Minggu masih puisi. Yang benar adalah telat. Minggu, aku sejenak beribadah dan mengikuti khotbah di mushola, dilanjtukan sarapan soto. Adegan menyusul: bergerak menuju kios koran. Aku berharap tidak menjadi pembaca terakhir, sebelum koran-koran masuk kuburan. Di perjalanan, aku mengerti jika matahari telah mengamuk. Duh, panas!
Adegan membeli koran saja berkeringat. Yang terbeli adalah Kompas, Minggu, 17 November 2024. Kompas harganya setara semangkuk mi ayam. Duit masih sisa sedikit. Maka, terbeli juga Jawa Pos, Sabtu, 16 November 2024. Koran telah basi tapi dibeli sambil tersenyum. Aku menginginkan menjadi pembaca untuk halaman-halaman esai, cerita pendek, resensi, dan puisi. Pembaca yang telat.

Boros! Pada hari-hari sulit duit, membeli koran itu tindakan pemborosan. Aku berharap menyerah sebagai pembeli koran. Inginku membeli kiloan saja setelah beberapa bulan berlalu. Keputusan menjadi pembaca yang makin telat.
Telat dan boros perlahan terabaikan setelah membaca puisi-puisi gubahan Daviatul Umam di Jawa Pos. Pengarang tinggal di Sumenep. Tempat yang jauh dari desaku. Di sana, ada orang-orang masih berpuisi. Puisi yang terbaca berjudul “Ketika Kampung Lebih Berisik Daripada Kota”. Nah, perkara sudah jelas: kampung dan kota. Pada abad XXI, tema kampung dan kota belum kedaluwarsa. Buktinya ada yang memasalahkannya dalam puisi.
Aku membaca puisi di serambi sambil melihat pohon-pohon pisang di kebun tetangga. Puisi dan pisang berbeda rupa dan rasa. Aku seharusnya makan pisang agar sehat, bukan membaca puisi jika nanti tersesat.
Umam menulis: Kampung mengusirmu dengan lidahnya/ yang senantiasa diasah oleh api. Kau pun menghambur/ ke pelukan kota kecil nan fakir. Berkerabat knalpot,/ klakson, asap, debu, yang ternyata lebih ramah/ ketimbang udara dan kicauan di bubungan rumahmu. Oh, seseorang yang tidak kerasan tinggal di kampung! Ia menjadi sasaran lidah berapi, yang membuatnya tersiksa dan terkutuk. Kasihan.
Minggatlah ia dari kampung. Pilihannya ke kota, bukan ke kampung yang lain. Penulisnya memang inginnya mencipta pertentangan kampung-kota. Jadi, aku tidak usah berharap tokohnya minggat dari kampung menuju dekapan kampung yang lain. Yang ingin dijelaskan Umam itu seseorang memihak kota. Namun, nasibnya belum jelas meski sudah “ditakdirkan” di bait pertama.
Akhirnya, nasib berubah saat aku sampai bait ketiga: Kau memutuskan pindah ke kota lain yang jauh/ lebih kecil dan fakir. Tanpa uang sewa. Tanpa/ sejawat dan tetangga. Tanpa suara apa pun kecuali/ lirih napasmu sendiri. Sekali lagi, tokoh yang wajib dikasihani meski mengaku tetap berani hidup. Aku mendoakannya sambil mengusir ayam yang telanjur memberi telek di lantai. Ayam yang mencari makan di kebun, yang menaruh telek di lantai serambi.
Tingkah yang kurang ajar. Dugaanku, ayam tidak akan memutuskan pergi ke kota. Aku pun tidak tega berteriak kepada ayam yang telah memberi belasan telur selain telek: “Minggat!” Aku masih waras sehingga tidak membacakan puisi Umam kepada ayam. Biarlah ayam hidup tanpa puisi dan mati tanpa puisi. Ayam-ayam tetap memiliki ruang hidupnya di desa tapi sudah terbiasa mendengar berisik sepeda motor, dangdut koplo, dan bantingan piring saat tetangga menggelar “perang” harian.

Yang mau pergi ke kota bukan hanya tokoh yang tercantum dalam puisi Umam. Setahuku, Sutan Caniago juga ingin ke kota demi rezeki. Tokoh yang aku temukan dalam novel yang berjudul Kemarau (1977) gubahan AA Navis. Beberapa hari yang lalu, tepat peringatan seratus tahun pengarang: 17 November 2024. Aku membaca novel itu membayangkan kampung dan kota di Sumatra Barat.
Sutan Caniago ingin mengijon padinya kepada Sutan Duano. Yang terjadi adalah percakapan yang mengandung nasihat dan bantahan. “Sebelum turun ke sawah dulu, kami sudah sepakat untuk menjual padi itu setelah disiangi. Hanya itulah satu-satunya jalan untuk memperbaiki nasib,” kata Sutan Caniago.
Duh, kalimat yang minta persetujuan malah dihajar nasihat Sutan Duano: “Di kampung ini pun setiap orang dapat memperbaiki nasibnya kalau ia giat.” Padahal, Sutan Caniago sudah bersumpah mau meninggalkan sawah, tidak mau lagi sibuk dengan padi. Kiblatnya adalah kota. Ia harus mendapat rezeki untuk menghidup istri dan empat anak, bukan diejek dan dinasihati.
Lelaki miskin yang ingin meninggikan taraf kemarahan: “Lain halnya dengan jadi pedagang. Pedagang mempunyai kesempatan untuk berkembang. Setiap rumah yang ada di kampug ini bukanlah punya petani, melainkan punya pedagang. Semua anak yang bersekolah lebih tinggi, bukan anak petani, melainkan anak pedagang. Aku ingin menyekolahkan anakku seperti anak-anak orang lain kelak. Tapi kalau hanya dengan bertani di kampung, itu takkan mungkin jadi.”

Aku sedih membaca perkataan-perkataan Sutan Caniago. Sedih yang tidak bisa disingkirkan setelah mengetahui kopi dalam cangkir sudah habis. Tak ada lagi roti yang masuk dalam mulut. Panas makin panas! Artinya, matahari sedang menyiksa. Keringat yang mengalir di wajahku tidak menjadi jawaban untuk nasib petani dan kemuliaan padi. Derajat petani yang dianggap di bawah pedagang. Aku tidak mau berpendapat sebelum membaca selusin buku dan menyimak pengakuan orang-orang.
Ah, ada orang yang rela berpisah dari sawah. Matanya tidak lagi untuk padi. Lelaki yang mendendam dan malu jika miskin.
Aku ikut marah. Aneh, aku merasa jengkel dengan nasihat Sutan Duano: “Aku lama hidup di kota. Kota tidak bisa menenteramkan hati… Kota dan kemewahannya adalah sarang kelaknatan. Pergi ke kota berarti kita memasukkan diri kita ke kancah yang laknat. Tidak banyak orang yangg bisa tangguh mempertahankan imannya. Ya, tidak banyak. Tak usah kita berlagak bahwa kita beriman, kita kuat beribadah, rajin sembahyang, bila tinggal di kota. Tidak usah kita mencoba-coba menantang cobaan yang dilontarkan iblis.”
Wah, kalimat-kalimatnya itu khotbah! Aku tidak harus menerima pengertiannya: kota itu laknat dan kota itu iblis. Maka, aku linglung jika masih mau memikirkan kampung dan kota.
Navis itu keterlaluan dalam mencipta tokoh, yang membuat kota sangat buruk bagi yang mau hidup dan mendapat rezeki. Jadi, aku mulai paham bahwa membaca novel Kemarau itu menyakitkan. Aku mendingan kembali ke puisi gubahan Uman, puisi berbeda yang berjudul “Upaya Menyembuhkan Diri di Pengasingan”. Aku memungut sedikit saja: “Aku bersandar pada punggung kota, pada lusuh dan rapuhnya kata-kata.”
Semula, Umam mengumumkan kampung yang berisik. Eh, aku mendapat pengertian dari novel lawasnya Navis tentang kota yang laknat. Urusan kampung dan kota yang terlalu sulit. Pilihanku adalah mendengarkan lagu cengeng: “Di sini, di batas kota ini, ingin kutulis surat untukmu…” Tommy J Pisa tidak ingin menulis puisi atau novel.
Tentang Penulis
