Solo mula-mula bukan politik jika kita mengingat nama-nama penting yang berkuasa di Indonesia, sejak sepuluhan tahun yang lalu. Solo itu anak-anak. Maksudku, Solo menjadi tempat biografis bagi anak-anak yang berkembang menjadi pengarang. Sengaja, aku mengingat Solo dan pengarang ketimbang politik yang bikin sewot.
Nah, siapa anak-anak yang membentuk dirinya di Solo? Aku menyebutkan beberapa nama: Rendra, Sapardi Djoko Damono, dan Arswendo Atmowiloto. Yakinlah masih ada beberapa nama penting yang belum ditulis di sini. Aku tidak mau menjadi petugas sensus penduduk atau pegawai kelurahan yang menyusun daftar nama dan riwayat singkat.

Banyak orang yang sudah mengetahui tiga pengarang itu berasal dari Solo, mengalami babak bertumbuh di Solo meski harus menuju Jogjakarta dan Jakarta untuk “besar” dan moncer. Oh, mereka yang pergi dari Solo, yang tak ada janji kembali. Solo menjadi penting gara-gara mereka. Eh, penting untuk orang-orang yang mengaku umat sastra.
Selusin hari yang lalu, aku membaca buku berjudul Bersyukur Tanpa Libur yang berisi kisah-kisah Arswendo Atmowiloto. Solo ditaruhnya di halaman-halaman awal, yang membuat pembaca terharu dan tertawa seratus sebelas kali. Aku membacanya penuh penghayatan meski tulisannya tidak puitis. Membaca dan membayangkan tempat-tempat yang membentuk kesaktian Arswendo Atmowiloto. Masalah asu, celana, sepeda, dan mesin tik membuatku ikut mengenang Solo, yang dihuni seseorang yang akhirnya berpengaruh di Indonesia dalam sastra dan pers.
Membaca buku itu saat hari-hari sering hujan. Duh, bacaan yang kadang membuatku cengeng. Arswendo Atmowiloto yang teringat dengan tawa keras itu mengalami masa-masa sulit. Yang membuatku terhubung adalah Arswendo Atmowiloto menjadi murid di SMA Negeri 2 Solo. Wah, aku juga pernah sekolah di sana walau hanya satu tahun.
Episode sebentar saja. Aku menjadi murid nakal dan panen angka merah. Bertengkar dengan guru. Dulu, Arswendo Atmowiloto mungkin murid yang pintar dan unik. Ia masih dalam miskin atau keterbatasan, yang memicunya malah menjadi petarung hebat. Aku kalah jauh dari sosok yang bergumul dengan baik-buruk kota. Soalnya, aku berasal dari desa yang sekolah di kota membawa segala sembrono dan salah. Akhirnya, aku memilih meninggalkan Solo, masuk ke sekolah yang dekat desa.
Pada masa lalu, aku bermasalah dengan desa dan kota. Yang membuatku agak terselamatkan tetap kota. Sebelum meninggalkan SMA Negeri 2 Solo, aku sempat beberapa kali membolos di Alun-Alun Utara (Kasunanan Surakarta Hadiningrat). Malas dengan banyak mata pelajaran, pilihanku adalah merokok dan nongkrong. Di sana, aku dapat melamun dan ngobrol dengan orang-orang secara asal-asalan. Yang tak terlupa adalah memfasihkan misuh-misuh. Melihat dan membeli buku bekas yang dihamparkan para pedagang di atas tanah dan rumputan alun-alun membuatku perlahan mengenali sastra tapi terus terpuruk dalam beberapa mata pelajaran.

Yang agak disesali, aku telat mengenali Omi Intan Naomi. Masa kecilnya di Solo. Ia menulis puisi-puisi saat masih murid SD. Ah, bocah yang merasakan hawa Solo, menadapatkan kekuatan di Solo, sebelum berpindah ke Jogjakarta. Sejak mula, ia bersastra di Solo. Aku pasti iri tapi tidak mungkin menandingi. Aku mulai menikmati novel dan puisi saat SMA, babak yang amburadul. Pada masa suka membaca sastra, aku tidak menemukan Omi Intan Naomi. Yang cepat dikenali berkaitan pengarang dan Solo adalah Rendra, Sapardi Djoko Damono, Arswendo Atmowiloto, Hartojo Andangdjaja, Wiji Thukul, dan lain-lain.
Semua berubah saat aku suka membuat kliping. Pada suatu hari, aku bertemu dan mengakrabi puisi-puisi gubahan Omi Intan Naomi. Sekarang, aku sodorkan puisi-puisinya yang aku temukan dalam majalah Citra Yogya edisi November-Desember 1990. Majalah yang penting untuk perkembangan sastra di Jogjakarta. Yang sedih, aku menikmati puisi-puisi setelah Omi Intan Naomi sudah pamit dari dunia.
Yang diwariskannya puisi berjudul “Dusun”. Omi Intan Naomi menulisnya pada 1990. Aku membacanya dalam kecamuk ingatan dusun masa lalu: Rindu lenyap dari khasanah anak dusun/ dan hening tak ada di batas desa. Sawah-sawa bukan/ bukan lagi lambang yang purba/ ia disoleki sejarah baru. Dusun telah berontak/ dalam diam/ kita di sini/ tak lagi bisa memahami. Ia yang menulis dengan geram atas kebijakan-kebijakan rezim Orde Baru. Duh, terbaca kemarahan dan dendam yang berat. Aku membayangkan puisi itu dibacakan saat tujuhbelasan di desa. Seingatku, dulu pemerintah gembar-gembor modernisasi desa. Akibat-akibatnya tidak selalu baik dan bahagia. Desa kadang malah bubrah!
Yang ditulis Omi Intan Naomi tidak hanya desa. Ia malah sering menulis kota dengan banyak alamat. Aku membaca puisi yang membara. Artinya, kata-kata yang berapi. Aku tidak bermaksud ikut-ikutan dengan slogan yang kemarin diumbar di Jakarta dalam pamrih demokrasi: “menyala”. ‘

Omi Intan Naomi membuatku mengerti kota (Jakarta). Mengerti dalam tiga bait. Tiba saatnya mengingat puisinya yang berjudul “Kota”. Omi Intan Naomi menulisnya di Jogjakarta, 1990. Aku mengutip bait kedua dan ketiga: jakarta terlalu riuh, mati kaku/ jadi panggung opera sabun/ dengan muka pemain kabuki/ juga ludruk zaman tangkiwood/ ia bersalin banci// apakah presiden terlalu tinggi untuk/ mengurus sambal terasi? Pokoknya puisi itu membara. Aku tidak bisa memberinya tafsir yang panjang.
Pada suatu hari, aku menanti ada orang yang membuat skripsi merujuk puisi-puisi Omi Intan Naomi. Aku ingin berbincang dengan orang itu agar mau menggarap masalah desa-kota dalam puisi-puisi Omi Intan Naomi. Yang jelas harus menggunakan puisi-puisinya yang ditulis saat masih bocah sampai dewasa. Dugaanku bakal ada citarasa yang berbeda saat memasalahkan desa-kota selama ia tinggal di Solo dan Jogjakarta.
Penulis
