Itulah suatu hal tentang buku. Mereka membiarkanmu bepergian tanpa menggerakkan kakimu, – Jhumpa Lahiri
Tak dapat saya pungkiri tanpa adanya buku-buku di rumah rasanya ruangan begitu hampa. Sedari kecil saya terbiasa menata buku-buku atau majalah di meja belajar atau kamar tidur. Saya sangat senang melihat buku-buku yang tertata begitu rapih dan bersih dari debu juga sarang laba-laba. Kerapian mempermudah untuk mencari buku yang kita butuhkan atau hendak kita baca.
Benar apa yang dikatakan mbak Jhumpa Lahiri, penulis kumpulan cerita “Penafsir Kepedihan” itu, karena saya mengalaminya sendiri. Ketika sedang membaca buku rasanya seperti mengembara kemana-mana. Buku seperti alat transportasi tanpa roda dan mesin, terkadang kita bisa tertawa atau tersenyum sendiri dibuatnya. Sungguh asyik sekali membaca buku.
Ketika beranjak dewasa saya semakin menggemari berbagai macam buku bacaan seperti sastra, sejarah, komik, biografi, politik, filsafat dan lain sebagainya. Satu persatu buku-buku itu saya koleksi untuk menjadi bahan bacaan saya pribadi. Dari buku-buku itulah wawasan saya bertambah dan memprovokasi saya untuk bercita-cita.
Terus terang dengan membaca buku tidak kemudian saya menjadi seorang ahli atau ilmuwan. Akan tetapi buku-buku itu menjadi sarana untuk mendidik diri sendiri, agar menjadi pribadi yang terus menerus belajar apa saja, tidak merugikan orang, membuat sesuatu yang berguna, tidak merusak diri dan diluar diri, atau setidaknya tidak memperburuk dunia fana ini.
Bersama buku-buku itu saya kemudian terpancing untuk membuat program-program kecil yang mengasyikan dalam dunia yang saya geluti: Seni. Seperti program kegiatan sastra, pantomim, seni rupa, teater dan festival yang mencakup semua bisang seni. Tentu saja saya tidak sendirian tapi bersama teman-teman dalam satu tim kerja.
Pepatah mengatakan “Jika kamu ingin berjalan cepat maka berjalanlah sendirian. Jika kamu ingin berjalan jauh, berjalanlah bersama-sama”. Bekerja dalam satu tim memang membutuhkan energi besar tapi menyegarkan karena dalam tim itu kita dapat bertukar pendapat, saling mengapresiasi gagasan, mengelola konflik, dan mengendalikan ego.
Saat ini usia saya 44 tahun dan masih diberikan kekuatan untuk membaca buku, meskipun sudah jauh berkurang dibanding ketika berusia kepala dua. Dalam setahun saya hanya sempat membaca 20 judul buku, sedangkan dulu sehari bisa satu atau dua judul buku. Semua anugrah alam itu saya jalani dengan nikmat.
Di rumah yang kecil mungil dan cekly saya dapat mewujudkan cita-cita pada waktu muda remaja dulu. Bahwa saya harus mempunyai perpustakaan kecil jika punya rumah nanti. Alhasil sekrang sudah ada lebih dari 2000 buku di perpustakaan kecil saya. Alangkah bahagianya hati ini ketika berada di dalam rumah, rasanya betah lantaran bisa membaca buku sewaktu-waktu sambil tiduran atau duduk santai tanpa ada yang menganggu.
Dilain sisi saya kurang memperhitungkan perihal perawatan perpustakaan dan pendataan buku-buku yang ada. Terkadang saya merasa bersalah dengan buku-buku yang telah saya koleksi lantaran sering saya tinggal pergi hingga berdebu. Sementara rak-rak besi itu penuh sawang atau sarang laba-laba. Bahkan pernah menjadi tempat bertelur cicak, sudah barang tentu banyak tahi cicak kering bertebaran.
Setelah saya renungkan panjang ternyata merawat cita-cita itu lebih sulit dari mewujudkannya. Sekarang saya berjanji pada diri sendiri untuk merawat apa yang saya cita-citakan itu. Setidaknya satu minggu sekali saya pasti membersihkan perpustakaan kecil yang mengasyikan itu.
Perpustakaan akan menjadi energi baru dan terus memperbaharui diri seiring kehidupan yang kita jalani. Energi itu akan berputar menggerakkan diri ini, jiwa ini, tubuh ini dan lingkungan sekitar. Energi dari buku-buku akan menumbuhkan kebahagian-kebahagian kecil di sekitar kita. Dan orang lain juga akan menghirup energi yang membahagiakan itu. Energi yang memberikan sesuatu. (S3)
Tirto, 12 Januari 2025