Senin, Juni 9, 2025
No menu items!

Menatap Cermin Pecah dan Berhadapan dengan Sejenis Resah yang Membuat Betah

Must Read

1.

Saat memasuki ruang pertunjukan yang seperti kubus hitam itu, kau begitu terpukau pada apa yang ada di area panggung, di area pertunjukan. Ada kain putih yang menutup segala; menutup lantai dan benda-benda yang belum bisa diterka sebelum pertunjukan bermula. Di atas kain itu, ada seorang aktor—yang mengingatkanmu pada salah satu kawan di masa kuliah yang begitu gandrung pada teater: perawakan dan cara pembawaan.

Aktor itu berbaring dan mencoret-coret kain putih dengan spidol, meski sepasang matamu tak genap bisa melihat apa yang digoresnya; terlebih setelah kau dapati posisi dudukmu. Adegan itu berlangsung cukup lama, sejak para penonton perlahan masuk, hingga genap duduk berdesak-rapat; dan dihidupi atmosfir hening.

Setelahnya, aktor yang memakai jaket bertudung, celana jin, dan kemeja merah kotak-kotak itu mulai bermonolog tentang perjumpaan; dan saat itu, sepasang mata dan telingamu terasa begitu puitik-dramatik: seperti pertunjukan teater yang kau lihat ketika masa kuliah, dengan intensitas yang lain. Sepasang matamu terangkat, dan mendapati ada seorang aktor pula di panggung atas. Ah, cahaya dan bayang itu amat memukau matamu.

Aktor-narator bertudung itu menepi; dan lampu menyorot panggung atas, menyorot aktor yang kau dapati setelah mengangkat pandang. Kelambu itu ada di depan tatapan si aktor; dan digeser hingga genap menjelma gorden. Aktor itu bermonolog; dan di sepasang telingamu, terdengar pelan dan lemah.

Dan setelah monolog itu, aktor berkelambu itu berjalan, turun, dan menepi… Aktor-narator di awal, yang menjahit sejenis narasi, menarik kain di sisi kanan. Dan tampaklah papan triplek; lantas papan itu pun digerak sedemikian rupa hingga menjadi dinding. Adegan pun kembali berlanjut!

Aktor lelaki lain murka; intensi pertunjukan naik. Triplek terkena pukul berulang, berulang, dan jebol! Aktor perempuan di sisi lain berupaya menahan. Dan semacam dialog muncul di sana! “Ah, apa pernyataan-pernyataan itu sungguh genap bisa disebut sebagai dialog?” Cahaya dari lampu begitu memukai matamu: warna-warna dan tebal-tipis yang mana di sepasang mata memberi bobot lembut tapi sekaligus berat.

Musik dari keyboard terdengar, dan mempermainkan perasaan; dan kau menoleh ke kanan sejenak, menolek pemain keybord yang ada di sampingmu. Intensi naik dan naik, lalu memuncak, dan turun perlahan: senyap pun mengisi akhir. Semacam maaf dan penerimaan muncul di sana. Dari lubang itu, tangan si aktor lelaki masuk: membelai lembut kepala si aktir perempuan.

Adegan pun bergeser! Papan triplek digerak sedemikian rupa oleh aktor yang tadi mengamuk dan aktor yang tadi ada beradegan kelambu-gorden di panggung atas; dan menjelmakan itu sebagai rumah tempat berteduh, di mana dua aktor itu menjelma tiang, meski lubang dari hasil hantaman tadi masihlah ada dan nyata.

Aktor yang ada di sisi gelap dinding triplek kini mejadi perhatian, menjadi fokus adegan: bermonolong puitik-dramatik sambil menikmati sepiring nasi dan lauk-sayur. Serangkaian kenangan, yang terasa asli dan fantasi, tumpang-tindih: bercampur dengan harapan. Sepasang matamu bergeser, sejenak, dan melihat aktor-narator itu di sisi kiri: sibuk mencoret, menggurat, dan menggambar lagi.

Lantas, kau kembali menyimak apa yang diucap-kerjakan aktor yang tengah makan itu. Corak pertunjukan yang demikian, entah kenapa, bagimu, sungguh mengingatkanmu pada corak kawanmu itu; tapi tetap terasa lain: lebih pecah dan tajam. Perempuan yang sambil makan-mengunyah itu, dengan cahaya yang menguatkan adegan, lantas berkata: Tubuhku tercipta dari airmata Ibu yang disembunyikan…

Kain kembali tersingkap pada sisi lainnya, pada sisi kiri. Kemudian, tampaklah aktor-penyanyi di dalam lemari dengan pintu kaca. Sebuah keyboard digenggam-peluknya; dan dimainkannya. Ia menyanyi, bersenandung elegi dan balada. Ah, kau begitu menikmatinya: hanyut kembali. Setelahnya, setelah nyanyian rampung, aktor-narator itu muncul kembali, mengajak kawannya menaikkan selimut, menaikkan kain penuh gurat-coret untuk menyelimuti para penonton yang memenuh-padati kursi.

Aktor itu kembali berbincang dengan penonton; dan membawa senter, lantas meminta salah satu penonton membantu menyorotnya yang mana telah berdiri di tengah-tengah penonton. Beberapa penonton menyalakan lampu-senter dari gawai masing-masing: juga memfoto dan merekam—untuk arsip dan konten.

Aktor-narator meminta penonton untuk mengambil spidol-spidol di bawah area duduk mereka: yang telah disediakan sejak mula dan muka. Dan para penonton diminta membuat tulisan-guratan atau apa pun di kain. Suatu hangat yang ganjil kau rasai. Aktor-narator itu mulai berkata tentang Ibu: meminta penonton untuk membayangkan tangan-kaki, kepala, kain, benda-benda, dan kata-kata sebagai Ibu.

Dan lalu, kepalamu dihinggapi tanya yang bergema: (si)apa itu Ibu? Sambil menyimak, dalam remang, kau mencoba membaca tulisan yang ada di kain; mencoba menerka gambar-gambar yang ada di kain itu. Dan kau pun juga tergoda untuk menerka: Apa yang ada di balik selimut-kain penuh coretan ini? Akan tetapi, setelah sebuah warta akhir, setelah sebuah spaktakel, tidaklah genap kau dapati adegan lagi; dan panggung senyap, pertunjukan rampung—

2.

Pertunjukan yang disuguhkan oleh Zizaluka Project, dengan judul Jika Ibu Ada Enam, yang disutradarai Ihsan Kurniawan, bagimu adalah pertunjukan yang mempesona; tetapi menolak disentuh oleh kepala, dan seolah hanya membiarkan disentuh olah dada, disentuh oleh sesuatu yang dinama perasaan.

“Ada gema, Ryl…,” ucapmu pada salah satu kawan yang menyaksikan sejak hari pertama pula. Di pertunjukan keenam dan penutup Festival Minikita itu, bagimu, seperti beberapa pertunjukan sebelumnya, berhasil membunyikan benda-benda di panggung; mengizinkan benda-benda bercerita, juga menyampaikan jalinan narasi.

Dan seperti beberapa penonton, yang turut dalam diskusi paska pertunjukan, kau cukup bertanya-tanya tentang “ibu yang ada enam”; dan mencari jembatan penghubung antara judul-tema dengan apa yang telah disuguhkan Ihsan dan Zizaluka Project di atas penggung—

Akan tetapi, saat salah satu kawanmu mengejar lagi dengan tanya, kau cukup mantap berkata, menyaksikan pertunjukan Zizaluka Project itu kali, seperti berhadapan dengan cermin pecah. Dan kau lekas teringat salah esai Salman Rushdie yang berjudul “Tanah Air Imajiner”; teringat ucapan, bahwa cermin yang pecah sama berharganya dengan cermin yang utuh…

Amatlah kau curigai dirimu sendiri pula, bahwa perumpamaan itu bisa tak genap tepat; tapi, sekali lagi, kau cukup mantap berkata pada kawanmu, bahkan memperluas sejenis umpama. “Seperti cermin yang pecah, Ryl,” ucapmu padanya, “berkilau memukau; tapi bila disentuh, bisa mencipta luka, ketika tak hati-hati; dan tentu saja enigmatik…” []

(Yogyakarta, September—Oktober 2024)

Biodata Penulis:

Polanco S. Achri lahir dan tinggal di Yogyakarta. Ia adalah penulis cerita, naskah pertunjukan dan esai-esai kesenian. Selain menulis, ia juga mengelola Pendjadjaboekoe dan Majalah Astro; serta memimpin Sindikat Liar Muda Ngantukan. Saat masih mengajar bahasa di sebuah SMK di Sleman, ia sempat menjadi produser dan sutradara film dokumenter, untuk beberapa nomer, seperti Di Balik Merangkul (2021) dan Sangu Rasa (2023). Kini, ia tengah menempuh studi sastra lanjutan di kampus utara Yogya. Ia dapat dihubungi di FB: Polanco Surya Achri dan/atau Instagram: polanco_achri.

- Advertisement -spot_img

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img
Latest News

Puisi-puisi pendek Fathurahman Ramadhan

Kata Kata selalu tertinggalDari kebutuhan zamanBahkan kitaTak bisa menggambarkanLukaYang diberikan penguasa Yogya, 2025 Frasa Hingga kita mencoba trilyunan kombinasiKataMustahilMenemukanIstilah untukKegelapan ini Yogya, 2025 Klausa Pada sebagian...
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img