Kamis, April 24, 2025
No menu items!

Cita-cita di Usia Empat Puluh Lima

Must Read

Saya adalah seorang guru Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di kampung, kadang juga menulis untuk media online, dan pernah menjadi Kepala SD swasta di kota. Saat ini saya berani memancang sebuah cita-cita, menjadi pengojek online untuk menambah penghasilan. Namun dulu, setidaknya hingga usia 20 tahun, saya tidak berani bermimpi ingin menjadi apa. In other words: tidak punya cita-cita.

Di usia menjelang 45 tahun ini tak habis-habisnya saya mengucap syukur, memuji marang Gusti Kang Murbeng Dumadi. Bagaimana tidak? Saya yang dahulu tidak pernah berani bercita-cita, kini bisa menjadi seorang guru.

Saya ingat betul ketika SD hingga SMP, saya paling benci ketika ditanyai guru perihal cita-cita. Jawaban template saya ketika itu adalah ‘ingin menjadi manusia yang berguna bagi nusa, bangsa, dan agama’. Sebuah jawaban klise anak-anak tahun 90-an untuk menyamarkan sebuah kenyataan pahit: tidak berani bercita-cita,

Iya, tidak berani bercita-cita. Sebab saya realistis terhadap kondisi keuangan Bapak yang serba pas-pasan. Bayangkan saja, Bapak saya adalah seorang penjual es dawet keliling yang harus menghidupi keluarga besar: seorang istri, seorang mertua, seorang kakak, dan lima orang anak. Dan saya adalah ragilnya.

Jangankan untuk menaruh harapan bisa menjadi dokter, insinyur, hakim, tentara, atau pilot seperti teman-teman; membayangkan bisa sekolah sampai SMP saja saya tak pernah sampai hati. Bayangan paling realistis ketika itu adalah menjadi kuli bangunan atau pengayuh becak.

Toh Gusti memang Maha Kuasa. Ia memberi pertolongan dengan jalan yang tak terduga. Dalam kasus saya, melalui uluran tangan orang tua asuh berbudi luhur bernama R. Bambang Soemitro dan Ibu Soekeni. (mugi pinanggih kaswargan jati Pak, Bu..)

Beliau berdua yang mendidik saya sejak SMP hingga lulus kuliah. Saya sebut mendidik, sebab tak hanya membayari biaya sekolah saja. Lebih dari itu, mereka juga mengajari saya agar berani bermimpi. Berani bercita-cita, dan berupaya untuk mewujudkannya.

Dan inilah saya sekarang, seorang guru SD dan SMP di kampung, kadang juga menulis untuk media online, dan pernah menjadi Kepala SD swasta di kota. Saat ini saya sudah berani memancang sebuah cita-cita, menjadi pengojek online untuk menambah penghasilan. Namun dulu, setidaknya hingga usia 20 tahun, saya tidak berani bermimpi ingin menjadi apa. In other words: tidak punya cita-cita.

Sebagian besar tetangga saya di kampung menganggap bahwa profesi guru itu sudah cukup lumayan. Terhormat, dan financially fine. Poin pertama memang fakta. Poin kedua juga tidak sepenuhnya salah sih, setidaknya untuk guru negeri dan P3K.

Namun, andai mereka tahu kondisi guru swasta, anggapan mereka mungkin akan berubah. Nyatanya, kondisi keuangan kebanyakan guru swasta di kampung adalah seperti kere terselubung. Terhormat namun kere. Kecuali mereka memiliki sumber penghasilan lain di luar gaji mengajar.

Saya sih tidak mempermasahkan anggapan para tetangga. Di usia menjelang setengah abad ini, pandangan orang lain menjadi tak terlalu penting bagi saya. Fokus utama adalah bagaimana caranya memenuhi kebutuhan keluarga. Caranya tiada lain, mesti mencari penghasilan tambahan.

Dan pilihan usaha yang paling memungkinkan, setidaknya menurut saya sendiri, adalah dengan menjadi mitra ojek online. Cukup bermodal sepeda motor dan waktu luang diluar jam mengajar.

Selain dua alasan tersebut, sebenarnya ada alasan utama yang sifatnya personal. Saya ingin nyambi sebagai mitra ojek online itu dalam rangka nyenggek rezeki dari Gusti Allah. Menurut ceramah-ceramah yang saya dengar dari Ustadz dan Da’i, Ia seringkali memberi rezeki kepada umatnya melalui jalan yang tidak diduga-duga.

Jalan yang tidak terduga ini, menurut saya, kecil kemungkinannya datang dari gaji. Puluhan tahun menjadi guru swasta, belum pernah saya mendapatkan rezeki tak terduga yang diselipkan kedalam gaji. Maka, prasaku, kalau ingin nyenggek rezeki unpredictable tadi ya harus dilakukan di jalanan.

Saya teringat bagaimana Cak (Mbah) Nun pernah menggambarkan hal ini dengan indah melalui tulisannya. Bagaimana ‘invisible hand’ Tuhan bekerja dalam mempertemukan supply and demand antara ribuan penumpang dengan sopir taksi di Jakarta, sebelum datangnya era internet dan media sosial. 

Di era smartphone saat ini, saya ingin mengalami dan menikmati campur tangan Tuhan tersebut dalam mencurahkan rejeki kepada keluarga saya, melalui sinyal-sinyal digital yang berseliweran di sekitar kepala kita. Duhai, begini rasanya mempunyai cita-cita. Indah nian.

BIODATA PENULIS

Rois Milano, mempunyai nama Pena: Rois Pakne Sekar. Lahir di Malang, 20-02-1980. Sekarang tinggal di Dsn. Bendilwuni RT 16/ RW 02 No. 14, Ds. Kademangan, Kec. Pagelaran, Kab. Malang, Jawa Timur

- Advertisement -spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img
Latest News

Andai Aku Jadi Maghrib 

Adzan maghrib berkumandang. Sebuah penanda yang dinantikan. Semua orang yang berpuasa seolah terprogram untuk menunggu detik-detik  itu. Piring sudah...
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img