Rabu, Desember 24, 2025
No menu items!

Hari-hari Bersama Mas Muz#3

Must Read

Rupanya saya musti menyelesaikan tulisan petualangan bersama mas Muz pada episode ketiga ini. Meskipun tak sepanjang episode pertama dan kedua tapi yang ketiga ini cukup mengesankan, lantaran memuat pengalaman dan wawasan anyar. Khususnya tradisi di pulau Lombok Nusa Tenggara Barat (NTB).

Setelah mandi di sungai dan kehujanan di sepanjang jalan rupanya kami berdua belum kapok-kapok juga. Hari berikutnya masih ada juga pertemuan demi pertemuan yang menghiasi bulan Desember yang hujan. Ada saja tempat yang akan kami kunjunngi berdua untuk mengisi hari-hari di kota Mataram.

Ini kali kami mengunjungi rumah seorang teman, yang belum lama saya kenali selama beberapa kali ke Lombok. Setahun lalu kami berjumpa ketika saya mengunjungi rumah mas Roni Este. Ya, kami bertemu di sana dan langsung akrab berbicara banyak tentang. Terlebih perihal seni rupa. Beliau memang seorang perupa.

Namanya Altha Rivan tinggal di sebuah perumahan di Lombok Barat. Kami berkunjung untuk main-main, ngobrol dan menggambar. Sudah kali kedua ini saya mengunjungi rumah Altha, dan setiap kali berkunung saya pasti menggambar. Biasanya saya sendirian berkunjungnya tapi kali ini bersama mas Muz.

Karena saya langsung beraktivitas menggambar dan Altha juga menggambar, mas Muz hanya diam mengamati kami. Akan tetapi Altha mulai membujuk mas Muz untuk turut serta menggambar, mas Muz amat malu-malu sekali mulanya. Namun karena bujuk rayu Altha, akhirnya mas Muz turut menggambar juga.

Sungguh tak dinyana tak diduga, selain pandai menulis syair-syair nan indah dan menyentuh kolbu. Ternyata mas Muz pandai juga menggoreskan garis-garis menjadi sebentuk gambar yang indah. Bahkan lebih bagus dengan gambaran saya sendiri. Kekekwkwk…saya turut bahagia mas Muz turut berekspresi bersama kami.

Aktivitas di rumah Altha memang seru dan mengasyikan. Sedari pagi hingga siang hari kami menggambar sambil bicara apa saja. Rumah Altha memang sebuah ruang yang menyenangkan untuk berekspresi dan berkreasi. Di rumah itu hanya ditinggali oleh Altha dan mas Roni, tapi jika siang sudah ramai para pegawai berdatangan untuk bekerja.

Selain perupa, Altha juga seorang pengusaha dalam bidang perdesainan. Memang pribadi yang ulet dan pekerja keras. Altha mengajak pegawainya mengasah kreativitas lewat menggambar. Tentu saja hasilnya dipamerkan dalam acara pameran bersama. Konon tahun 2024 ini acara pameran yang diselenggrakan Altha dikunjungi ratusan pengunjung (ada kurang lebih 600 pengunjung yang terdata di buku tamu).

Selama kurang lebih enam bulan Altha mengikuti pendidikan Seni Rupa di Yogyakarta, tepatnya di L’ASRY: Akademi Seni Rupa Yogyakarta. Ruang belajar yang dipelopori oleh Perupa dari Purbalingga yang berdomisili di Yogyakarta. Beliau adalah Ugo Untoro. Sebuah sekolah seni rupa alternatif, yang kemudian hari saya sendiri menjadi siswa L’ASRY.

Di usia 40-an tahun Beliau tergolong sukses dalam usaha bisnisnya. Lebih kerennya di jaman serba sulit ini Altha sanggup membuka lapangan kerja anyar. Sehingga dapat menyerap pekerja profesional yang sebagian besar anak-anak muda. Di Indonesia ini jarang generasi muda yang punya gagasan bisnis untuk diwujudkan menjadi lapangan kerja.

Ketika menjelang siang rumah Altha yang terletak di perumahan BTN Bumi Selaparang, Desa Midang  Kecamatan Gunungsari, Lombok Barat, mulai ramai.   Para pegawai berdatangan memulai hari-harinya dengan kesibukan masing-masing. Kemudian Altha mempunyai ide menarik, ia mengajak kami berdua mengunjungi kebun kecilnya di sebuah Desa di Lombok Barat juga.

Kebun itu tampak belum terawat dengan baik padahal potensial menghasilkan buah-buahan petik pohon. Ada sebuah gazebo kecil yang tak terawat juga, beberapa kayu sudah mulai lapuk dimakan Teter (bahasa jawa). Kami duduk sambil disuguhi kopi oleh tetangga kebun yang baik, saya lupa namanya, beliau seorang pekerja keras yang pernah bekerja ke luar negeri.

Di Gazebo kami berbincang tentang kebun dan pengijon buah-buahan, juga pengalaman bekerja ke luar negri dan pengalaman Altha sewaktu tinggal di desa tersebut. Saya mendengarkan dengan seksama, sementara mas Muz sesekali garuk-garuk tubuh mungkin gatal atau digigit Rang-rang usai manjat pohon rambutan tadi. Hingga siang kami di kebun menikmati kopi dan rambutan.

Mengunjungi masjid dan Paresehan

Matahari sudah condong ke barat, kami bertiga segera meluncur menuju ke sebuah masjid tua. Sebuah masjid yang terbuat dari susunan kayu, berdinding anyaman bambu dan beratapkan ijuk. Uniknya pondasi masjid yang berada di tengah desa adat karang bayan ini pondasinya terbuat dari tanah liat yang ditinggikan. Masjid kuno Karang Bayan yang terletak di kecamatan Lingsar ini dipercaya telah berusia empat abad lamanya.  

Dua kali ini saya menjumpai dua masjid kuno di pulau Lombok yang memang terkenal dengan nama pulau seribu masjid ini.  Waktu itu bersama Kikik dan Bulan sepulang dari Sembalun kami mampir di sebuah Masjid tua Bayan Beleq di Lombok Utara. Bangunannya hampir sama satu tipe dengan masjid Karang Bayan. Namun di Masjid Bayan Beleq saya di dampingi pemandu pariwisata itulah bedanya. Saya kurang memahami sejarah perkembangan agama Islam di pulau Lombok, saya hanya merasakan sebuah perjalanan islam yang bertemu dengan spiritual warga setempat. Sebagaimana Islam-islam jawa yang masih melaksanakan adat tradisinya. Tak heran jika dilombok sering kita dengar Islam Watu Telu yang mencampurkan spiritual setempat yang bebasis animisme dan pengaruh agama-agama sebelumnya.

Perjalanan kami semakin megasyikkan sementara langit kian oranye burung-burung mulai pulang ke sarangnya. Kami melanjutkan mengunjungi sebuah Pure bernama Pure Lingsar yang luas dan teduh. Kami berjalan-jalan menikmati suasana dan arsitektural Pure yang menawan. Kami memasuki ruang-ruang terbuka Pure dan bertemu penduduk setempat yang wira-wiri seperti hendak menyiapkan hajatan. Rupanya perkiraan kami benar bahwa di halaman dalam pura yang luas itu akan diadakan sebuah berhelatan seni tradisi. Orang menamainya Peresehan. Baru sekali ini saya akan melihatnya secara langsug. Sungguh beruntungnya saya.

Diantara kerumunan masyarakat, saya dan Mas Muz seperti anak hilang lantaran celingukan mencari enggel untuk menonton. Sementara Altha sudah mendapat tempat di dekat para pemusik sekalian membuat sketsa para pemusik itu. Altha, mahasiswa lulusan L’ASRY itu  tak pernah berhenti berkarya, hari-harinya selalu diisi dengan berkarya dan berkarya. Baik di studio maupun di luar studio. Beliau juga seorang pengusaha muda nan kaya dan gesit giat bekerja. Perusahaanya telah membuka lapangan kerja bagi para anak muda, tak semata bekerja tapi juga berkreativitas bersama.

Peresehan atau perisean merupakan sebuah seni bela diri tradisional yang mendekati seni tari. Permainan diadakan di dalam kalangan yang melingkar, masyarakat menoton mengikuti lingakaran yang telah dibuat. Dua petarung telanjang dada mengenakan ikat kepala dan kain di pinggangnya. Masing-masing petarung menggunakan perisai dari kulit kerbau dan memegang tongkat rotan (penjalin). Pertarungan tersebut dipimpin oleh seorang wasit yang disebut pakembar. Ia menentukan siapa sebagai pemenangnya. Pertarungan dua lelaki perkasa yang disaksikan masyarakat itu diiringi dengan musik tradisional. Ramai nian suasananya.

Paresean yang dahulu sebagai upacara untuk mendatangkan hujan dan latihan pedang sebelum perang. Sekarang menjadi sebuah pertunjukan seni untuk melestarikan budaya dan nilai-nilai dari para leluhur suku Sasak. Pertarungan Paresehan melambangkan ketangkasan, keberanian, kekuatan, sportivitas dan persaudaraan.

Hari sudah menjelang petang, saya dan Mas Muz berjalan keluar Pura meskipun pertarungan belum usi benar. Kami khawatir jika keluar pas bubaran acara pasti akan semakin padat jalan keluar pintu dan sulit keluarnya. Di luar Pura kami melihat Altha tengan membuat sketsa di tepi danau kecil. Altha memang suka asyik sendiri seperti seekor anak itik yang tersesat di bawah gerimis.

Di tepi danau itu kami bertiga menghabiskan sore sambil bercengkerama dan bercanda ria. Diiringi pemandangan berbondong-bondong orang tengah berjalan melewati jalan menyebrangi danau buatan itu. Pertanda Paresehan teah usai.

Kami pulang. Petualangan belum selesai. Kami akan melanjutkannya lagi entah kapan. Mungkin lusa atau dilain hari. Kapan-kapan lagi. Sampai bertemu lagi Alta dan Mas Muz. Terimakasih..

Artikulli paraprak
Artikulli tjetër
- Advertisement -spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img
Latest News

CATATAN PERJALANAN BENGKEL BENGKEL MIME KE TIMUR #1

Komunitas di Kudus dan Romo Ipeng Catatan ulang memahami, mengerti dan menyirami Latar Belakang lahirnya gagasan "Mandala Indoneis Cinta" Bengkel...
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img