“Kesenian Bantengan ini adalah produk kesenian yang paling jelek. Pelakunya jelek semua, kostumnya hitam semua, gerakannya paling jelek, musiknya sangat sederhana. Tapi, jika ingin melihat Jawa yang benar-benar Jawa, lihatlah kesenian Bantengan ini.” (Agus Tubrun)
7 April 2018
Saya mengawali perjalanan saya mencari informasi mengenai kesenian Bantengan, sebuah kesenian rakyat yang saat ini digandrungi oleh masyarakat Kota Batu. Difasilitasi oleh bu Lilik, salah satu tokoh masyarakat di Kota Batu, sampailah saya di kediaman Agus Tubrun, seseorang yang sejak tahun 2008 berjuang menghidupkan kembali kesenian Bantengan yang sebelumnya sempat punah. Dia mencetuskan Festival Bantengan Nusantara untuk pertama kalinya di medio akhir 2008, dengan dukungan penuh dari Dewan Kesenian Kota Batu.
Kepada saya, Cak Tubrun yang juga merupakan Ketua Perkumpulan Komunitas Bantengan se-Malang Raya, bercerita ihwal Bantengan yang dulu sempat punah hingga akhirnya bangkit kembali sehingga Festival Bantengan Nusantara dapat terus digelar setiap tahun.
Kegelisahan Cak Tubrun perihal punahnya Bantengan diawali dengan memori masa kanak-kanak. Dulu, kakeknya adalah pelaku Bantengan. Di zaman itu, Bantengan merupakan kesenian yang populer di tengah masyarakat dan kerap ditampilkan setiap kali ada hajatan desa, seperti, misalnya, syukuran panen. Berdasarkan memori masa kecil tersebut Cak Tubrun merasakan kehilangan yang dalam ketika Bantengan tidak pernah ditampilkan kembali di tengah masyarakat. Ditambah lagi dengan adanya warisan kepala banteng dari sang kakek, timbullah cita-cita untuk menggali kembali kesenian Bantengan.
Awalnya, Cak Tubrun bersama beberapa teman yang memiliki minat khusus pada Bantengan, tidak menemukan literatur apapun yang berbicara tentang kesenian Bantengan. Hal yang sebenarnya cukup mengherankan. Karena dalam ingatan Cak Tubrun, Bantengan adalah seni yang sangat disukai oleh masyarakat. Karena tidak ditemukan arsip-arsip mengenai Bantengan, Cak Tubrun dan kawan-kawan menelusuri desa-desa di wilayah Batu. Ternyata ada sangat banyak simpanan kepala-kepala banteng di pelosok-pelosok desa, juga masih ada pendekar-pendekar bantengnya. Kepala-kepala banteng tersebut hanya disimpan dan tidak pernah ditampilkan lagi. Mayoritas kepala banteng adalah warisan para leluhur. Jika ditanya soal punahnya Bantengan kepada para sepuh, mereka rata-rata bercerita bahwa Bantengan mulai jarang ditemui di era penjajahan Belanda kemudian lambat laun menghilang dengan sendirinya.
Dengan banyaknya penemuan kepala banteng sebagai bukti fisik keberadaan kesenian Bantengan, Cak Tubrun semakin yakin kalau Bantengan merupakan kesenian rakyat yang memegang fungsi vital sebagai alat untuk mengumpulkan, menyatukan, dan mengguyubkan masyarakat. Dengan keyakinan tersebut, maka digelarlah Festival Bantengan Nusantara (FBN) untuk pertama kalinya di tahun 2008, dengan mengundang masyarakat desa yang memiliki kepala Bantengan. Sesuai dugaan Cak Tubrun, FBN 2008 mendatangkan respon yang sangat besar dari masyarakat. Animo masyarakat untuk datang menyaksikan medan laga para banteng begitu luar biasa.
Pasca FBN 2008, penelitian terus dilakukan. Hingga pada tahun 2009, Cak Tubrun dkk mendapatkan titik terang dengan ditemukannya gambar relief berupa banteng, macan dan monyet di Candi Jago. Tiga binatang tersebut adalah unsur yang harus ada dalam kesenian Bantengan. Sejak ditemukannya relief tiga binatang tersebut, diskusi kajian sejarah mengenai Bantengan pun semakin menuju pada kesimpulan, meskipun kesimpulan tersebut bukanlah kesimpulan yang bersifat final, lagi-lagi dikarenakan ketiadaan arsip-arsip sejarah perihal Bantengan.
Versi sejarah yang saat ini dijadikan rujukan oleh Cak Tubrun adalah bahwa kesenian Bantengan ini diyakini muncul di era Kanjuruhan-Singosari. Pertama karena memperhatikan era dibangunnya Candi Jago. Kedua, dilihat dari sebaran wilayah keberadaan bukti fisik kepala Bantengan yang ditemukan di area Malang Raya (Kab.Malang, Kota Malang, Kota Batu) hingga daerah Mojokerto bagian selatan. Pusatnya berada di wilayah Kota Batu, wilayah yang paling banyak ditemukan kepala bantengnya. Wilayah-wilayah tersebut menyerupai batas-batas wilayah kerajaan Kanjuruhan-Singosari yang berada di antara wilayah Gunung Semeru, Gunung Arjuna, Gunung Bromo dan Gunung Kawi.
Sedangkan menurut versi para leluhur, kesenian Bantengan awalnya diciptakan oleh seorang patih kerajaan di masa lalu untuk tujuan spiritual dan belajar ilmu kanuragan. Di zaman dulu, para pemuda sangat sulit diajak berlatih ilmu bela diri. Kesenian Bantengan dimunculkan untuk menarik minat para pemuda berkumpul dan belajar ilmu bela diri. Patih kerajaan tersebut menciptakan kesenian Bantengan dengan menggunakan gerakan-gerakan dasar pencak sebagai pola dasar gerakan tari, dengan mengadopsi banyak gerakan banteng, macan, dan monyet.
Jika di zaman kerajaan Kanjuruhan, Bantengan digunakan sebagai alat pengumpul massa, maka di zaman penjajahan Belanda, kesenian Bantengan menjadi satu kamuflase penyamaran dalam mempelajari ilmu bela diri. Saya menduga Belanda melarang keberlangsungan kesenian Bantengan karena kesenian Bantengan memiliki semacam kekuatan magis untuk mengumpulkan masyarakat. Ditambah dengan dasar-dasar ilmu bela diri yang dimiliki oleh para pelaku kesenian Bantengan, sehingga keberadaan kesenian Bantengan dapat dipandang sebagai kesenian yang mengancam bagi Belanda.
“Iya, sangat magis dan mistis. Dibanding kesenian-kesenian lain yang juga menggunakan unsur trance, kesenian Bantengan ini kuat sekali unsur mistisnya. Maka harus ada pawang yang mengendalikan gerakan para banteng itu. Dan yang jadi pawang ini harus kuat secara spiritual, karena setiap kali ada Bantengan, ada ratusan banteng yang harus dikendalikan,” ujar Cak Tubrun. Saya terhenyak. Mengendalikan ratusan pelaku Bantengan dalam keadaan trance bukan hal yang mudah tentunya. Meskipun di era sekarang ini Bantengan muncul sebagai sarana hiburan rakyat, tapi unsur-unsur mistisnya tidak dihilangkan sama sekali. “Kami mempertahankan kesenian Bantengan yang pakem. Kostumnya tidak diindah-indahkan. Gerakannya tidak diindah-indahkan. Musiknya cuma ketukan sederhana. Ketika pelaku Bantengan sudah mengalami trance, suasana magisnya kental sekali,” tambah Cak Tubrun. Kuatnya unsur magis ini dapat dirasakan jika menyaksikan kesenian Bantengan secara langsung. Saya sempat melihat kesenian Bantengan hanya melalui rekaman gambar, saya cukup paham bahwa unsur-unsur mistisnya memang tidak dapat dirasakan hanya melalui rekaman video. Berbeda halnya ketika saya berhadapan langsung dengan Cak Tubrun, saya merasakan kekuatan energi dahsyat khas banteng yang tersimpan dalam dirinya.
Menurut Cak Tubrun, hal yang paling menarik dari kesenian Bantengan terletak pada simbol-simbol kebudayaan Jawa yang terkandung di dalamnya. Kesenian Bantengan identik dengan simbol banteng, macan dan monyet. Dalam filosofi Jawa, banteng mewakili sifat kebijaksanaan, macan mewakili sifat angkara murka, sedangkan monyet mewakili sifat iri dan dengki. Ketiga sifat ini adalah sifat-sifat manusia yang selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat. Kesenian Bantengan sendiri menonjolkan simbol banteng yang mewakili sifat kebijaksanaan sebagai pengingat agar manusia selalu memupuk sifat kebijaksanaan lebih dari sifat-sifat yang lainnya. “Saya melihat masyarakat Jawa yang njawani justru dalam kesenian Bantengan,” lanjut Cak Tubrun.
Secara menyeluruh, kesenian Bantengan tampil dengan rendah hati, guyub, rukun tanpa pamrih, namun menyimpan kekuatan yang tersembunyi. Karakter-karakter yang pas ditampilkan dengan wujud seekor banteng. Maka, sebagaimana banteng, komunitas-komunitas kesenian Bantengan juga mengusung semangat rendah hati, guyub, rukun dan tanpa pamrih. Hal ini bisa dilihat jika ada karnaval-karnaval seni yang berisi kesenian Bantengan. Jika Bantengan turun ke tengah masyarakat, bisa dipastikan akan menjadi ajang pesta dan berkumpul bagi para banteng. Seluruh komunitas Bantengan yang memutuskan untuk tampil akan menyumbangkan apapun yang mereka punya demi berangkatnya kepala banteng yang mereka miliki menuju tempat pesta. Padahal mereka tidak dibayar sepeser pun.
“Untuk datang ke Festival Bantengan Nusantara di Kota Batu, komunitas-komunitas yang terletak di desa-desa terpencil harus menyiapkan truk PP untuk mengangkut semua kepala banteng dan pelaku-pelaku kesenian Bantengan, juga masyarakat yang ingin menyaksikan banteng. Untuk menutup biaya-biaya selama mengikuti Festival Bantengan tersebut, anggota komunitas sama sekali tidak merasa berat. Mereka selalu mengandalkan apapun yang mereka miliki. Pernah terjadi, sebuah desa urun menyumbangkan bambu-bambu yang ditebang dari tegalan-tegalan mereka. Setelah terkumpul ratusan batang bambu, bambu-bambu tersebut dijual dan hasilnya digunakan untuk membiayai komunitas mereka demi bisa ikut Festival Bantengan. Hal-hal yang tidak pernah terpikirkan oleh kita yang tidak hidup di desa. Biaya jutaan sampai belasan juta rupiah itu bisa dengan mudah mereka kumpulkan dengan semangat guyub, rukun dan tanpa pamrih. Itu membuktikan jika masyarakat di pedesaan bisa menjadi sangat kuat jika sudah bersatu bersama-sama,” jelas Cak Tubrun.
“Ibaratnya lebaran bagi para banteng, “ tambah Cak Tubrun lagi. Saya tertawa. Ya, begitulah orang-orang menjalani lebaran, lengkap dengan tradisi mudiknya. Berapapun biaya yang dihabiskan untuk mudik, semua akan dijalankan dengan ikhlas dan sukarela demi berkumpul bersama-sama keluarga di hari raya. Demikian juga yang terjadi saat ada acara Bantengan, apapun akan dikorbankan demi banteng yang sedang berlebaran.
Dalam perkembangannya hingga saat ini, sejak FBN pertama di tahun 2008 hingga saat ini, kesenian Bantengan sudah melanglang buana hingga ke negara-negara tetangga. Saat FBN dihelat, ribuan orang datang berbondong-bondong demi menyaksikan adegan trance para pelaku Bantengan dan mempertontonkan banteng ngamuk. Tidak hanya menarik warga lokal, banyak pula warga negara asing yang memiliki perhatian khusus terhadap seni tradisi nusantara yang datang ke Kota Batu untuk mencoba menjadi pelaku Bantengan. Tidak hanya berhenti di FBN, beberapa kali Cak Tubrun pun diundang ke Australia, Selandia Baru dan beberapa negara lain untuk menampilkan kesenian Bantengan. Tidak berhenti hingga pertunjukan, kesenian Bantengan juga sudah menjadi objek kajian akademis untuk bahan tesis dan disertasi oleh beberapa mahasiswa di Amerika.
“Apa yang membuat negara asing tertarik pada kesenian Bantengan?” tanya saya pada Cak Tubrun. Cak Tubrun berkata bahwa mayoritas warga negara asing ingin mencoba menarikan Bantengan untuk merasakan pengalaman berada di alam trance saat menarikan banteng, karena mereka tidak memiliki jenis kesenian yang memiliki efek trance seperti kesenian tradisi yang ada di nusantara. Efek trance tidak sama dengan kesurupan. Jika kesurupan, orang-orang umumnya mengalami ketidaksadaran, sedangkan tahapan trance berada di alam transisi antara sadar menuju ketidaksadaran. “Orang-orang asing yang sudah menarikan Bantengan merasakan efek yang serupa dengan efek saat mengonsumsi mariyuana, begitu kata mereka yang pernah mencoba menjadi banteng,” ungkap Cak Tubrun.
Melihat perkembangannya yang pesat, saya menanyakan juga harapan Cak Tubrun terhadap kesenian Bantengan. “Saya berharap kesenian Bantengan ini bisa terus berjalan sesuai dengan pakemnya. Meskipun sekarang mulai berkembang kesenian Bantengan yang bukan pakem, yang kostumnya indah, yang tidak trance, atau ada pula yang ditarikan di jalan-jalan oleh kelompok-kelompok kecil. Tapi saya akan terus mempertahankan kesenian Bantengan yang sesuai dengan pakemnya. Yang jelek. Yang tidak indah. Tapi menyimpan kekuatan pemersatu yang luar biasa. Kalau kesenian Bantengan digelar, seluruh orang akan datang berduyun-duyun. Entah bantengnya. Entah penontonnya. Semua datang berkumpul dan merayakan banteng ngamuk. Entah apa yang membuat kesenian Bantengan ini begitu diminati oleh masyarakat. Anda harus menyaksikan sendiri untuk memahami hal tersebut. Jika tidak menyaksikan dan membuktikan sendiri, Anda mungkin tidak percaya pada kata-kata saya.”
Dua jam perbincangan saya bersama Cak Tubrun berlangsung seru. Saya beberapa kali merasakan pori-pori kulit saya meremang saat menyimak cerita-cerita mistis tentang Bantengan. Sebelum saya pamit, Cak Tubrun berpesan, setidaknya sekali seumur hidup, saksikanlah kesenian Bantengan untuk mengetahui karakter kesenian rakyat yang benar-benar mencerminkan semangat-semangat rakyat kecil.
8 April 2018
Saya datang ke Gedung Kesenian Kota Batu untuk menemui Cak Ipung, Ketua Dewan Kesenian Kota Batu, salah satu orang yang juga berperan penting dalam membangkitkan kesenian Bantengan, sekaligus orang yang mendaulat Tim “Kota-kota Bersuara” untuk datang ke Kota Batu dan melihat kesenian Bantengan sebagai salah satu seni rakyat yang berkembang pesat di Kota Batu.
Dalam kesempatan bertemu Cak Ipung, saya langsung menanyakan soal dukungan pemerintah untuk kesenian Bantengan. Cak Ipung kemudian menuturkan kepada saya bahwa ada banyak hal yang sudah dilakukan oleh pemerintah demi kebangkitan kembali kesenian Bantengan. “Jujur saja, sampai saat ini, dukungan pemerintah Kota Batu di bidang kesenian memang paling banyak diberikan kepada kesenian Bantengan.”
Cak Ipung lalu mengisahkan perjalanan dirinya terjun ke lapangan untuk menemui dan mendampingi langsung para tokoh-tokoh pelaku kesenian dalam usahanya untuk mempopulerkan kembali kesenian Bantengan. Ide untuk menghidupkan kembali kesenian Bantengan datang dari Cak Tubrun. Maka Cak Ipung berinisiatif untuk menjembatani keinginan para pelaku Bantengan dengan pihak pemerintah. Maka diadakanlah Festival Bantengan Nusantara pertama kalinya di tahun 2008 di Kota Batu. Cak Ipung sendiri yang mengkoordinasi seluruh pihak kepanitiaan dengan merangkul pelaku seni, pemerintah, dan melibatkan ormas-ormas kepemudaan sebagai panitia pelaksana festival. Semua dirangkul secara rukun demi terwujudnya Festival Bantengan Nusantara, dengan disertai dukungan dari pihak kepolisian untuk menjaga stabilitas keamanan selama Festival Bantengan Nusantara dilaksanakan.
“Tugas saya sebenarnya cuma ngopi dan nyakruk,” kata Cak Ipung setengah guyon. Tapi dari obrolan-obrolan ringan sembari minum kopi dan nongkrong bersama di cakruk itulah Cak Ipung berhasil merangkul berbagai pihak, lalu secara tidak langsung mengambil posisi sebagai tokoh pemersatu berbagai pihak yang memiliki kepentingan. Pihak pelaku seni ingin disediakan wadah untuk berkreasi. Pihak pemerintah menginginkan agar seni-seni tradisi yang ada di Kota Batu tetap muncul dan aktif. Pihak pemuda juga ingin dilibatkan dalam upaya-upaya pelestarian kesenian yang ada di wilayah Kota Batu.
Awalnya memang ada nada-nada pesimis atas digelarnya festival apalagi dengan embel-embel ‘nusantara’. Tapi Cak Ipung selalu berusaha keras mendorong agar dibentuk suatu wadah sehingga bisa dilihat respon publik atas seni-seni tradisi. “Kita tidak akan pernah tahu jika tidak mencoba. Prinsipnya, coba dulu, baru nanti kita evaluasi lagi. Begitu seterusnya.” Suksesnya perhelatan akbar FBN 2008 di tengah-tengah masyarakat Kota Batu pun membuka mata seluruh masyarakat Kota Batu bahwa kesenian Bantengan belum sepenuhnya punah. Masyarakat tumpah ruah hingga ke jalan-jalan. Kota Batu dipenuhi antusias warga saat banteng berlaga. Melihat kondisi ini, pemerintah pun terus mendukung keberlangsungan kesenian Bantengan.
Sejauh ini Cak Ipung tidak menemukan hambatan yang cukup berarti selama mendampingi jalannya program-program kesenian. Cak Ipung menyadari bahwa untuk menyatukan visi banyak orang memang dibutuhkan adanya komunikator yang bisa menjembatani setiap kepentingan sehingga bisa ditemukan solusi demi kepentingan seluruh pihak.
Selanjutnya saya dikenalkan pada Agus Badrun, seorang seniman muda yang menciptakan Bantengan kreasi. Cak Badrun juga menceritakan hal-hal senada dengan yang diceritakan oleh Cak Tubrun menyoal pada sejarah kesenian Bantengan. Cak Badrun menegaskan kembali, bahwa pada dasarnya seluruh kesenian tradisi yang ada di Pulau Jawa diciptakan dengan menggunakan dasar-dasar ilmu pencak silat.
Dalam perjalanannya, di zaman lampau, kesenian Bantengan bukan hanya dijadikan sarana kamuflase dalam mempelajari ilmu bela diri dan kanuragan melainkan juga sebagai sarana kamuflase untuk menyebarkan ilmu-ilmu agama. Dan pada zaman dahulu, kesenian Bantengan dijadikan ajang puncak untuk menguji mental spiritual pada pencak silat. Dalam kesenian Bantengan yang asli, ada empat pondasi yang harus dikuasai, yaitu bela diri, olah raga, kesenian, dan mental-spiritual. Jika dalam sebuah komunitas kesenian Bantengan, salah satu pondasi tidak diajarkan, maka bantengnya akan pincang. Ibaratnya banteng yang berkaki empat, jika salah satu kakinya tidak berfungsi maka banteng tersebut akan pincang jalannya.
Cak Badrun juga menuturkan bahwa sebenarnya di wilayah Kota Batu juga berkembang kesenian Kuda Lumping. Tapi, kesenian Bantengan rupanya memiliki daya tarik yang lebih kuat untuk menarik penonton. Karena dalam kesenian Bantengan tersimpan energi banteng yang merupakan simbol rakyat kecil, makhluk sosial yang guyub dan rukun serta hidup secara komunal.
Inisiatif Cak Badrun untuk menciptakan Bantengan kreasi sebenarnya berangkat dari anggapan-anggapan yang muncul dari masyarakat menengah ke atas yang menganggap Bantengan sebagai kesenian yang rusuh dan musyrik karena terlalu mengedepankan unsur trance dan mistisnya. Maka sesuai perkembangan zaman diciptakanlah beberapa Bantengan kreasi yang terinspirasi dari kesenian Bantengan dan masih menggunakan banteng sebagai simbol dari masyarakat yang rukun dan guyub. Maka muncul kemudian Bantengan Gambul yang banyak disosialisasikan ke sekolah-sekolah, serta Bantengan Monel yang sekarang mulai banyak diundang sebagai pertunjukan hiburan acara-acara resmi di gedung-gedung atau panggung-panggung seni. Semua kesenian Bantengan kreasi tersebut dihadirkan tanpa menyertakan unsur kalap. Sehingga bisa diterima oleh masyarakat-masyarakat kelas menengah ke atas.
Tidak hanya bertemu Cak Ipung dan Cak Badrun, saya juga bertemu dengan Sunarto, Kepala Divisi Seni Tradisi Dewan Kesenian Batu. Kepada Sunarto saya mengajukan pertanyaan perihal selentingan yang saya dengar mengenai klaim-klaim daerah lain terhadap kesenian Bantengan. “Memang ada klaim bila hak cipta kesenian Bantengan sebenarnya dimiliki oleh Mojokerto. Hal itu muncul karena melihat riwayat sejarah Kota Mojokerto sebagai salah satu pusat kerajaaan di zaman lampau. Juga dengan melihat relief-relief hewan yang ada di candi-candi. Tapi jika dilihat dari komunitas Bantengan-nya sendiri, paling banyak berada di daerah Malang Raya (Kota Batu – Kota Malang – Kab. Malang), dan pusatnya ada di Kota Batu. Ada ratusan komunitas di Malang Raya. Memang ada juga di wilayah Mojokerto, tapi hanya di Mojokerto bagian selatan saja.”
Tanggapan bijak juga dilontarkan Sunarto ketika saya bertanya soal Bantengan kreasi baru yang sekarang ini banyak bermunculan. “Dari pihak Dewan Kesenian sebenarnya sangat mendukung agar kesenian Bantengan tidak keluar dari pakemnya. Karena kesenian Bantengan yang pakem itu roso-nya beda. Ada ceritanya. Ada trance–nya. Kesenian Bantengan yang sesuai pakem itu auranya dahsyat sekali,” tutur Sunarto dengan mata berbinar-binar.
Sunarto kemudian menceritakan bahwa memang ada komentar-komentar negatif berkenaan dengan kesenian Bantengan. “Katanya itu syirik. Katanya itu ngawur. Padahal kan tidak ngawur. Karena setiap kali pertunjukan Bantengan digelar, selalu ada pendekarnya, ada pawang yang mengontrol jalannya Bantengan dengan membawa pecutnya itu. Sehingga saat bantengnya ngamuk tidak ada kerusakan yang terjadi. Sudah bertahun-tahun kesenian Bantengan digelar. Aman-aman saja. Tidak ada kerusakan yang dilakukan banteng-banteng yang sedang mengamuk. Jika penggunaan dupa kemenyan disebut sebagai hal yang syirik, maka saya mohon penjelasan juga. Tolong jelaskan kepada saya, di mana letak syiriknya, karena saya tidak memandang itu sebagai syirik.”
Lalu soal Bantengan kreasi baru yang saya tanyakan tadi, Sunarto juga menyatakan dukungan yang besar. “Selama ini kesenian Bantengan selalu mendapat respon yang luar biasa dari masyarakat. Sehingga makin lama Bantengan semakin populer. Tapi ada kondisi di mana kesenian Bantengan tidak bisa ditanggap. Misalnya jika ingin ditampilkan di hotel-hotel, yang kondisi ruangannya tidak memungkinkan menampilkan kesenian Bantengan. Juga kondisi-kondisi ketika kesenian Bantengan disosialisasikan ke sekolah-sekolah, akan sangat berbahaya jika menampilkan Bantengan yang sesuai pakem dengan menyertakan ritual-ritual trance-nya. Di kondisi-kondisi seperti itulah kita membutuhkan Bantengan-Bantengan kreasi baru. Seperti yang diciptakan oleh Cak Badrun, ada Bantengan Monel, ada Bantengan Gambul. Saya juga menyambut baik, karena dari namanya saja sudah berbeda. Yang satu Bantengan, satu lagi Bantengan Monel atau Bantengan kreasi. Dan sudah jelas bila Bantengan Monel adalah versi kreasi baru dari Bantengan yang pakem. Bagi pihak Dewan Kesenian, setiap kesenian memiliki wadah, ruang dan peminatnya masing-masing. Maka biarlah Cak Tubrun berkreasi dengan Bantengan yang pakem. Biarkan juga Cak Badrun berkreasi dengan Bantengan kreasi baru. Dan kami dari pihak Dewan Kesenian yang akan menjadi jembatan bagi kedua pihak. Keduanya akan didukung sepenuhnya oleh Dewan Kesenian. Selama arah dan tujuannya positif, kami persilakan semua kesenian untuk berkembang dan berkreasi.”
9 April 2018
Tidak lengkap rasanya jika saya tidak menemui pihak Dinas Pariwisata untuk menanyakan pendapatnya mengenai kesenian Bantengan. Maka atas bantuan Cak Ipung saya dipertemukan dengan Win Ekram, salah satu petinggi di Dinas Pariwisata Kota Batu
“Pada dasarnya kami sangat mendukung kesenian apapun yang ada di Kota Batu. Untuk kesenian Bantengan khususnya, sementara ini program kami masih terus mendukung diadakannya pertunjukan Bantengan Nusantara. Selama perkembangannya positif, akan kami dukung,” tegasnya.
Dalam pertemuan yang cukup singkat, Win Ekram menjelaskan visi misi Dinas Pariwisata Kota Batu dalam melestarikan berbagai kesenian tradisi yang ada. Bahwa pihak dinas mengharapkan agar kelak dapat dimunculkan wisata budaya kreasi. Untuk itu perlu dipikirkan kemasan yang baik, yang dapat disajikan sebagai sebuah produk wisata budaya kreasi, yang sesuai dengan permintaan audiens.
“Hambatannya sejauh ini adalah belum dicapainya titik temu antara pihak pelaku seni dengan pihak pemerintah dalam mewujudkan wisata budaya kreasi ini. Sehingga kami belum tahu arahnya akan ke mana. Ada juga sentimen-sentimen negatif dari komunitas Bantengan di mana muncul kekuatiran bila nantinya kesenian Bantengan akan dijadikan produk wisata komersial. Padahal kami tidak memiliki visi ke arah itu. Maka sampai saat ini perhatian kami masih ke arah Bantengan Nusantara saja. Karena dengan adanya acara Bantengan Nusantara, sudah terjadi geliat wisata ke arah yang positif. Dengan adanya Bantengan Nusantara, ada banyak wisatawan lokal dan wisatawan non-lokal datang ke Kota Batu, sehingga secara tidak langsung juga berimbas pada geliat ekonomi warga sekitarnya. Bagi saya itu sudah cukup memberikan dampak positif bagi masyarakat Kota Batu.”
Kepadanya saya kembali menyinggung soal klaim daerah lain terhadap kesenian Bantengan, karena secara pribadi saya merasa pihak pemerintah wajib melindungi keberlangsungan seni tradisi yang ada di daerah-daerah. “Ya, memang ada. Tapi kami tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut. Mereka boleh saja berkata demikian. Tapi jika dirunut dari bukti-bukti sejarah bahwa relief-relief banteng ditemukan di Candi Jago yang berada di wilayah kami, dan ada banyak sekali komunitas-komunitas Bantengan di daerah kami, maka kami akan terus mendukung kreativitas komunitas-komunitas seni tersebut,” tutupnya.
Tiga hari di Kota Batu, bertemu dengan para pihak yang memiliki totalitas dalam menjaga kedaulatan seni tradisi masyarakat Kota Batu, membuat saya sangat bergembira. Ada cukup banyak percakapan yang sulit dimunculkan melalui tulisan karena memang kesenian tradisional rakyat baru akan dapat dipahami saat kita terjun sendiri dan melihat langsung, merasakan aura kerakyatannya, dan mendengar hiruk-pikuk penontonnya. Berkaca dari perjalanan kesenian Bantengan, ada semacam rasa syukur dan keyakinan bahwa seni-seni tradisi apapun yang ada di Nusantara tetap akan lestari selama masyarakatnya memiliki kesadaran penuh untuk menjaga produk-produk budaya tersebut.***
PENULIS

KOMANG IRA PUSPITANINGSIH lahir di Denpasar, 31 Mei 1986. Memulai karir di bidang penulisan kreatif sejak tahun 2000. Tulisannya berupa puisi dan cerpen pernah hilir mudik di berbagai surat kabar lokal dan nasional dan memenangi beberapa lomba penulisan kreatif. Pernah diundang menjadi peserta Majelis Sastra Asia Tenggara 2006 di Samarinda, temu sasra Mitra Praja Utama 2008 di Lembang, panggung sastra Festival Kesenian Yogyakarta 2014 dan 2015. Kumpulan puisinya yang sudah terbit berjudul Kau Bukan Perawan Suci yang Tersedu (Ning, 2012). Beberapa kali terlibat garapan pertunjukan yang disutradari Andy Sri Wahyudi antara lain; Ora Iso Mati (isih akeh wong jujur nang ngisor wit jambu air) Festival Teater Jogja 2013, Hampir Pecah (performing art Pseudo Partisipative Project) Cemeti Art House 2014, Demam (Sri Kehujanan di Jalan) Karnaval 20 Tahun Teater Garasi 2014. Kini menetap di Yogyakarta, memilih vakum sejenak dari dunia penulisan kreatif dan merintis Kedai Cening untuk menyalurkan kesukaannya memasak.