“Hidup itu Seni dan kuncinya adalah komunikasi,” begitu kata sang ketua panitia.
Festival Ngaglik #2 diselenggarakan pada tanggal 15–16 Juli 2017, di Kampung Hendrix. Festival ini diwujudkan secara bersama-sama oleh warga kampung Hendrix yang diketuai oleh Teguh Riwanto Pemilih Leksono (40th). Apa saja yang kemudian dijalani warga dalam mewujudkan festival tersebut dan bagaimana geliat kaum muda di dalamnya? Berikut ini sedikit cerita yang berhasil saya dapatkan selama dua hari di kampung Hendrix.
“Bosan di rumah nonton TV terus. Aku pingin ikut mainan Gobaksodor,” begitu kata seorang anak kecil di sela istirahat usai bermain bersama teman- temannya. Sore itu jalan-jalan di kampung Hendrix diramaikan oleh teriakan anak-anak yang sedang bermain, mainan anak tradisional seperti Betengan, Engklek, Gobaksodor, dan lain-lain. Jalanan penuh dengan garis-garis dari kapur yang dibuat sebagai arena permainan. Sementara itu anak-anak mudanya sebagian ada yang mendampingi dan yang lain sibuk mempersiapkan panggung pertunjukan di tengah pertigaan jalan kampung. Para muda mudi sibuk sekali mengatur properti panggung, cek sound system dan berembug susunan acara pementasan. Rupanya panggung tersebut diperuntukkan sebagai ajang kreativitas malam penutupan festival.
Tak kalah menarik, ibu-ibu yang sibuk di gang kampung. Mereka menata barang-barang yang siap dipamerkan sekaligus dijual. Barang-barang itu berupa pakaian, menu makanan atau kuliner, barang kerajinan tangan dan jajanan tradisional. Teguh Riwanto mengatakan bahwa barang-barang tersebut adalah produksi warga kampung yang kemudian dikemas untuk dipamerkan di stand yang sudah tersedia. Bapak-bapak juga membantu menyiapkan properti stand dan persiapan pemanggungan. Tak ada yang menganggur dalam hajatan festival tersebut. Semua mengambil bagian untuk berpartisipasi meramaikannya.
Ketika malam pentas seni tiba para penampil mempersiapkan diri masing-masing. Malam itu beragam bentuk kesenian ditampilkan, di antaranya Tari Sapu Korek, Tari Lesung, Ludruk, Pencak Silat, Kidung Laras, Tari Kidung Sawah, dan yang tak kalah seru atraksi Bambu Gila. Ragam kesenian ini dari kreasi warga kampung dan dari luar kampung, sebab dalam acara festival ini kampung lain juga bisa turut andil. Hari sebelumnya warga juga menyelenggarakan Sedekah Kalen sebagai wujud rasa syukur atas alam yang telah memberikan air yang berlimpah sebagai anugrah kehidupan. Sedekah Kalen diselenggarakan di Kali Kebo yang telah mengaliri kawasan pertanian di beberapa Kecamatan di Batu. Rangkaian acara ritual tersebut diisi dengan doa, kerja bakti bersih sungai, bancakan dan tari-tarian. Ritual ini juga sebagai penyadaran kepada warga agar menjaga kebersihan, untuk tidak membuang sampah sembarangan di sungai.
Semua Untuk Kampung
“Dulu salah seorang meneer Belanda bernama Hendrix memiliki areal tanah seluas 10 hektare ini. Kemudian beliau menghibahkan tanahnya kepada masyarakat sekitar tahun 1960 untuk permukiman warga. Karenanya, hingga sekarang dinamakan kampung Hendrix,” tutur Teguh, yang keseharianya bekerja sebagai juru parkir.
Dengan adanya festival ini, kampung Hendrix yang legendaris dapat lebih dikenal masyarakat luas. Bahwa Kampung Hendrix, di Jalan Darsono Barat, Kelurahan Ngaglik, Kota Batu, mempunyai nilai sejarah yang menarik. Juga melahirkan tokoh intelektual, seperti Romo Sindhunata dan seniman lukis Koeboe Sarawan, yang karya-karyanya tak diragukan lagi kualitasnya.
Lantas bagaimana festival ini bisa terwujud?
Rupanya Teguh mempunyai tips-tips khusus, selain membentuk tim kerja juga memanfaatkan media internet untuk mencari referensi bentuk festival agar memancing imajinasi mewujudkan festival yang dikemas sederhana namun menarik. Dia juga mempunyai prinsip bahwa suatu daerah dikatakan berhasil apabila mampu menggerakkan kaum mudanya untuk aktif dan kreatif. Maka langkah awal yang ditempuh adalah mendekati kaum muda untuk berperan serta. Dalam event ini kaum muda berperan besar menyiapkan pelaksanaan di lapangan. Selanjutnya adalah mendatangi ketua RT dan RW untuk berembug dan berkoordinasi agar lebih kompak dan dapat dipertanggungjawabkan. Semua bekerja. Semua untuk kampung.
Festival ini juga melibatkan banyak pihak. Dinas Pariwisata membantu acara dengan memberikan fasilias inti seperti panggung pertunjukan, sound system, genset dan beberapa properti lainnya. Sementara itu untuk pendanaan festival, panitia juga bekerja sama dengan Lembaga Permusyawaratan Masyarakat Kelurahan (LPMK) dan dari kas kampung sendiri.
Pentas seni digagas untuk membangkitkan potensi kampung dan menyatukan para pegiat seni antar kampung. Sebab para pengisi acara tak hanya berasal dari kampung Hendrix, tetapi juga dari kampung tetangga. Jalinan kerja sama juga dilakukan dengan kampung seputarnya agar terbangun dinamika berkesenian yang sehat dan bermanfaat bagi semua. Tak ketinggalan permainan anak yang turut meramaikan acara. Dengan permainan, anak-anak akan tumbuh menjadi mahkluk sosial yang terampil dan nantinya juga akan turut andil dalam membangun kampung halaman.
Jajanan seperti Getuk Lindri dari RT 05, Kripik si Komeng (kerupuk dari bahan beras) dan Nasi Empog (nasi putih dicampur menir jagung) dari RT 07, Krupuk Opak yang berbahan dasar tepung dari RT 03, turut dihadirkan. Jajanan itu diproduksi oleh warga kampung, ini menjadi nilai plus karena setiap RT mempunyai produknya masing masing. Dalam bidang kerajinan masing-masing RT di Kampung Hendrix juga mempresentasikan karyanya. Seperti origami kertas koran dari RT 04, kaligrafi dari RT 01, dan bohlam hiasan ruangan dari RT 05. Itulah hasil karya warga Kampung Hendrix yang dapat menjadi andalan dan bagus untuk dikembangkan.
Tanggapan masyarakat terhadap Festival Ngaglik #2 ini cukup positif. “Kami berharap acaranya nanti lebih meriah dan kreatif, karena salah satu kekurangan yang sekarang adalah sosialisasi dan publikasi acara, karena waktu penyelenggaraan yang mepet,”tutur Teguh.
Festival Ngaglik sebetulnya merupakan program pemerintah (Dinas Pariwisata) yang diselenggarakan setiap tahun di kampung yang berbeda-beda dalam satu kecamatan. Setelah mendapatkan giliran menyelenggarakan festival, diharapkan setiap kampung mampu belajar dan selanjutnya membuat festival berkala secara mandiri. Sehingga setiap kampung tidak sekadar tumbuh jadi kampung yang biasa saja, melainkan kampung andalan. Kampung yang berfestival.
Yogyakarta, 2017 – 2018






