Senin, Juni 9, 2025
No menu items!

EMPERAN, MUSHOLA, IWAN FALS

Must Read

Jumat, 16 Agustus 2024, kami berkumpul di emperan rumah. Teman-teman datang untuk obrolan sore. Aku menyuguhkan teh. Jumat yang sudah sibuk di jalan-jalan. Para warga bakal mengadakan “tirakatan”.

Teman-teman agak kesusahan sampai rumah, jalan-jalan banyak yang ditutup. Sore itu obrolan bukan mengenai agustusan. Kami sempat memikirkan masalah lagu-lagu berkaitan nostalgia, identitas, rekaman zaman, dan industri budaya.

Azan maghrib terdengar dari beberapa masjid. Sejenak menemui Tuhan di Mushola Al Mubarokah. Ramai. Yang ingin berjumpa Tuhan saat itu banyak. Anak-anak yang menjadikannya meriah. Mereka tampak bergembira dan penuh gurauan. Aku berpikir ulah mereka itu bikin kangen masa lalu.

Suasana angkringan Mushala. Foto doc Pribadi

Emperan rumah yang mendapat angin cukup kencang. Teh habis dan obrolan pun diselesaikan gara-gara aku harus bergerak ke malam tirakatan diadakan warga. Di sana, melihat ibu-ibu dalam paduan suara dan baca puisi. Mereka yang bersemangat.

Aku dan para bapak duduk menikmati angin yang tetap menembus jaket. Pada malam mengenang sejarah Indonesia, aku dan Pak Ibrahim malah membuat obrolan mengenai pondok pesantren, keluarga, dan perdesaan.

Bagiku obrolan itu agak mengurangi dingin. Namun, aku tidak bisa bertahan lama. Pada saat di jalan-jalan ramai warga mengadakan tirakatan, inginku adalah tidur.

Tengah malam, terdengar lagu-lagu Iwan Fals dari belakang rumahku. Oh, di rumah Pak Puguh berkumpul kaum OI (Orang Indonesia) merayakan malam dingin dengan gitar dan lagu. Aku mendengarnya dengan mata terpejam.

Duh, kangen masa remaja saat aku biasa membawakan lagu-lagu Ebiet G Ade, Iwan Fals, Broeri Marantika, dan lain-lain. Masa yang menggelisahkan yang dihibur dengan lagu-lagu asmara picisan, alam, dan ketuhanan.

Sabtu, 17 Agustus 2024, keramaian makin terjadi di pelbagai tempat. Aku berdiam di rumah saja, mengerjakan tulisan yang agak memusingkan. Hari yang cepat berlalu dengan adanya lomba-lomba dan lagu-lagu kebangsaan yang terdengar dari banyak arah.

Sore, aku berjalan di kebun belakang. Kaki-kakiku menginjak daun-daun jati yang kering. Puluhan pohon jati yang tinggi menuju langit tapi daun-daunnya yang kering kembali di pangkuan tanah. Suara-suara daun jati kering terinjak cukup merdu.

Masih Angkringan Mushola, Doc Pribadi

Tujuanku menuju rumah Pak Puguh. Sejenak menyapa kaum OI yang bakal mengadakan acara 25 tahun OI. Mereka berdatangan dari berbagai kota. Kumpul bareng dengan jalinan sebagai penggemar lagu-lagu Iwan Fals.

Maghriban di Mushola Al Mubarokah (Tanon Lor, Gedongan, Colomadu) sambil menyapa para warga yang menyiapkan lahan parkir. Mereka yang bakal menikmati malam dengan kumpul bareng, bercerita, merokok, dan menikmati cemilan.

Malam itu aku berniat ikut bergabung dengan kaum OI dan warga di rumah Pak Puguh. Malam yang diharapkan menghibur, membuka album kenangan.

Acara tetap akhir pekan: angkringan. Selesai berjamaah shalat isya, aku bergabung bapak-bapak meramaikan angkringan di depan mushola. Aku sadar tak bakal lama di situ. Tanganku lekas memegang kipas.

Yang terjadi: mengipasi arang-arang di tungku agar membara untuk memanaskan seceret jahe. Para bapak tampak tak sabar ingin menikmati wedang jahe. Tanganku menggerakkan kipas diselingi guyonan-guyonan ringan.

Malam itu aku malah tak berhasil menikmati segelas jahe. Yang sampai mulutku adalah tempe gembus. Bergegas pulang setelah mendapat kabar dari Bu Ririn yang ingin ikut menonton pesta kecil di belakang rumah bersama kaum OI.

Ah, tubuhku tak lama di angkringan, berganti di rumah Pak Puguh. Di situ, ratusan orang yang ingin mengembalikan babak-babak kehidupannya dengan lagu-lagu Iwan Fals. Beberapa lagi dibawakan dengan gitar.

Aku menikmatinya sambil mengingat masa SD, SMP, dan SMA. Lagu-lagu yang mengiringi biografi. Bu Ririn dan Abad ikut menonton dengan pengalaman hidup yang berbeda. Mereka tak terlalu akrab dengan lagu-lagu Iwan Fals.

Cah OI, Foto Doc Pribadi

Pesta kecil di bawah pohon talok. Di belakang panggung, tampak pohon-pohon jati tegak dan tinggi. Di langit, tampak bulan mau bundar. Malam itu kebersamaan dan lagu-lagu.

Malam makin berangin dan dingin. Belum pukul 10 malam, aku pulang duluan. Sempat mampir di kumpulan bapak, mendapat tiga iris sukun goreng yang ingin aku santap bersama kopi saat dini hari. Bagiku tidur itu kenikmatan meski malu saat diejek bapak-bapak bahwa aku tidak betah membuka mata sampai tengah malam.

Malu dibawa pulang. Eh, raga terbaring tetap saja merasa menonton pentas saat terdengar kaum OI membawakan lagu-lagu Iwan Fals. Cuma berjarak kira-kira selusin meter, tempatku berbaring dan panggung kecil. Dua tembok menjadi penghalang tapi suara terdengar keras.

Hari telah berganti, Ahad, 18 Agustus 2024. Aku mengawali dengan turut shalat subuh berjamaah yang disempurnakan pengajian dan sarapan. Di luar, menikmati angin dan sisa rembulan.

Pengajian membahas masalah lomba. Aku sempat tersenyum tapi memberi perhatian serius saat mubaligh menjelaskan masalah lomba makan kerupuk. Oh, agama pun membahas lomba.

Yang lezat adalah soto. Jamaah mendapat suguhan soto, bakwan, tahu, dan rambak. Pikirku bakal terjadi lomba makan soto. Telingaku malah mendengar ajakan “berlomba-lomba dalam kebaikan”.

Ada yang mengartikan beramal kebaikan seperti sedang mengikuti lomba. Apa lomba itu menghasilkan menang dan kalah? Pagi itu aku tidak sanggup memikirkan lomba. Agustusan, aku tidak ikut lomba apa-apa.

Pagi itu agak sepi. Jamaah mungkin lelah ikut acara-acara agustusan. Subuhan yang berbeda dari biasanya. Maka, aku lekas menggulung celana dan jaket. Inginku mencuci mangkok. Di sisi barat, Pak Sururi dan Pak Tri sudah mencuci gelas.

Muda Mudi, Foto Doc Pribadi

Pagiku ingin berlomba isah-isah mangkok. Eh, seorang ibu datang mendekatiku memberikan peringatan: “Pak Mawar tidak boleh mencuci mangkok. Pahala dibagi-bagi.” Duh, aku diharuskan kalah dari ibu-ibu. Padahal, aku tadi sudah bergairah mau isah-isah.

Di rumah, yang aku lakukan adalah sejenis lomba umbah-umbah atau isah-isah. Lomba harian agar hidup bersemangat dengan campuran lelah dan lega. Pagi ditinggalkan dengan sinar matahari yang panas.

Siang lekas berganti sore. Teman-teman berdatangan setelah ashar. Duduk bareng di emperan bersama gelas-gelas teh. Obrolan agak serius mengenai usaha menulis biografi para tokoh yang berpengaruh dalam bisnis, politik, dakwah, seni, dan lain-lain.

Satu teman datang lagi. Obrolan makin seru saat senja. Angin telah memberi dingin. Mereka perlahan menyebut nama Iwan Fals. Wah, obrolan mengarah kemungkinan menonton konser Iwan Fals di Mangkunegaran. Padahal, waktu sudah mepet. Teman-teman cekatan mencari informasi tiket.

Aku tak ada rencana atau jadwal dolan malam atau menonton konser Iwan Fals. Bergerak dulu ke Mushola Al Mubarokah untuk shalat maghrib berjamaah. Aku pun masih bisa wira-wiri mengikuti shalat isya berjamaah. Di emperan rumah, teman-teman tampak sumringah: berhasil mendapat tiket menonton konser Iwan Fals.

Sore itu belum mandi. Tubuhku kecut dan kaus belum mau berganti. Berangkatlah kami menuju Mangkunegaran. Di hitungan menit, aku sudah berada di kerumunan ribuan orang. Wah, mereka yang bakal bernyanyi. Yang terjadi, aku bersama teman-teman memilih berdiri agak di belakang.     

Lama aku tidak menonton konser. Dulu, saat remaja pernah menonton konser Dewa 19 dan Kla Project. Pada masa berbeda, menikmati pertunjukan Sujiwo Tedjo, Kiai Kanjeng, Padi, Payung Teduh, Float, Ebiet G Ade, dan lain-lain.

Rejeki dari OI, Foto doc pribadi

Di konser Iwan Fals, aku mampu menahan mulut tidak ikut bernyanyi. aku menikmati sambil berdiri dan bernostalgia. Seingatku saat menjadi murid di SMA Negeri 2 Solo, aku menyukai lagu Iwan Fals yang kurang terkenal: “Kuberikan padamu setangkai kembang pete tanda cinta abadi namun kere…”

Malam konser itu tanpa pete. Aku merasa senang berada kerumunan, melihat orang-orang bersemangat dengan lagu-lagu Iwan Fals. Bubaran dengan cukup lelah dan mengantuk. Pulang melewati SMA Muhammadiyah 1 Solo.

Di situ, Bu Ririn saat remaja menjadi murid yang memiliki masa menyenangkan. Nostalgia SMA yang dimilikinya banyak kesan dan canda. Pada akhirnya, Bu Ririn hidup bersamaku. Lagu yang pernah aku gemari saat SMA mendapat bukti yang mengejutkan.

Bu Ririn ternyata suka makan pete dan jengkol. Malam itu membayangkan Bu Ririn dengan seragam abu-abu dan putih. Pastilah ia tampil sebagai perempuan anggun dan cantik yang mendapat perhatian.

Eh, aku malah memiliki nostalgia SMA yang tidak indah. Masa itu berlalu. Kini, aku sudah melewati umur 40-an tahun. Yang sedang membentuk biografi adalah anak sulung (Abad) yang menjadi murid di SMA Negeri 7 Solo.

Konser Sang Legenda, Doc Pribadi

Abad sudah besar. Aku kadang melihat dengan bingung untuk membandingkan dengan saat aku sebagai murid SMA. Malam itu aku menonton konser bersama teman-teman, bukan dengan Bu Ririn dan Abad. Padahal, Sabda sedang senang menyanyi. Dugaanku, ia mungkin terpesona bila melihat Nadin Amizah, yang tampil di panggung sebelum Iwan Fals.

Malam itu ditutup dengan makan soto di depan Pasar Legi. Dulu, aku sering berada di situ saat dini hari untuk makan nasi goreng atau bakmi. Masa aku masih bujangan menjadi pedagang kaset bekas. Para kolektor kaset biasa mengajak kumpul dan makan bareng. Masa itu berlalu.  

Sebelum tidur, aku masih kepikiran lirik lagu yang dibawakan Nadin Amizah dan Iwan Fals di Mangkunegara. Telingaku mendengar: “Siang berganti malam, terdengar panggilannya. Suara anak-anak kecil yang pergi ke langgar menghampiri yang dewasa di sana.

Tanpa tahu apa-apa, melangkah dengan riang gembira.” Aku bisa mengganti: “suara anak-anak kecil yang pergi ke langgar” menjadi “ke mushola”.

Ditulis Oleh: Pak Mawar

Penggemar Mie Ayam dan penjual buku-buku bekas. Kini sibuk berkegiatan di Mushola kampungnya. Beliau punya banyak cerita tentang apa saja.

- Advertisement -spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img
Latest News

Puisi-puisi pendek Fathurahman Ramadhan

Kata Kata selalu tertinggalDari kebutuhan zamanBahkan kitaTak bisa menggambarkanLukaYang diberikan penguasa Yogya, 2025 Frasa Hingga kita mencoba trilyunan kombinasiKataMustahilMenemukanIstilah untukKegelapan ini Yogya, 2025 Klausa Pada sebagian...
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img