Pengamen jalanan muda itu berjalan menyusuri jalanan Yogya malam hari, kaosnya basah bukan lantaran hujan tapi basah oleh keringat. Tangan kanannya memegang Gitar, punggungnya menggendong tas ransel entah berisi apa. Langkah kakinya terasa ringan seperti tak ada beban dalam hidupnya. Sebab hidupnya hanya dipenuhi rasa bersyukur pada semesta.
Pengamen muda itu cukup kondang sebab pernah masuk seleksi Indonesia Idol. Orang mengenalnya dengan nama Yuliono Singsot. Musisi jalanan asal Wonosobo, Jawa Tengah ini mempunyai tekad yang kuat sedari remaja. Terbukti tahun 2003 Yuliono memutuskan untuk meninggalkan kota kelahirannya Wonosobo. Ia memilih pergi menggelandang ke Yogyakarta, kota yang dibayangkannya sebagai Kawah Candradimukanya para seniman.

Ketika itu Yuliono masih bekerja sebagai tukang bersih-bersih di sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Ia bertemu dengan para seniman muda dari Yogyakarta yang mengatasnamakan Sanggar Sepur, bertandang ke kota Wonosobo dalam acara pentas seni. Para seniman muda itu diataranya Mutia Sukma, Windi dan Windo. Pertemuan membuat jiwa seninya bergejolak ingin menjalani proses seperti anak-anak muda dari kota pelajar itu.
Ia bulatkan tekadnya untuk pergi berkelana ke Yogyakarta, tak peduli akan menjadi apa kelak dikemudian hari. Sesampai di Kota Yogya, Yuliono bermodalkan ketrampilan yang telah ia punyai. Sol sepatu, servis payung, semir sepatu dan bermusik adalah modal utama yang menghidupinya. Yuliono belum punya tempat tinggal, setiap malam ia tidur di trotoar dan emperan toko.
Masa-masa menggelandang seperti itu sebenarnya tak jauh beda waktu masih di Wonosobo. Yuliono telah bekerja malang-melintang sebagai tukang sol sepatu dan servis payung sejak kecil. Bersama kakaknya ia berjalan kaki dari Dieng hingga mBawang yang jaraknya 23 Kilometer. Hingga ketika sampai di sebuah Masjid Yuliono kecil sholat, tapi ketika bersujud ia tak lagi berdiri lantaran tertidur saking capeknya.
Yuliono anak yang rajin, selalu bangun pagi untuk membantu ibunya memproduksi dan mengangkut Tahu ke pasar. Air tahu itu membasahi rambut kepalanya yang mengharuskan Yuliono kecil mandi keramas, lalu berangkat sekolah bersama teman-temannya. Masa-masa mengharukan itu tak pernah lepas dari ingatannya.
Di kota Yogya Yuliono mendapatkan tempat tinggal sementara di Sanggar Sepur, tempat kreativitas para mahasiswa. Aktivitasnya masih di jalanan, ia menyemir sepatu dan mengamen, setidaknya ia punya penghasilan tuk biaya hidup. Selama di kota Yogya, Yuliono dipertemukan dengan banyak teman dan seniman. Kemudian ia pindah ke Sanggar Ta’abah dan dipertemukan oleh mas Dodok yang kemudian mendaftarkannya Sekolah Menengah Atas (SMA) Budi Luhur (BL). Namun sebelumnya musti menempuh ujian kejar paket C terlebih dahulu.
Petualangannya di Yogya membuatnya semakin berkembang setelah bertemu para seniman. Salahsatunya seniman Pantomim, Ende Reza yang membuatnya turut berpantomim juga. Keterampilannya bertambah dan semakin kreatif dalam menciptakan lagu-lagu seru nan lucu. Yuliono semakin tenggelam dalam iklim kreativitas seni di Yogyakarta.

Dunia seni dilakoni dengan jiwa dan hati berseri-seri, sampai saatnya Yuliono bertemu para seniman Teater. Ia bergabung dengan kelompok teater Gandrik yang dimotori seniman-seniman senior seperti Butet Kartaredjasa, Heru Kesawamurti, Jujuk Prabowo, Sepnu dan Djadug Ferianto. Yuliono melakoni seni teater dengan bersungguh-sungguh. Ia merasa bangga bisa berproses dan pentas satu panggung bersama tokoh-tokoh yang ia idolakan selama ini.
Butet Kartaredjasa telah menginspirasinya dalam pola berkeseniannya. Ia mulai mengenal menejemen seni. Bagaimana Yuliono bisa mengatur job-job yang semakin membanjiri dirinya, terlebih ketika ia masuk dalam seleksi Indonesian Idol “30 menit menjadi Artis”. Karena merasa kurang cocok jika ada menejer, ia musti mengatur semuanya termasuk honornya.

Honor pantomimnya musti ada tarifnya tidak sekadar asal-asalan, agar karya seniman dihargai dengan wajar. Namun Yuliono juga membedakan manakala dapat job dan saatnya melakoni seni amal untuk kegiatan sosial. Proses bermusiknya juga terus berjalan hingga lagu-lagu baru ia ciptakan. Suara singsotnya menjadi kekhasan dalam bermusik hingga dijuluki dengan nama Yuliono Singsot. Selain itu selipan-selipan kata-kata humor semakin membuat para penggemarnya terpingkal-pingkal. “Hidup tanpamu bagaikan Ambulance tanpa Uiii..uuiii..” begitu salah satu selipan humor dalam lagu-lagunya.
Pergaulannya semakin luas hingga merambah ivent musik Ngayogjaz. Pak Djadug Ferianto (alm) memintanya untuk mengisi pantomim, mengamen dan menghibur penonton. Itulah warisan beliau yang setiap tahun sampai sekarang masih terus menghibur dalam acara musik legendaris tersebut.
Dalam dunia musik selain Pengamen Kendang legendaris bapak Sujud “Kendang” Sutrisno (alm) sebagai Sang Pengamen Agung. Yuliono Singsot mendapatkan penghargaan dari Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) sebagai seni Pemusik jalanan. Mendapatkan piagam penghargaan dan uang sebesar satu juta rupiah.
Yogyakarta tak hanya membawanya dalam dunia kesenian tapi juga dalam dunia pendidikannya. Setelah lulus SMA tahun 2006 ia istirahat dua tahun lalu mendaftar di berbagai unversitas, dan akhirnya diterima di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Ia mengambil jurusan Agrobisnis Fakultas Pertanian tahun 2008. Yuliono si Pengamen jalanan itu kini telah menjadi mahasiswa baru yang membanggakan saudara dan kedua orang tuanya.
Jalanan
Perjalanan langkah Yuliono tak semulus yang kita bayangkan, banyak aral melintang ia hadapi. Dunia jalanan yang keras musti dilakoni dengan seluruh energinya. Ia menghadapi banyak peristiwa yang pahit dan penuh kekerasan. Sebuah lakon hidup yang tak pernah ia sangka dan tak diharapkan sama sekali.

Pernah ia terlibat dalam sebuah perkelahian jalanan yang membuatnya babak belur. Di jalanan sering terjadi tindak kekerasan akibat kesalahpahaman. Masalah komunikasi, saling tantang, hingga berebut wilayah mencari nafkah. Perkelahian satu lawan satu hingga dikeroyok pernah ia alami. Hanya dengan modal keberanian tanpa keterampilan beladiri, Yuliono menghadapinya. Perkelahian jalanan memang menegangkan dan penuh resiko yang berat. Salah-salah nyawa bisa melayang atau mati konyol.
Diantara sekian keruwetan jalanan yang kasar dan keras Yuliono masih bertahan. Tak sedikit juga sesama penghuni jalanan itu saling sikut dan saling jegal demi kepentingan rejeki. Hukum yang berlaku adalah hukum rimba siapa paling kuat dia yang menang dan berkuasa.
Yuliono lelaki berhati lembut itu kadang harus mengalah pada kenyataan pahit. Suatu ketika pernah ia mengalami kekerasan tanpa ia balas. Kejadian itu saat ia bekerja sebagai penjaga malam di sebuah tempat bisnis. Yuliono bukan sekuriti tapi hanya ditugasi sebagai penjaga saja. Ternyata anak-anak muda sekitar bertingkah resek pada dirinya hingga terjadi penganiayaan. Ia malapor pada polisi dan beberapa temannya, ingin membalaskan dendam terhadap pelaku. Yuliono melarangnya, akhirnya ia membiarkan para pelaku kekerasan menemui karmanya sendiri.

Ketika jalanan menjadi ancaman baginya ada saja orang baik yang mengajaknya bekerja, keluar dari jalanan. Ia bekerja sebagai server disebuah cafe, mengerjakan banyak hal, dari mengantar makanan hingga bersih-bersih piring. Yuliono Singsot juga belajar bagaimana cara meracik kopi yang nikmat. Kelak akan membawanya dalam usaha jualan kopi di jalanan yang siap sedu saat itu juga.
Mentalnya semakin kuat selama hidup di jalanan, ia tak lagi mau ditindas dan berani melawannya. Salah satu bentuk pertahanan dirinya dengan mengubah sikapnya yang tak lagi munduk-munduk atau merendah-rendah jika bertemu orang. Sikap dan cara komunikasinya berubah jika berhadapan dengan orang.Yuliono tampil beda.
Bagimana kisah “Langkah-Langkah Yuliono” selanjutnya. Bagaimana nasib pendidikannya, proses kreativitasnya dan kisah-kisah cintanya. Ikuti edisi selanjutnya dalam Rubrik “Tokoh Kita”. (S3)
Bersambung ke edisi selanjutnya…