Catatan Pembacaan
Novel Penyeduh Bara karya Fajar R. Ayuningtyas bagi saya adalah novel yang menggelitik karena secara tema merupakan dunia yang bisa saja jarang dikerjakan oleh sastrawan Indonesia, yaitu dunia yang mengulik ranah teknologi informasi.
Tentu saja karena mengulik dunia teknologi informasi maka menjadi bernilai aktual di masa kini. Sebab menjadi bagian dari menu aktivitas manusia di masa kini.
Di dalam novel Penyeduh Bara pula pembaca bisa dengan mudah memperoleh asupan perihal renik-renik dunia teknologi informasi, misalnya yang terkait dengan penggunaan internet dan eksplorasi tokoh-tokohnya terhadap dunia maya.

Aktivitas atau pola komunikasi di dunia maya inilah yang mengedepan di dalam novel, menjadi bagian penting dari kehadiran tokoh-tokoh yang ada.
Sebut saja misalnya tokoh Ted yang suka posting sesuatu yang bernilai tren. Dalam novel ini banyak tokoh yang ada menyimpan teka-teki, menyimpan misteri sendiri-sendiri.
Selain Ted ada Mad Kobra, dedengkot dunia hitam dan orang kampung yang disegani. Ada juga tokoh Bhinneka, anak gali yang diasuh Mad Kobra yang juga berprofesi sebagai penjual angkringan.
Dalam pertumbuhannya Bhinneka pun merasakan hidup sebagai penjaga warnet. Ada juga tokoh Pijar Merapi, penulis kisah di blog yang juga mengisahkan Mad Kobra.
Aktivitas online itu mempertemukan dengan pergaulan yang semakin luas misalnya dengan komunitas Teman Bencana. Maka di samping mengenai pengetahuan soal teknologi informasi novel ini juga merambah soal mitigasi bencana.
Ada juga tokoh Damar, arstitek perangkat lunak yang cukup berkibar namanya di kalangan para pelaku bisnis teknologi informasi.
Kesemuanya terhubung terutama karena peran teknologi informasi. Selain itu ada bumbu angkringan sebagai ajang pertemuan alternatif.
Intinya memang dunia yang terkait dengan literasi digital dan perihal generasi gawai yang karib dengan emoji, hoaks, framing, link, clickbait, slide, dan propaganda tertentu. Tokoh-tokohnya pun berhadapan dengan tantangan hidup dan pekerjaan sebagai buzzer dan lain sebagainya.

Novel ini seperti novel detektif karena setiap tokoh yang ada dengan ragam jati diri dan profesinya hingga akhir cerita tetap menyimpan misteri yang mengecoh.
Jika kemudian ada yang terbunuh di angkringan, misalnya, siapakah sesungguhnya pelakunya, apakah tokoh yang juga menyukai konten tentang pembunuhan berantai ataukah yang lain, terkaitkah dengan dendam masa lalu?
Di situlah menariknya, unsur teka tekinya cukup menggugah untuk dijelajahi sehingga membuat novel ini sudah selayaknya untuk dibaca dengan khusyuk.
Penyeduh bara, bisa dimaknai sebagai bara angkringan atau bara dalam konten dunia teknologi informasi yang menyimpan magma pemberitaan dengan efek yang serba mengejutkan dan tak terduga.
Oleh sebab itulah novel ini merupakan dokumen penting atas rekaman zaman dalam masa tertentu. Masa di mana esensi bisa hadir secara semu karena berhadapan dengan teknologi yang mampu memolesnya menjadi biasa-biasa saja, berlebihan, atau bahkan terdistorsi. ***
Penulis

Satmoko Budi Santoso a.k.a Bung Mo. Lahir di Wates, Kulon Progo, 7 Januari 1976. Seorang penulis dan pejuang kehidupan. Banyak buku yang lahir dari pikiran dan perasaanya. Buku terbaru novel “Kutukan Rahim” (Basa-Basi, 2024). Beliau jua gemar menabung, bertualang dan tak pernah nunggak bayar pajak.
Selamat bung Mo… Tetep menulis tanpa batas usia yea..
Hihiii..
Haiyessssss kha kha khaaaaa