Jumat, Oktober 31, 2025
No menu items!

Perang Tanpa Musuh: Ketika Indonesia Berhadapan dengan Wajah Sendiri

Must Read

Di tengah dunia yang gaduh oleh suara dentuman artileri dan derap sepatu tentara antara Rusia dan Ukraina, Iran dan Israel, Kamboja dan Thailand Indonesia tampak tenang. Tapi diam-diam, sebuah pertanyaan menggema dari kedalaman kesadaran kolektif: Jika Indonesia berperang, siapa lawannya?

Pertanyaan ini bukan sekadar spekulasi geopolitik, melainkan refleksi yang mengarah ke dalam: mungkin Indonesia, tanpa disadari, telah lama berperang, bukan dengan negara asing, tetapi dengan rakyatnya sendiri.

Ajengan Aan Farhan, seorang ulama nyentrik yang lebih suka berkhotbah di teras warung kopi daripada mimbar mewah, menyebut bahwa perang di Indonesia bukan soal senjata, tetapi soal struktur. Ketimpangan ekonomi, birokrasi yang menjebak, kebijakan publik yang lupa pada nurani. “Rakyat yang hidup dalam kemiskinan struktural, pendidikan yang timpang, dan layanan kesehatan yang tak merata sesungguhnya sedang berada di medan perang yang tak terlihat,” ujarnya.

Di sawah-sawah yang mulai sunyi, petani dipaksa tunduk pada harga yang ditentukan dari ruang rapat yang jauh. Di sekolah-sekolah pelosok, guru mengajar dengan harapan yang digantung di langit-langit reyot. Di puskesmas pedalaman, tenaga medis berjuang antara moral dan minimnya insentif. Indonesia bukan tak punya pejuang. Tapi sering kali membiarkan mereka gugur dalam senyap.

Aktor panggung dan pemikir jalanan, Rende Prayetno, menyebut perang Indonesia sebagai perang dalam cermin. Musuhnya bukan tentara asing, melainkan refleksi dari apa yang kita abaikan: amnesia sejarah, budaya sungkan terhadap kritik, dan semangat gotong royong yang terkikis oleh ego sektoral. “Kita punya segalanya,” katanya lirih, “tapi sering kali lupa cara memakainya.”

Inilah perang yang sunyi: tanpa desing peluru, tapi penuh luka. Tanpa deklarasi resmi, tapi nyata dalam antrean panjang di layanan publik. Tanpa invasi, tapi hadir dalam penggusuran, hoaks, dan janji-janji kampanye yang menguap bersama angin pemilu.

Jika ini adalah perang, maka Indonesia belum pernah menang. Tapi juga belum kalah. Negara berdiri, tapi rakyat berulang kali jatuh.

Barangkali kini saatnya kita berhenti mencari musuh di luar. Sebab yang perlu dihadapi adalah wajah sendiri bangsa yang besar, namun belum selesai dengan luka-luka kecilnya sendiri. Sebab perdamaian sejati bukanlah absen dari perang, tapi hadirnya keberpihakan pada sesama anak negeri.

Indonesia tidak sedang menghadapi musuh,

tetapi sedang diuji:

mampukah ia berdamai dengan rakyatnya sendiri?

PENULIS

Budi Darma M.Sn atau lebih dikenal dengan nama panggung Ab Asmarandana lahir di Polewali Mandar, Sulawesi barat 18 Desember 1973. Seorang Seniman Teater yang saat ini tinggal di Tasikmalaya, Jawa Barat. Bekerja sebagai Dosen di Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya. Beliau pendiri sekaligus pengelola Yayasan Lanjong Indonesia (2007-sekarang) di Kutai Kartanegara Kalimantan Timur dan Yayasan Ngaos Art (2019-sekarang).

- Advertisement -spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img
Latest News

Sejenak Berhenti dan Tanya tentang Apa yang Mesti Dilaku setelah Ini

1. Setelah makan, dan menggenapi beberapa urusan, kau berangkat ke tempat pertunjukan; dan kau sadari, cukup sering menonton pertunjukan atau...
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img