Proses Kerjasama
Institup Hidup di awal tahun 2025 berkesempatan untuk memproduseri pertunjukan keliling Teater Kaki Lima Puchi Mari Mari. Awalnya saya berkenalan dengan salah satu pendiri Mari-Mari yaitu Hotaka Hagiwara dari rekomendasi mas Yudhi Ahmad Tajudin, teater Garasi. Kami mulai berkomunikasi melalui sosial media facebook dengan bahasa Indonesia, Hotaka sepertinya sengaja membangun komunikasi menggunakan bahasa Indonesia, ketimbang bahasa Inggris (bahasa Internasional) meskipun tetap saja dalam perjalanannya google translete, menjembatani percakapan kami.
Tak pelak terjadi banyak kesalahpahaman dalam perjalanan percakapan, kadang kami berhenti sejenak, kemudian mengulang dan mengurai percakapan kembali dari awal, untuk menemukan pemahaman dan titik temu dari maksud kami masing-masing. Proses tersebut sepertinya yang membuat lebih akrab dan terus berkontak.
Dua orang yang belum pernah bertemu, tidak saling mengenal latar belakang, berbeda budaya, umur dan secara geografis jauh. Kami dimudahkan karena terhubung dengan mudah melalui fasilitas teknologi internet. Pokok pentingnya kemudian kami sepakat bekerja bersama menghargai proses, satu dengan yang lain. Rentang percakapan dimulai di bulan Agustus dan menjadi semakin intens di bulan November-Januari 2025, di tiga bulan sebelum kedatangan.

Ahmad Jalidu,Akane, Honami, Hotaka, Ficky, Haruton dan Ilham, Airport 17/02/2025
Bagaimana rasa saling percaya dan memahami tumbuh? Meski jurang perbedaan budaya memungkinkan kami untuk berkonflik dan bertikai di tengah jalan, bisa sangat terjadi. Ada kemungkinan, karena kami bukan komunitas besar dan terkenal, seniman populer dan mayor di negara masing-masing. Sekilas kemudian yang memudahkan kami sepertinya, teater Mari Mari Jepang, tidak ubahnya kami perlakukan sebagaimana kelompok seniman atau komunitas teater yang hidup dalam ekosistem teater di Indonesia.
Teater Mari Mari awalnya sering melakukan pementasan keliling di beberapa negara dengan membawakan pementasan berbasis cerita rakyat. Di awal pengantar Hotaka memberi gambaran berbagai kerjasama yang pernah ia lakukan untuk keliling ke beberapa negara. Salah satunya, melalui jalur undangan sebuah lembaga anak internasional: seperti UNICHEF.
Skema yang lain adalah inisiatif mandiri kelompok Mari-Mari, ketika memiliki dukungan sponsor dana publik atau dari pemerintah, mereka kemudan berangkat untuk melakukan pertunjukan keliling. Mari Mari pernah melakukan pentas ke berbagai negara antara lain Inggris, Jerman, Brasil, Nepal, Meksiko.
Hotaka memberikan gambaran rinci bagaimana Mari Mari dan kelompok mahasiswa yang terinspirasi dari gaya teater Mari Mari yaitu Puchi Mari Mari, melakukan pentas dan berkarya di berbagai tempat di Jepang. Kelompok Mari Mari didirikan tahun 2006 di Tokyo, Jepang. Ditahun 2012 berdirilah kelompok Petit Mari oleh sekumpulan mahasiswa di Shizuoka.

Kelompok Petit Mari terispirasi gaya teater Mari Mari, dari dua basis kelompok inilah kelompok Puchi Mari Mari (mari mari Kecil) terlahir. Dalam program keliling Indonesia, dua kelompok ini kemudian menggunakan nama Kaki Lima Puchi Mari Mari. Menurut Hotaka penambahan Kaki Lima tak ubahnya sebagai toko kelontong kecil Indonesia yang di bawa berpindah ke berbagai tempat.
Gaya bermain Teater Mari Mari berusaha mewujudkan kekuatan dasar dari teater yaitu pentas di ruang terbatas, tanpa properti, lampu, sound dan setting, mengandalkan basis dasar kekuatan teater yaitu keaktoran (suara dan tubuh). Kata Mari Mari terinspirasi dari ajakan atau panggilan dalam bahasa indonesia untuk memanggil orang-orang disekitar secara acak untuk datang menonton pertunjukan.
Hotaka salah satu pendiri Mari Mari dalam sebuah sesi percakapan seusai pentas di Teater GAP di daerah Titik Nol Yogyakarta. Konsep Mari Mari tumbuh agar teater dapat dinikmati oleh setiap orang. Menurutnya selama ini teater di Jepang lebih banyak dipertunjukkan secara terbatas dan berbayar mahal di dalam panggung gedung teater.
Teater Mari-Mari memiliki harapan bahwa teater dapat dinikmati semua kalangan, termasuk orang kecil yang tidak mampu membayar tiket mahal untuk masuk gedung teater. Hotaka kemudian memberikan gambaran kebutuhan awal Mari Mari dalam pentas keliling ke Indonesia Februari 2025, yaitu hanya membutuhkan ruang, konsumsi, transportasi, penonton, bila memungkinkan dapat memberikan donasi berupa uang atau barang, saat menonton itupun sifatnya tidak wajib.
Dalam percakapan yang intens ketika persiapan, Hotaka menyertakan beberapa video dan naskah yang sering dimainkan dalam pentas Puchi Mari Mari. Naskah dan video tersebut sebagai gambaran awal bahwa pertunjukan yang mereka akan usung, layak ditonton segala usia, mulai dari kanak-kanak hingga lanjut usia.

Mereka juga memberi gambaran tempat ideal tujuan melakukan pentas teaternya, seperti penjara, sekolah, ruang publik, panti jompo, dan komunitas disabilitas. Hotaka juga memberikan gambaran durasi lama kujungan ke Indonesia, jumlah anggota yang terlibat, serta memberi pengantar bentuk kerjasama pentas keliling Indonesia kali ini.
Awalnya kegiatan ini akan saya inisiasi pribadi, tetapi seiring berjalannya waktu, sepertinya lebih mudah bila dikerjakan bersama dalam wadah dan komunitas. Kemudian saya melibatkan Institut Hidup, sebagai kolektif interdisiplin penciptaan kreatif seni dan peristiwa pengetahuan maupun budaya. Anggotanya terdiri; sementara ini tiga orang, saya Ficky Tri Sanjaya, Aik Vela dan Risda Nur Widia.
Tantangan terberat dalam bekerjasama dengan Mari Mari bersama Institut Hidup, salah satu hal pokoknya adalah kali ini mereka tidak cukup waktu untuk mengumpulkan dana publik. Hal yang biasa mereka lalukan untuk mendanai pentas keliling ke berbagai negara. Tetapi mereka secara pribadi, anggota teater Puchi Mar Mari, mampu membeli tiket pesawat untuk sampai di Yogyakarta, Indonesia sesuai jadwal yang telah disepakati di bulan Februari 2025.
Persis tiga atau empat bulan berselang sebelum keberangkatan, Hotaka sudah menujukan bukti pemesanan tiket pesawat berangkat dan pulang. Sehingga tentu saja biaya lain-lain selama pementasan keliling meminta diusahakan oleh Institup Hidup, untuk mencari bantuan pada komunitas, yang bisa menerima penampilan mereka. Tentu saja jawaban kami awal, akan kami update kemungkinan peluang kerjasama dan perkembangan yang telah kami usahakan terwujud.

Institut Hidup, Modal Kultural dan Sosial Dalam Kesenian
Dalam proses berkesenian dan berkebudayaan sepertinya terjadi di belahan bumi manapun. Sejarah komunitas atau kelompok teater terkadang dapat hidup dan tumbuh tidak seideal sebagaimana harapannya. Terutama persoalan apresiasi, ekonomi atau kebijakan. Keterbatasan pemerintah, keterbatasan sumber daya manusia, referensi, apresiasi, kebijakan dan keperpihakan pada kelompok dan komunitas terkadang bersifat sangat ‘mana suka’. Mana suka berarti tidak ada sistem atau aturan baku soal kepastian tumbuh dan hidup keberlanjutan komunitas, tanpa usaha-usaha yang dilakukan dengan inisitif mandiri.
Bahasa yang populer dalam ranah akdemik saat ini adalah tata kelola seni, adalah sebuah rujukan akademik baru, bahwa dalam praktik dilapangan setiap komunitas pastinya memiliki ramuan yang berlainan dalam mengelola praktik seni, yang sesuai kebutuhan komunitas dan situasi sosial masing-masing daerah. Memetakan modal sosial dan kultural adalah satu situasi dan kondisi, serta cara yang dapat digunakan sebagai siasat untuk mewujudkan suatu program dan kerjasama baik melalui jalur-jalur formal maupun informal.

Kami Institut idup kemudian memetakan modal sosial kami. Yaitu pemetaan akan sistem laku, cara sosial dan kultural, yang dapat kami usahakan dalam bekerjasama. Beruntung kami memiliki banyak komunitas dan pertemanan personal yang dekat dan baik, bersedia mengulurkan bantuan dengan cara gotong royong, dan tanggung renteng, sebagai cara dan usaha kami.
Beberapa hal mengenai kesediaan menerima kerjasama dari kami, mungkin karena tidak enak dengan “Sambatan kami” . dengan situasi yang ada. Kami sambat dengan beberapa orang personal, komunitas, dan ruang usaha. “Sambat” sepertinya semacam cara kultural agar terpenuhi laku setelahnya yaitu kemauan sambatan, sebagai bentuk kerjasama.

Laku model kerjasama yang kami lakukan salah satunya dengan pendekatan personal dan dengan percakapan secara langsung. Yang kedua dengan penjelasan cara formal, yaitu kami mengajukan proposal kerjasama dan memberikan gambaran paling jelas mengenai program yang akan terjadi bersama kelompok Mari Mari.
Beruntung jala modal sosial dan kultural tersebut berhasil kami getarkan. Sehingga membuat situasi yang berat dan hambatan sulit, menjadi memungkinkan untuk mudah dijalani secara sambatan. Yang paling utama adalah adalah menyenangkan untuk dijalankan bersama. Pesan modal kultural dari salah satu teman, adalah janganlah takut atau sungkan untuk merepoti orang lain.
Institut Hidup bukanlah satu komunitas atau kelompok teater mapan secara ekonomi dan pengkaryaan. Tapi bukankah mungkin di Indonesia tidak ada komunitas atau kelompok teater yang mapan secara ekonomi dan kekaryaan? Meski begitu sebagai komunitas budaya yang tergolong baru dan memproduksi laku serta peristiwa, tawaran kerjasama dengan kelompok Mari Mari ini, apakah perlu diusahakan? Meski kecil efek dan pengaruhnya, menurut kami Institut Hiddup penting diusahakan. Tapi benarkah?

Awalnya tampak seperti suatu cita-cita yang utopis. Apakah kami tidak menyampaikan kondisi kami pada pihak Mari Mari? Tentu situasi dan kondisi hidup komunitas di Indonesia juga sudah kami sampaikan. Bagi inisiatif ini, kami lalukan sebenarnya lebih dari kami sebagai komunitas atau pelaku budaya, tidak tahu harus mengadu kemana situasi ini? bila ada studi kasus kerjasama semacam kelompok kami?
Lagi pula komunitas kami belum memiliki badan hukum dan nomor induk kebudayaan. Sebagaimana syarat-syarat yang diperlukan bilamana bekerjasama dengan pemerintah. Bukankah Kerjasama antar komunitas selama ini bertumbuh secara organik begitu saja? Lalu posisi pemerintah? Bila nantinya segala sesuatu peristiwa telah mendapat dukungan dari pemerintah, laku selanjutnya bagaimana dan akan sejauh apa?
Selama ini di Indonesia dalam perjalanan berkomunitas, atau seniman yang bekerja dalam komunitas/kelompok, sepertinya diharapkan menjadi pelaku budaya yang multi tugas, tidak hanya fokus mencipta karya artistik semata. Seniman kelompok juga harus memiliki kemampuan dan pengetahuan berorganisasi, manajemen, dan memahami situasi kultural disekitar komunitasnya.
Alih-alih, mengesampingkan tantangan pertanyaan tersebut mengenai situasi dan kondisi komunitas dengan kondisi sosial dan pemerintah, atau berbagai pertanyaan keuntungan kerjasama dengan pihak donor. Tampaknya kali ini kami memutuskan tetap gelisah dan berjalan dengan laku sunyi dan keterbatasan modal komunitas. Menempuh modal dengan cara-cara laku sosial dan kultural yang kami tahu dan bisa, meski tidak kurang sorotan dan apresiasi.

Bulan Februari 17-23 Februari 2025, akhirnya kelompok Mari Mari tiba di Yogyakarta. Dua hari awal Mereka melakukan persiapan latihan pementasan dengan melatih dialog percakapan dengan para aktor dalam bahasa Indonesia. Hari selanjutnya, adalah eksekusi pentas keliling. Tentu saja pada praktiknya kami terbantu oleh salah satu aktor dari Mari Mari bernama Ilham, mahasiswa Indonesia yang turut dalam rombongan teater Mari Mari Jepang ini. Ia sangat banyak membantu dalam komunikasi dan situasi, lancarnya perjalanan pentas disetiap lokasi pertunjukan.
Dengan bantuan dan dukungan banyak pihak, akhirmya Teater Kaki Lima Puci Mari Mari dari Jepang dapat menyelesaikan seluruh pentas keliling komunitas di empat daerah Jogja, Solo, Sukoharjo, dan Magelang, dalam setiap harinya ada dua kali pementasan di beda wilayah yang berdekatan. Tidak hanya pentas, mereka juga memberikan workshop singkat, selain itu juga ada diskusi peristiwa di akhir sesi pementasan sebagai refleksi dari inisiasi institut hidup dan Mari-Mari terhadap seluruh proses dalam satu minggu kami lakukan.
Penulis
FICKY TRI SANJAYA

Aktif di media sosial dengan akun instagram : @fickysanjaya. Menjalani misi kesenian ke luar negeri pada usia 14 tahun bersama Anak Wayang Indonesia. Setelahnya menekuni dunia seni pertunjukan, dengan bermain dan menjadi
kolaborator dalam berbagai pertunjukan lintas disiplin (teater, musik, tari, seni rupa, film, dan seterusnya). Sejak 2019 hingga kini bekerja sebagai program manajer di Konferensi Pertunjukan dan Teater Indonesia. Pada 2024 menyelesaikan studinya di pascasarjana, Kajian Ilmu Budaya, Sanatha Dharma Yogyakarta.