Kehujanan
Masih di bulan Desember yang hujan dan becek di sana-sini. Semua jalanan kota Mataram basah, basah dan basah. Hujan turun tak pandang bulu, entah itu pagi, siang, sore, malam atau dini hari. Bagi para kaum ibu-ibu rumah tangga tentu bikin susah lantaran pakaian sulit kering. Bagi para penjual es apalagi, bikin nggak laku dan nombok. Tak hanya penjual es, banyak penjual kaki lima yang merugi jika hujan turun terus menerus. Entah bagi para pegawai pemerintahan dan swasta merugi atau tidak.
Di suatu sore seusai dari galeri menengok pameran sambil jalan-jalan cuci mata, melihat taman kota dan anak-anak nongkrong. Saya dan mas Muz naik motor lenggang kangkung lantaran jalanan lumayan sepi. Mas Muz menunjukan sebuah taman yang katanya habis buat rekontruksi ulang kasus Agus Buntung. Taman yang asri dibangun untuk tujuan keindahan dan kenyamanan bersama. Namun yang terjadi malah sebaliknya, begitulah ironi sebuah pembangunan kota jika tanpa disertai pembangunan sumber daya manusianya. Ah, manusia..

Ketika kami sedang asyik jalan-jalan hujan turun tiba-tiba dengan derasnya, kontan mas Muz menancap gas motor butut kalang-kabut lekas pulang. Sayangnya, komunitas Akarpohon masih jauh jaraknya. Terpaksa kami harus berteduh terlebih dahulu di sebuah emperan ruko-ruko. Entah ruko-ruko itu berisi apa saja saya kurang mengerti.
Di jajaran ruko-ruko itu ada beberapa yang buka dan tutup. Tampak ada satu ruko yang berkaca riben buka, di depannya ada tiga perempuan berseragam sedang berdiri mainan Handphone. Saya penasaran lalu mendatangi ruko tersebut untuk bertanya jualan apa saja. Rupanya ruko tersebut dibuka untuk terapis, kemudian saya diajak masuk untuk bertanya lebih jelasnya.
Selang beberapa menitan saya keluar kembali, sebab dalam pembicaraan tersebut saya bilang akan mengajak teman yang juga sedang berteduh. Di luar hujan sudah mulai mereda, saya menghampiri mas Muz untuk saya ajak masuk ke dalam ruko.
Apa yang terjadi ketika saya ajak mas Muz tuk masuk ke dalam. Saya gandeng sedikit paksa tangan mas Muz. Seketika itu juga mas Muz yang duduk Jok Motor langsung meronta-ronta “Ampuunn mas..ampun mas…!! Jangan..saya nggak mau…ampunn mas…!! Jangan mas…! jangan..!!” mas Muz berteriak-teriak. Otomatis saya ngakak tapi bingung ditempat saat itu juga, melihat mas Muz yang tantrum. Huuuaaaaa… saya nggak menyangka reaksinya bisa mengagetkan sekaligus menggelikan. Saya kira Beliau akan menolak dengan malu-malu kucing atau tertawa-tawa saja.
Mas Muz si pemuda soleh itu langsung lari kembali ke sepeda motor menghidupkan motornya lalu mengajak saya pergi dari emperen ruko-ruko itu. Kami ngacir menembus gerimis riwis-riwis. Ketika saya menengok ke belakang, mbak-mbak berseragam itu keluar rukonya tersenyum-senyum melihat kami berdua yang tergesa-gesa.
“Saya tidak berani mas sama perempuan, mending saya diskusi sastra sama mas Kikik. Biar pusing tapi mantap.” Gerutu Mas Muz di sepanjang jalan.
Hujan yang mencipta kenangan seru nan konyol.
Workshop dan Tamasya Sungai

Suatu pagi saya dijanjikan akan dijemput mas Muz di komunitas Akarpohon untuk mengantar ke Taman Budaya NTB. Pagi itu pukul 08:00 WITA ada acara Workshop pantomim bersama tema-teman Insomnia Theater Movement dari Sumbawa. Sayangnya mas Muz terlambat bangun padahal beliau juga berjanji akan ikut workhop olah tubuh.
Singkat cerita saya sudah dijemput oleh seorang teman dari Sumbawa, kemudian mas Muz saya WA untuk langsung menyusul ke Taman Budaya. Di Aula Taman Budaya teman-teman sudah banyak yang menunggu. Mereka terdiri dari mahasiswa baik cowok dan cewek. Sungguh anak-anak muda yang aktif dan tepat waktu, hanya satu dua peserta yang terlambat.
Sebelum workshop dimulai saya membuka dengan berkenalan dan bercerita pengalaman saya waktu ke Sumbawa satu tahun lalu. Di tengah cerita tiba-tiba mas Muz datang dengan senyum mengembang, berjalan membusungkan dada. Sebenarnya saya khawatir jika mas Muz akan minder berada di komunitas yang belum dikenalnya. Maka saya langsung menyambutnya dengan akrab seraya memperkenalkannya pada teman teman.
Alangkah terkejutnya saya ketika berada di tengah-tengah komunitas itu mas Muz bicara dengan lantang. “Teman-teman dari Sumbawa semua ya? Perkenalkan nama saya Ahmad Muzanni, Putra Lombok Barat. Aktif di Komunitas Akarpohon”, kata mas Muz sambil memandangi semua peserta. Ternyata begitu percaya dirinya mas Muz memperkenalkan diri diantara teman-teman Sumbawa.

Bahkan kadang Beliau nyeletuk di saat saya bicara, bahwa memahami tubuh itu seperti membaca puisi Aan Mansyur. Saya sendiri kurang paham maksudnya tapi saya mencoba bertanya pada peserta lainnya agar konteks dengan suasana. “Apakah teman-teman mengenal penyair Aan Mansyur?”, beberapa menjawab mengenalnya. Hati saya lega mendengarnya, setidaknya teman-teman teater juga wajib membaca karya sastra. Karena dari teaterlah saya mengenal dan belajar tentang sastra, begitu pula sebaliknya.
Workhsop olah tubuh pun segera dimulai, saya membebaskan para peserta untuk bergerak sesuai keinginannya. Semua bergerak dengan bebas dan merdeka, tak ada yang membatasinya kecuali ruangan. Kemudian mulai saya masuki dengan irama musik agar gerak mulai merespon bunyi dan irama. Metode ketiga bergerak dimulai dari gerak kecil seperti jari jemari, pergelangan kaki, kepala dan lainnya lalu mengalir lamban menggerakkan seluruh tubuh. Para peserta mulai menikmatinya. Saya cukup senang karena ketika sesi istirahat banyak yang menyadari menemukan kosakata baru dalam bergerak.
Pada titik ini satu persatu peserta untuk menciptakan geraknya masing- masing sebelum memasuki imajinasi pantomim. Para peserta menemukan karakter geraknya dengan irama dan levelitas tubuh (bawah sedang dan atas). Namun apa yang terjadi dengan mas Muz? Ketika saya minta untuk bergerak Beliau langsung melompat dan pasang kuda-kuda lalu bergerak cepat dan tangkas laksana seorang pendekar. Ya, mas Muz memperagakan gerak dan jurus-jurus dalam pencak silat. Bujuubusyyeettt…!!
Lagi-lagi Beliau tantrum bergerak seperti tak terkendali, hingga semua peserta langsung minggir mencari titik aman. Saya tidak bisa menghentikannya, jalan satu-satunya menunggu Mas Muz selesai bergerak. Semua terheran-heran dengan tingkah polahnya sampai titik dimana mas Muz melamban dan berhenti. Tepuk tangan dan sorak sorai dari semua pesertapun menggema. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala. Hadeuuuhh… sebuah genre anyar telah lahir: Pantomim berbasis pencak silat.

Pagi yang berkeringat penuh tawa dan menyegarkan, Putra Lombok Barat itu telah melaksanakan tugasnya dengan gagah perkasa. Ketika memasuki materi imajinasi dan gerak pantomim, semua sudah terarah pada bentuk gerak dan benda-benda yang diimajinasikan. Tak terkecuali mas Muz yang total ekspresi mimik wajah dan energinya. Workshop menjadi meriah karena mas Muz. Semua menjadi senang dan semoga berguna bagi para peserta.
Setelah Workshop mas Muz mengajak saya tamasya kesuatu tempat yang akan menjadi kejutan bagi saya, begitu kata Beliau. Kami berboncengan naik sepeda motor kesayangannya, di sepanjang jalan mas Muz bercerita tentang sejarah masyarakat Lombok. Mas Muz menganalisa apakah di Lombok benar-benar punya kerajaan yang dikenal dengan nama Selaparang atau tidak. Saya mendengarnya dengan seksama tapi tidak paham juga lantaran penjelasannya berputar-putar. Saya hanya menangkap bahwa zaman dahulu orang-orang Lombok amat pemberani dan kini keberanian itu menurun pada dirinya. Mas Muz emang tyada lawan euy…!!
Tak terasa kami memasuki sebuah perkampungan pelosok pedesaan, dimana jalannya berupa tanah becek. Motor mas Muz kadang kuat kadang tidak, karena selain becek jalannya juga naik turun. Jika motornya nggak kuat saya harus turun untuk mendorong dengan sekuat tenaga. Jika aman saya mendengarkan mas Muz bercerita tentang segala kenangan manisnya di sepanjang jalan perkampungan desa.
Beliau menunjuk sebuah tempat di bawah pohon pisang, “Disitu mas, saya pernah menyatakan cinta pada seorang gadis. Hahahhaa…” katanya sambil tertawa. Mas Muz geli dengan masalalu dan dirinya sendiri. Sementara saya hanya bengong terheran-heran. “Tapi cinta saya ditolak, mas. Hahahahaha…” suara tawanya semakin menjadi-jadi hingga orang-orang pada melihatnya. Saya hanya bisa memberikan senyum pada orang-orang.
Tibalah kami pada sebuah jembatan yang sungainya sungguh teramat bening. Warna airnya biru seperti laut. Banyak juga bebatuan bertebaran menghiasi sungai yang memang benar mengejutkan saya. “Kita sudah sampai di Medas, mas. Nanti kita mandi di sungai. Pasti hati senang”, kata mas Muz bersemangat.

Motor telah diparkir di bawah pohon kelapa tepian sungai, lalu kami berjalan menuruni sungai. Banyak juga orang-orang yang mandi di sungai Medas. Hari itu tepat hari Minggu banyak keluarga-keluarga kecil dengan satu dua anak bertamasya di sungai. Mas Muz memanggil-manggil beberapa nama yang dibalas dengan sapaan akrab. Rupanya mas Muz cukup dikenal oleh orang-orang. Tanpa basa-basi Beliau mengenalkan saya pada teman-temannya secara jarak jauh. “Ini mas Andy SW teman dari Yogyakarta”, begitu teriaknya. Saya agak malu sebenarnya tapi tetap saja harus memberikan senyuman yang maksimal tuk menghormati teman-teman mas Muz.
Saya tidak langsung mandi di sungai, duduk-duduk di atas batu besar sambil mengamati air sungai yang berwarna biru laut itu. Juga mengamati alam sekitar yang sejuk menentramkan hati. Rupanya mas Muz sudah nyebur sungai tanpa lepas baju lengan panjang dan celana panjang. Jujur saya tak terbiasa mandi berbasah-basah seperti mas Muz, harus lepas baju dan hanya mengenakan celana dalam.
Kami berdua mandi bersama menikmati sejuknya air sungai Medas dengan hati gembira. Mas Muz masih dengan pakaian lengkapnya saya hanya bercelana dalam. Dalam hati saya heran bagaimana nanti pulangnya apakah tetap dengan pakaian basah? Tapi pertanyaan itu hilang begitu saja karena mas Muz sang Putra Lombok Barat pasti jauh lebih berpengalaman daripada saya. Duhai air sungai warna biru yang senantiasa saya rindu terimalah tubuh kami.
Jebar jebur mainan air sepanjang siang berenang ipak ipik tak lelah dan tak bosan-bosannya. Rasanya seperti kembali ke masa kecil dulu ketika mandi bersama teman-teman kampung di kali Winongo ketika airnya masih jernih. Selang beberapa lama tiba-tiba perut kami lapar tapi itu sudah saya antisipasi sedari awal. Dalam perjalanan tadi saya meminta mas Muz untuk mampir ke warung membeli nasi Bungkus.

Segera kami mentas dari sungai kembali ke batu-batu membuka bungkusan nasi lalu kami makan di bawah panas terik matahari. Nasi bungkus berlauk ikan tongkol dan ayam itu meskipun agak pedas tetap enak sekali rasanya. Karena lauk utamanya adalah rasa lapar banget yang dalam bahasa jawanya “ngintir-intir”. Saya dan mas Muz benar-benar menikmati hari-hari dengan penuh suka cita. Terimakasih mas Muz yang baik…
Hari sudah semakin siang tapi langit mendung. Kami segera bersiap pulang. Lagi-lagi melewati jalanan becek yang penuh kenanangan manis mas Muz. Di jalan hujan turun deras. Kami kehujanan. Mas Muz tidak salah, mandi berbasah-basah dengan pakaian lengkap. Toh sekarang sama sama basah semua… (S3)
Bersambung edisi selanjutnya…