Aku ditemani bapak di beranda dengan tanaman-tanaman bunga hijau dan subur dalam pot. Beranda depan ini tidak begitu lebar, tetapi asri dan rapi. Dulu kerap dipakai istriku buat memberi les privat kala ia belum kusunting. Pohon Kedondong, Mangga, Belimbing Wuluh dan Kelengkeng tegak rimbun di halamaan.
Bapak sengaja tidak ke bengkel hanya buat menjamuku. Tentu saja karena ia juga senang disambangi kedua cucunya. Ia selalu merasa gembira saat menerima panggilan video dari kedua cucunya itu. Kami membicangkan banyak hal sembari sesekali mendengar celoteh Geni dan Suwung yang sedang bermain di empang kecil belakang rumah sama neneknya.
Bapak bercerita bahwa sekarang ini banyak orang yang memesan barang-barang elektronik di bengkelnya. Tentu saja itu hal baik, katanya. Ada tambahan simpanan uang buat mulai membangun rumah di Mranggen. Selain itu, yang paling dekat, tentu buat mempersiapkan pertemuan keluarga besar dari ibu habis lebaran tahun ini di sini.
Sementara itu, warung makan ibu yang kini pengelolaannya diserahkan pada adiknya itu juga makin ramai, kata bapak. Memang tahun yang baik dan memberi berkah. Itu wajib kita syukuri, dik, katanya lagi.
Bapak juga bercerita bahwa kini ibu sudah pulih total dari gejala stroke. Katanya, ada tempat yang cocok buat ibu terapi. Lumayan mahal, tapi kini ibu bisa produktif, meski belum berani terlampau ngoyo. Itu juga wajib disyukuri, kata bapak lagi.
Bapak adalah orang yang tak pernah mengeluh. Seorang lelaki yang begitu nampak berwibawa. Sebagai pemilik bengkel yang membawahi beberapa pekerja dan menjalin koneksi dengan toko-toko elektronik di kota itu, juga sebagai seorang ketua RT, bapak memang patut dijadikan teladan. Ibu memang beruntung memiliki bapak. Namun begitu, ibu juga bukan tipe perempuan rumahan. Beliau selalu ingin bekerja. Oleh karena itulah ibu diperbolehkan membuka warung makan oleh bapak setelah anaknya kupersunting. Mungkin karena itulah, karena terlalu bersemangat ibu jadi kurang memperhatikan kesehatan dirinya. Kemudian ia terkena gejala stroke. Untung tidak terlampau serius. Dan sekarang, semua telah bisa stabil. Tapi, memang ibu jarang ke warung.
Ibu pengen nyekar, dik. Cukup lama ia tak pulang ke rumah bapaknya, kata bapak.
Aku dan ibu berasal dari kota yang sama. Aku sendiri sering nyekar ke makam bapak dan ibunya ibu mertuaku itu. Tentu bersama istri dan anakku. Makamnya cukup dekat dengan kampungku. Selain itu, kami juga pasti bertandang ke rumah pak dhe dan pak lik. Semua keluarga ibu mertuaku baik-baik dan ramah semata. Keluarga yang utuh dan harmonis dan nampak kompak. Istriku sering bertandang membawa anak-anak kepada mereka bergantian bila aku sedang di luar kota. Dan aku merasa aman dan bersyukur.
Aku juga ingin nyekar ke makam mbah dari bapak di sini. Mungkin nanti atau besok. Sekarang aku masih beramah tamah dengan bapak.
Siang telah langsir. Geni dan Suwung masih tidur dengan neneknya di kamar bekas kamar istriku. Bapak sedang diminta seorang warga buat mengecek properti warga di gudang.
Aku tengok telepon genggam. Pesanku masih centang satu. Rupanya, istriku masih belum mau kuhubungi.
Dia keluar ditelpon mantan atasannya di TK dulu. Mereka memang dekat kan dari dulu. Mungkin membantu urusan di TK itu, kata Ibu tadi pagi saat aku tiba.
Aku jadi ingat kebiasaan kami dulu yang sering mematikan ponsel saat kencan. Tapi, aku masih berupaya berpikiran positif.
Aku keluar dari beranda ke halaman. Pohon kedondong ini dulu sering mengganggu pacaran kami lewat panggilan video. Pohon ini kerap menjatuhkan buahnya dan menimpa genting dan membikin istriku kaget dan kerap menengok ke atas. Pohon ini juga pernah jadi rumah buat ular viper peliharaan istriku. Ular itu ia lepas karena istriku lupa memberi makan sampai seminggu hingga lemas.
Rumah ini masih sama. Sederhana tapi asri. Hanya saja, dulu masih dikelilingi kebun yang menjelma rawa saat musim penghujan. Dan bila sore turun, nyamuknya ganas sekali dan banyak dan besar-besar. Sekarang sudah tidak begitu parah.
Murotal masih terdengar dari masjid. Istriku belum pulang. Sebentar lagi Maghrib. Dia pergi ke mana sebetulnya, aku tak tahu. Ia telah seminggu di sini. Dan kini aku menyusulnya. Dan dia malah pergi.
Istriku awalnya tak keberatan dengan Suwung, seperti halnya aku tak keberatan dengan Geni. Kami sama menganggap bahwa mereka adalah anak kandung kami.
Semua baik-baik saja sampai dua minggu lalu ketika Suwung bertanya ke mana ibunya yang asli. Geni mendengar dan menimpali, jadi kakak bukan kakakku? Lalu siapa ayahku, Ma? Tanyanya pada istriku. Kami diam. Sampai malam ketika mereka tidur, kami berupaya membahasnya dengan hati-hati.
Apa kamu juga masih sering ingat ibunya Suwung?
Apa kamu juga masih sering ingat bapaknya Geni?
Kami lalu saling diam. Tak mungkin hal kecil seperti ini akan jadi masalah serius. Tapi terus terang aku memang kadang ingat ibunya Suwung. Hanya ingat tanpa mempengaruhi perasaan dan tindakanku. Bagiku itu semua tinggal kenangan yang tak berarti selain jadi sebuah cermin. Bagaimanapun ingatan tak benar akan hilang. Istriku sendiri, aku tak tahu apa yang ia pikirkan. Malam itu kami jadi seperti sepasang remaja. Aku begitu lelah memikirkan bagaimana caranya menyusun konsep yayasan yang baru. Istriku mungkin juga capek dengan anak-anak didiknya.
Pernah sekali istriku marah besar tatkala peristiwa serupa ini terjadi pertama dulu. Aku sampai harus menyembah untuk meyakinkannya bahwa tidak benar masih ada rasa antara aku juga ibunya Suwung. Aku tak menyinggung soal hubungannya dengan bapaknya Geni.
Masing-masing dari kita membawa-bawa data dari peristiwa yang telah lalu. Tapi, memang jujur itu menyakitkan. Tapi dipendam juga sama saja.
Istriku sekarang memang bijak dan dewasa. Setelah itu, dia tertidur. Aku berjaga sampai subuh, dan tertidur setelahnya.
Jam delapan aku dibangunkan Suwung sambil menangis. Katanya, ibu ke rumah nenek sama Geni. Aku hanya merenung dan lalu mengajaknya mandi. Suwung paling suka kumandikan.
Kutunggu besok dan besoknya, tetap saja istriku tak pulang. Telepon tak aktif. Begini rasanya kena silent treament. Sungguh menyiksa.
Aku bertahan sampai seminggu sebelum kangen itu tak tertahankan. Aku menyusul istriku. Dan di sinilah aku. Kota pelabuhan yang panas. Tapi selalu bikin kangen. Semuanya.
Kangen hanya kangen. Istriku masih belum pulang. Suwung dan Geni diajak kakek neneknya keluar. Aku masih menunggu.
Habis sholat Isya’, aku keluar rumah dan berdiri di halaman merenungi rumah. Aku hapal semua ruang rumah ini sampai sudut-sudutnya. Beranda, ruang tamu sekaligus ruang keluarga dengan lukisan-lukisan istriku di dindingnya. Kamar istriku dan buku-buku di rak yang tinggi dan lukisanya dan boneka-boneka horor kesukaannya. Kamar bapak ibu. Dapur dengan lemari tua dengan kaca tempat istriku biasa bercermin dan bersisir usai makeover usai mandi. Kulkas tempat istriku menyimpan susu dan kopi dan mie dan nuget kesukaannya. Jemuran pakaian. Mesin cuci. Kamar mandi. Beranda belakang dengan berbagai tanaman dalam pot. Satu bangku tempat istriku biasa baca buku kala sore. Empang kecil tempat bebek-bebek kecil bapak yang selalu berkurang disantap musang. Dan kebun di mana satu dua biawak kena tembak istriku.
Ponsel di saku bergetar. Aku angkat telepon. Geni belepotan es krim merajuk dan menangis berebut kamera sama kakaknya. Aku ketawa. Telpon diminta neneknya yang ketawa juga.
Aku buka pesan. Pesanku ke istriku centang biru. Ini seperti kebiasaan kami saat kencan dulu. Malam saat ingin pulang baru telepon dihidupkan agar quality time kami tak terganggu. Aku merasa nyeri di dadaku.
Aku masuk kamar istriku dan rebahan menatap lukisan kepala kambing milik istriku. Aku melamunkan banyak hal sampai sebuah suara mobil berhenti di halaman. Aku keluar. Istriku keluar dari mobil. Seorang pria keluar dari pintu lainnya. Dia ini teman istriku dari masa sekolah atau teman dari komunitas melukis, aku telah lupa. Tapi memang dia ini bapaknya Geni. Dia tersenyum. Istriku menatapku yang masih terpaku di depan pintu. Pelan aku berjalan ke arahnya. Lalu kupeluk erat dan kutepuk-tepuk punggungnya. Istriku menangis di dadaku. Aku mengangguk pada pria itu dan bilang, terima kasih.
Besok aku akan pulang. Dengan Suwung. Juga Geni kalau mau.
2025
Penulis

Ridwan Kh Penyair dan penulis prosa tinggal di Magelang, Jawa Tengah.






