Rumah adalah gambaran jiwa penghuninya
Begitulah pepatah mengatakan, jika rumah itu bersih, rapih, asri dan nyaman orang akan beranggapan bahwa jiwa penghuninya juga indah. Tetapi bagaimana dengan rumah megah nan glowing tapi ternyata penghuninya seorang maling uang negara? Tetap saja namanya rumah terkutuk. Ah, sudah saya tak sedang membicarakan kaum terkutuk itu.
Beberapa bulan ini rumah saya sedang berantakan lantaran sering saya tinggal pergi. Sungguh rasanya tidak nyaman dan risih.
Buku-buku berserakan, gelas dan piring belum tercuci, kardus berisi pigura gambar memenuhi ruangan, meja, lantai dan benda-benda lain diselimuti debu. Sementara di halaman rumah daun-daun coklat basah berserakan, rumput ilalang tumbuh meliar. Satu lagi, pohon pisang beranak-pinak seperti memperluas wilayah kekuasaannya. Menambah suasana rumah tampak muram.
Setiap kali sampai di rumah rasanya malas sekali seperti masuk rumah hantu di pasar malam. Saya bingung harus mulai darimana membersihkan dan merapikannya? Kemalasan itu berefek pada kegiatan saya yang lainnya. Semua jadi melambat dan macet. Di rumah kegiatan saya cuma rebahan sambil megang hape mainan medsos. Sungguh menyebalkan sekali diri ini.

Semakin dibiarkan debu-debu semakin merajalela, kekotoran dan berantakan tak terkendali. Juga jiwa ini tak lagi berseri-seri melainkan semakin murung dan gelap. Mungkin jika hal seperti ini saya biarkan terus menerus saya dan rumah ini akan membusuk perlahan-lahan. Payah! Payah! Payah!
Lalu apa yang harus saya lakukan agar bisa kembali seperti sediakala dan jiwa ini kembali segar menjalani hari-hari. Tahun lalu keseharian saya begitu rapih, dinamis dan menyehatkan. Di awal tahun ini malah kebalikannya. Biasanya bangun tidur pukul tujuh langsung membaca buku satu jam, dilanjut olah tubuh satu setengah jam lalu merebus telur tuk sarapan.
Kemudian menyapu halaman dan dalam rumah, merapihkan barang-barang, cuci gelas dan piring. Setelahnya saya baru mulai berkegiatan membuat patung tanah liat atau menulis sampai sore hari. Malam harinya kalau nggak ada janjian dengan teman, saya habiskan untuk membaca buku atau menggambar sambil sesekali minum teh anget. Begitulah saya yang hari-harinya mirip pensiunan. Ah, apapun itu saya menikmatinya sepenuh hati.
Pada kenyataannya sekarang saya seperti orang terpuruk dalam kebangkrutan yang melelahkan. Padahal itu semua salah, saya tidak sedang terpuruk melainkan hanya sibuk, tak ada waktu dan intinya malas menata semua-muanya, kembali seperti tahun lalu yang indah. Lalu apa yang harus saya kerjakan? Mulai dari mana semua ini?
Saya tidak mau jika yang saya cita-citakan dan kerjakan di luar rumah berhasil dan berjalan lancar, tapi rumah sendiri berantakan. Baiklah, saya butuh diam begitu lama. Merenungi apa yang telah saya lakukan hingga segala kekotoran ini saya biarkan berlangsung begitu lama.ini memang kesalahan saya dan harus ditebus oleh diri saya sendiri. Pelan-pelan bibir ini tersenyum dengan sendirinya. Tersenyum kepada apa saja yang ada diseputar saya. Sebab benda-benda itu adalah keluarga sekaligus teman-teman yang setia.
Segera saya mendapatkan jawabannya: selain bercita-cita ke luar, musti bercita-cita ke dalam. Cita-cita saya: Menyegarkan diri dan rumah tinggal setiap hari. Memang itu lebih sulit daripada mewujudkan cita-cita di luar diri. Kita harus berkomunikasi, berembug atau berdiskusi, dan berjanji pada diri sendiri. Bahkan bisa jadi bergulat dengan diri sendiri. Mari kita mulai sekarang juga.
Tiba-tiba tubuh ini seperti ada yang menariknya, ia terbangun dari permenungan panjang lalu beranjak menuju dapur mencuci perkakas yang kotor. Mengambil sapu dan kemoceng membersihkan benda-benda, lantai dan buku-buku. Mengeluarkan kardus-kardus besar ke beranda agar ruang terasa lega. Menata tempat tidur dan merapikan benda di atas meja. Lalu mengambil pigura gambar dari dalam kardus untuk ditata di ruang yang masih kosong. Membuang kardus dan benda-benda yang sudah tak terpakai lagi. Fiuuwww…
Satu hari penuh saya bekerja membersihakan dan membereskan ruang dalam, dan ternyata tidak cukup seharian. Hari kedua saya masih juga menata dan meberesi sisa barang yang masih tercecer. Kemudian merancang penataan ruang baru agar ruang menjadi segar. Ternyata tidak cukup dua hari lantaran harus membeli sapu halaman, serok, cantelan buat pasang gambar, dan pernak-pernik lainnya.

Pada hari ketiga ini rumah sudah lumayan rapih dan tampak luas, ruangannya tak lagi sumpek. Saya semakin riang dan tersenyum lebar menikmati hasil kerja yang sungguh-sungguh. Pada hari ke empat baru sempat membersihkan halaman rumah dan memasang gambar di dinding. Tinggal kamar mandi dan perkakas dapur yang harus dikerjakan dengan tenaga ekstra.
Pada titik ini tumbuh kesadaran dalam diri saya untuk menggunakan perkakas dan baju secukupnya, maka saya mulai menyeleksi gelas piring, mangkuk dll untuk saya simpan. Kelak akan saya berikan pada orang yang membutuhkan. Juga menyeleksi pakaian agar almari tidak penuh dengan pakaian yang tak terpakai.
Pada hari ke enam dan tujuh, tumbuh Gereged dalam diri untuk mengawali tahun dengan sebuah janji: Setiap hari rumah harus terjaga kebersihan dan kerapihannya. Bukan bersih yang kadang-kadang. Paling tidak tak akan terjadi lagi berantakan dan kotor berkepanjangan. Saya akan menjaga dan merawat rumah sebaik-baiknya. Sehormat-hormatnya. Rumah adalah anugrah.
Saya kembali beraktivitas dengan nyaman di rumah cekli yang berukuran 4X7 meter dan berhalaman 5m. Membuat karya-karya anyar. (S3)