Yang menjadi murid mengalami hari-hari belajar, hari-hari diatasnamakan pengetahuan. Murid yang gembira mendapat pengetahuan untuk kebaikan, kepintaran, dan bekal masa depan. Yang murung dan bosan menganggap beragam pelajaran di sekolah adalah cicilan siksa neraka. Walah! Bertumbuh menjadi anak dan remaja mengalami babak “keharusan” menjadi murid, yang membawa seribu tanda seru setiap hari kecuali hari libur atau masa libur.
Di sekolah, murid-murid yang tidak mau “sekarat” oleh deretan mata pelajaran memilih menikmati waktu istirahat dengan bermain. Waktu yang singkat tapi tidak disia-siakan. Sip! Mereka bermain agar dapat tertawa, teriak, dan berkeringat.

Aku mengalaminya belasan tahun yang lalu. Artinya, aku pernah menjadi murid SD yang terdapat di desa. SD yang bangunannya sederhana. Para muridnya banyak yang berasal dari desa setempat. Jadi, pertemanan yang dibuat ditandai geografi: sekolah dan desa. Aku bermain bersama teman-teman yang sedikit membedakan jenis permainan saat berada di sekolah dan setelah meninggalkan sekolah.
Bermain yang umum bagi anak-anak adalah sepak bola atau balbalan. Di sekolah, balbalan itu bisa bermain sekaligus mengikuti mata pelajaran yang dinamakan pendidikan jasmani atau olah raga. Di SD, aku termasuk murid yang tidak cemerlang dalam balbalan. Kemampuan mengejar bola atau menendang bola sulit mendapat pujian. Yang terjadi, aku memilih menjadi penonton. Pada permainan atau pertandingan, posisiku kadang hanya penonton cadangan. Ah, posisi yang memalukan seumur hidup!

Bermain balbalan di sekolah jarang seru. Kepala sekolah dan para guru mudah memberi peringatan atau nasihat-nasihat yang mengganggu asyik dan serunya murid-murid berseragam merah dan putih dalam balbalan. Maka, kenikmatan terbaik bermain balbalan terjadi di jalan, pekarangan, atau kebun. Aku dan teman-teman mengganti seragam dengan sandang harian. Sekali lagi, peranku dalam bermain balbalan itu kecil atau “pelengkap” saja. Duh, kasihan.
Eh, aku tidak ingin terus berbagi cerita silam. Yang ingin aku ajukan adalah buku lawas terbitan 1949. Buku berjudul Taman Kesoema, yang memuat lagu-lagu buatan Madong Lubis. Sebenarnya, buku itu terbit pada masa kolonial. Yang aku miliki adalah cetakan kelima.
Yang membuatku tertarik membuka halaman-halaman buku memuat lagu dan gambar-gambar indah adalah ajakan bermain. Lagu untuk anak-anak, lagu yang inginnya menggembirakan. Aku menyadari kenikmatan lagu-lagu gembira itu mudah berakhir saat remaja mendengarkan lagu-lagu asmara yang cengeng. Ingatan lagu anak-anak segera digantikan lagu-lagu yang mengisahkan patah hati, nelangsa perpisahan, rindu yang karatan, dan lain-lain.
Oh, aku suguhkan lirik “Lagoe Bermain” yang diwariksan Madong Lubis. Lagu yang mengingatkan keseruan anak-anak bermain setelah belajar: Belilah kain boeatan Bangka/ Boenga angsoka berbandjar-bandjar/ Mari bermain bersoeka-soeka/ Sebabnja soedah letih beladjar// Boeroeng sekawan boeroeng kenari/ Terbang melajang atas boeboengan/ Ajoehai kawan-kawan berlari/ Djanganlah doedoek berangan-angan. Anak-anak letih belajar. Letih bukan ditebus istirahat atau tidur. Eh, mereka malah bermain, yang dapat memberikan gembira atau pertambahan letih. Di halaman lagu, aku melihat gambar dua anak yang sedang bermain sepakbola. Bermainlah dengan giat ketimbang belajar!

Ingantanku bermain balbalan di sekolah dan desa tidak mungkin dibandingkan lagu lawas, yang mengingatkan kegembiraan anak-anak Indonesia: sebelum dan setelah proklamasi. Biografiku dalam balbalan itu sedikit, hampir-hampir tak bermakna.
Jadi, aku kagum dan iri saat membaca novel berjudul Bek (2024) yang ditulis Mahfud Ikhwan. Novel yang terbaca sebelum Indonesia berhasil mengalahkan Arab Saudi (19 November 2024). Novel dengan tokoh-tokoh berkeringat tapi aku tidak berkeringat sebagai pembaca. Yang membaca kadang tertawa tapi mudah terharu. Aku tidak cengeng saat membacanya.
Cerita mengenai desa, sepakbola, keluarga, radio, dan lain-lain. Yang membaca akan merasakan hadir di desa yang erat dengan masa lalu si pengarang. Novel yang bakal tercatat apik bercerita desa. Di desa, anak-anak menyusun biografi dengan balbalan. Biografi yang bersifat pribadi dan bersama.
Sekarang, kita mengenang anak-anak dan desa saja. Yang memberi keseruan mengingat adalah novel berjudul Bek yang ditulis pengarang ketagihan film-film India. Cerita yang mendekatkan pembaca dengan lakon hidup di desa. Pengarang yang bertampang desa itu berhak dijadikan panutan bagi orang-orang yang tidak ingin kehilangan kesusastraan berpijak desa.
Aku mudah tertawa jika membaca novel Mahfud Ikhwan. Keyakinanku: Mahfud Ikhwan tidak dilahirkan untuk menjadi pelawak. Namun, ia tidak membiarkan para pembacanya merana sepanjang musim kemarau, menangis sambil berguling-guling, atau misuh-misuh sejauh 10 km. Mahfud Ikhwan adalah pencerita yang tidak mengharamkan tawa, sejak halaman awal sampai akhir.
Yang membuatku mengerti anak, desa, dan sekolah: “Lapangan! Akhirnya kami sampai di sana juga. Saat itu, tidak ada yang lebih berbahagia dan bangga dibanding aku dan teman-temanku. Berpindah main bola dari halaman ke lapangan pada usia 12 tahun sama rasanya seperti masuk SMP tanpa perlu melewati Ebtanas. Sedikit mengejutkan namun terasa terlalu mudah. Ya, begitulah.”

Aku membaca dan tertawa. Walah, nasib bocah-bocah desa yang biasanya menjadikan halaman, kebun, dan jalan untuk main balbalan mulai mendapat kebahagiaan. Lapangan itu keajaiban!
Pengarang yang sedikit kurang ajar. Bisa-bisanya main bola dikaitkan Ebtanas. Oh, akronim milik orang-orang yang berusia 40-an atau 50-an tahun. Yang belajar di sekolah diharuskan ujian. Dulu, sebutannya “evaluasi”. Tokoh-tokoh dalam novel Mahfud Ikhwan yang hidup di desa memihak bola ketimbang patuh dalam belajar dan ujian demi kesuksesan pembangunan nasional.
Kehormatan desa ditentukan sepak bola. Aku terhibur dengan novel Bek. Yang membuatku kagum adalah kemahiran pengarang mengisahkan desa. Ia bukan pengamat. Sepak bola memang dipentingkan tapi pembaca yang mengalami hidup desa bakal mudah terpikat. Aku agak paham jika kebahagiaan desa berkaitan sepak bola. Membayangkan saja penguasa atau orang-orang yang ingin menang dalam hajatan demokrasi mengumbar janji: satu desa, satu lapangan.
Penulis

Beliau gemar jajan Mie Ayam dan berkegiatan di Mushola.