Profesi para penglajo ini pun tak lagi sekedar pekerja kelas menengah bawah, namun juga para pekerja menengah atas, para pegawai negeri, swasta, bahkan para seniman. Wilayah yang dulunya ada di “pinggiran kota” kini bahkan telah dianggap menjadi bagian dari kota, dengan hadirnya desa wisata, pabrik, industri, minimarket, kafe, homestay, studio seniman, juga berbagai fasilitas lainnya.

Karya Pahlevi

Lalu apa yang kemudian masih menarik untuk melihat Tirto sebagai sebuah wilayah yang telah banyak mengalami perubahan? Para seniman yang berpartisipasi dalam Sandiyo Tirto Gunung ini berusaha menghadirkan Tirto sebagai sebuah “identitas” tertentu. Tentu saja, yang kita harapkan adalah bahwa “identitas” yang hadir tersebut dilihat bukan sebagai sesuatu yang tetap, namun sebagai sesuatu yang terus bergerak dan berubah. Jika di masa lalu, masyarakat Tirto (seperti halnya msayarakat pedesaan di Jawa umumnya) memiliki konsep “rojokoyo” sebagai sebuah gambaran harta ekonomi yang paling berharga bagi mereka (berupa kepemilikan hewan ternak), maka saat ini para seniman berusaha mengekspresikan produk seni mereka dengan berbagai bentuk. Ekspresi tersebut merupakan sebuah “rojokoyo” di masa sekarang, sebagai pengingat hidup dan identitas yang terus bergerak dan berubah. Gambaran Tirto di masa lalu sebagai wilayah “ndeso”, saat ini telah bergerak dan berubah dalam himpitan budaya urban yang mengelilinginya : komodifikasi tanah dan properti, komersialisasi dan privatisasi ruang, sampai dengan terpaan godaan konsumsi yang mengalir tanpa batas.

Semoga peristiwa seni ini akan menjadi momen pengingat dan refleksi bahwa daya hidup kebersamaan dan solidaritas masih ada dan dan kita hidupi.

Karya Edo Pop

Penulis

Y.Hermawan Trinugraha, Dosen Univ. Negri Sebelas Maret

Y.Devi Ardhiani, Dosen Univ. Sanata Dharma

Artikulli paraprak
Artikulli tjetër
- Advertisement -spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img
Latest News

Puisi-puisi pendek Fathurahman Ramadhan

Kata Kata selalu tertinggalDari kebutuhan zamanBahkan kitaTak bisa menggambarkanLukaYang diberikan penguasa Yogya, 2025 Frasa Hingga kita mencoba trilyunan kombinasiKataMustahilMenemukanIstilah untukKegelapan ini Yogya, 2025 Klausa Pada sebagian...
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img