Pernahkah terlitas di pikiran kalian, betapa mudahnya jari menunjuk dan bibir berucap? Sebelumnya, penting untuk kita ketahui bersama, bahwa sebuah “diagnosis kejiwaan” hanya bisa dilakukan oleh seorang psikolog, dokter ataupun psikiater. Saya kurang setuju, jika warga sekampung menyebut Lastri, tetangga saya sinting. “Sinting” kata yang digunakan untuk menggambarkan perilaku atau pemikiran seseorang yang tidak normal, di luar kewajaran bahkan menunjukkan tanda-tanda gangguan kejiwaan.
Lastri adalah tetangga saya, tepatnya di sebelah kanan rumah saya. Lastri, seorang ibu beranak satu, sekaligus istri dari kuli bangunan. Sebagai tetangga, yang hobinya ngintip diam-diam, saya paham betul sifat Lastri. Lastri memang kerap saya pergoki suka bengong, terus tiba-tiba berlinang air mata hingga ngomong sendiri di teras rumahnya. Pemandangan itu, memang kadang bikin kening saya berkerut.
Tapi serius, menurut saya Lastri ini tidak sinting. Ia hanya seorang introvert kronis, yang hidupnya serasa terperangkap dalam video game yang salah genre. Bayangkan, di tengah hiruk-pikuk Kampung Rawa Buaya, yang isinya orang-orang doyan julid hingga tetangga tukang ngutang. Lastri malah disetting, menjalankan script harian oleh developer tajir, hidup sebagai seorang NPC di Kampung Rawa Buaya. Kalian tahu, kan, NPC? Itu loh, non-player character yang keberadaannya cuma sebagai figuran, tanpa suara, tanpa peran berarti. Lastri tadinya cuma bisa nunggu update patch dari semesta, biar bisa dapat quest hidup yang lebih seru.
Namun, yang bikin semua orang melongo, dan jujur saja, bikin saya termotivasi ikutan adalah insiden tertangkap basah Lastri di rumah Pak RT seminggu yang lalu. Itu adalah sebuah revolusi fundamental dari seorang individu Lastri. Malam itu, rumah Pak RT sedang ramai-ramainya dengan acara yasinan mingguan. Lastri sebagai tetangga, tepat di depan rumah Pak RT, tentu seharusnya diundang dong? Biar ada iktikad dalam bertetangga. Namun, entah karena lupa atau memang sengaja dilupakan. Hanya keluarga Lastri yang tak ada dalam daftar tamu. Dan di sinilah, label “sinting” itu lahir.
Pada malam itu, Lastri melangkah ke rumah Pak RT, tapi ia tidak langsung masuk. Ia juga tak mengucapkan salam. Tidak bertanya, “kok saya nggak diundang, Pak RT? Ia hanya berdiri terpaku di teras depan. Wajahnya? Jangan ditanya. Itu bukan lagi wajah manusia, tapi “Mama Godzilla baru bangun tidur.” Lalu, dengan gerakan dramatis yang tak terduga, ia membuka kandang burung peliharaan kesayangan milik Pak RT, yang menggantung manis di teras depan. Cuit! Cuit! Kabur sudah itu burung.
Sontak saja, seisi rumah Pak RT langsung gaduh. Para tetangga yang tadinya khusyuk berzikir mendadak berhamburan keluar. Mengejar Lastri sambil teriak, “Sinting! Lastri sinting!” hingga label itu bertahan sampai detik ini.
Dari Lastri, yang kemudian saya ajak ngobrol paginya. Tindakan ekstrem itu, ia lakukan untuk memvalidasi dirinya kepada warga Rawa Buaya. Lastri bilang, ia selama ini bak hantu di siang bolong. Keberadaannya ada, tapi tidak signifikan. Ia begitu cemas tentang eksistensialnya di Rawa Buaya. Ia tahu kalau ia adalah orang miskin, dan sadar akan keberadaan demikian. Tetapi ia ingin hidup lebih bermakna, memilih untuk bersikap ensensial, dengan menciptakan eksistensialnya sendiri, bahkan jika itu dengan membuat keributan.
IDENTITAS PENULIS

Yessi Alma’wa asli dari Sumatra. Lebih suka bengong dari pada ngomong. Kini sibuk merenungi eksistensinya sebagai pengajar atau cuma lagi mikirin, “Aku ini siapa, sih?” Jika ingin menyapa bisa mampir di Instagram @sii_almawa.






