Senin, Juni 9, 2025
No menu items!

Bendungan

Must Read

Ali Sabidin tidak akan mati andai suatu sore bencana itu tidak terjadi; lelaki paruh baya itu akan tetap berkeliaran di sudut-sudut pasar dan menggoda tiap perempuan. Jika bencana itu tidak datang, orang-orang tidak membangun bendungan baru dengan biaya fantastis. Jika bendungan itu tidak dibangun, aku tidak pernah dilahirkan.

Tidak ada kaitan antara aku dan Ali Sabidin atau penggagas berdirinya bendungan baru. Maksudku, tidak ada kaitan langsung. Aku tidak tahu wajah Ali Sabidin dan tidak kenal keluarganya, yang konon tidak sudi mengakuinya, bahkan hingga ia mati.

Suatu sore yang sendu tiba-tiba gempa itu terjadi. Orang-orang panik berlarian ke jalan, rumah-rumah roboh, tiang jembatan ambruk, dan hanya dalam beberapa menit, setelah gempa usai, kami menemukan jasad-jasad di segala sudut; tidak semua orang sempat menyelamatkan diri. Di hari mengerikan itu, di suatu tempat, merenung seorang gadis, demi suara kematian akibat bencana.

Mayat-mayat diangkut ke tanah tak bertuan. Para relawan menggali tanah untuk liang besar agar seluruh korban bisa dikuburkan sekaligus. Tujuannya untuk menghemat waktu dan tenaga. Yang masih bisa diingat oleh gadis itu tak lain penampakan lengan Ali Sabidin yang penuh rajah, yang dulu kerap menepuk pantatnya dengan bisikan cabul, yang dulu kerap memberinya mimpi buruk. Di hari itu, segalanya terasa kurang ajar. Ali Sabidin memang mati, tapi ibunya yang tak berdosa juga tak luput dari maut.

Kerap gadis itu mencoba mengakhiri hidupnya, tapi selalu gagal. Entah berapa cara dia lakoni, tapi Tuhan masih mengulur waktu. Seakan masih tersisa sesuatu untuknya di dunia ini untuk terjadi. Dia tidak tahu apa, tetapi tentu saja tidak ada pikiran mundur. Usaha mengakhiri hidup tidak berhenti, bahkan hingga bertahun-tahun setelah bencana sampai bendungan baru itu kelar dibangun.

Pembangunan bendungan yang penting bagi kelangsungan desa tidak bisa ditunda. Orang-orang mengerahkan tenaga bersama, apalagi setelah mendapatkan bantuan dana dari orang-orang kota yang datang dengan banyak misi. Entah berapa kamera merekam sudut desa sejak bencana itu. Tak satu pun sempat menghitung, tetapi desa itu berubah menjadi desa yang lebih bergeliat dengan aktivitas ekonomi yang meningkat. Bantuan dana dan pangan tak henti berdatangan. Informasi disebarkan ke seluruh penjuru negeri.

Aku dengar seluruh cerita itu dan detailnya kuhafal. Aku mampu menuliskan setiap bagian ketika orang-orang desa sempat menolak dana pembangunan bendungan dengan alasan salah seorang penyumbangnya adalah koruptor kelas kakap. Aku juga mampu menuliskan suasana mengerikan saat seluruh jasad korban bencana dimasukkan ke liang lahat oleh tali, tanpa peti, tanpa kain kafan yang layak, dan orang-orang hanya menangis dan menumpahkan segala yang telah mereka makan agar tugas itu segera kelar.

Aku berani menjamin pengetahuanku, karena lelaki renta bernama Mudakir itu tak diragukan kemampuan ingatannya. Aku mengenal Mudakir jauh sebelum gedung tinggi, mobil, internet, buku, es krim, wanita, gitar, kuda pacuan. Jauh sebelum apa pun tentang dunia meringkuk di kepalaku sebagai segala sesuatu yang pernah kulihat dan kualami. Aku bahkan mengenalnya sejak ingatanku belum benar-benar bekerja.

Orang hanya berkata—jika mereka coba menyebut Mudakir bagi diriku, “Bahwa ayahmu itu lelaki sebatang kara.”

Tidak ada yang tidak tahu Mudakir bukan ayah kandungku. Di suatu tempat yang tak terjangkau tanganku (bahkan andai aku memiliki seluruh harta di dunia ini) ayahku kini berada. Aku sering berpikir ingin membangun mesin waktu untuk kembali ke masa lalu, saat bencana baru menghancurkan desa kami. Aku membayangkan berjalan di sudut pasar di masa itu; bagaimana orang-orang dulu hidup dan berbicara soal makanan atau hari atau musim atau ternak atau buku? Perjalanan yang ganjil dan menyenangkan itu, suatu ketika, mungkin, mempertemukanku dengan lelaki yang kerap menjadi ayah dalam kepalaku belaka. Mudakir selalu berkisah jika dia lelaki yang baik.

“Tak ada lelaki sebaik ayah kandungmu, tetapi biarkan aku merawatmu seperti kau anak kandungku sendiri,” begitu Mudakir, sang lelaki renta itu, pernah berkata.

Kisah Ali Sabidin salah satu yang paling menarik kalau ayah angkatku itu mulai menguak kenangan. Dia tidak pernah benar-benar dekat dengan Ali Sabidin, tapi sangat mengerti tabiatnya. Banyak lelaki desa yang bernafsu menghabisi lelaki bertubuh kekar itu, tetapi semua hanya sampai di niat. Tak ada yang benar-benar berani. Ketika bencana menghancurkan tubuh Ali Sabidin dari perut hingga ke bawah, ia tahu sebagian orang berpesta diam-diam dengan arak, bernyanyi dan berdansa dengan sesama yang saling memendam dendam, meski, tentu ada sebagian anggota keluarga mereka sendiri yang juga menjadi korban bencana tersebut.

Kematian Ali Sabidin menghentikan sakit hati para suami dan pacar atau lelaki yang menahan dendam, tetapi peristiwa itu juga membekukan jiwa desa untuk beberapa lama. Desa terasa kosong dan aneh. Mudakir, yang sejak awal tidak punya siapa-siapa, mampu menjaga kewarasan dan membantu warga yang kebingungan atau menjadi gila setelah bencana. Dia membantu si gadis yang kehilangan ibunya. Seorang gadis yang tak lagi ingin hidup dan mencoba menjemput maut dengan segala cara. Suatu hari, setelah bendungan itu dibangun dan desa kembali bergeliat, Mudakir melihat dari jauh; si perempuan muda bersiap lompat dari puncak bendungan, tetapi tiba-tiba pahlawan yang tak ditunggu datang menangkapnya.

“Jika Ali Sabidin tidak mati, tidak ada bendungan itu. Ah, bukan. Jika Ali Sabidin dan seluruh orang tidak mati oleh bencana, tidak ada bendungan itu. Jika bencana tidak pernah direncanakan Tuhan, tak ada bendungan dan juga tak akan terjadi sebuah kisah bunuh diri yang gagal oleh seorang gadis, yang akhirnya justru menemui cinta sejati,” kata Mudakir suatu hari.

Tidak ada ikatan tertentu antara aku dan bendungan serta Ali Sabidin, tapi bencana itu membuatku ‘ada’ dan itulah sejarahku.

Saat gedung-gedung tinggi memukauku jauh di seberang benua, orang-orang tidak bertanya tentang dari mana asal-muasalku, tapi aku menyimpan itu. Ayahku meninggal sebelum aku muncul di dunia. Ibuku meninggal karena perasaannya yang begitu besar kepada suaminya. Aku bertahan karena Mudakir. Aku tumbuh menjadi lelaki perkasa yang merawat ingatan dan sejarahku sendiri, dengan segala detailnya.

Aku akan dapat mengisahkan seorang bajingan yang menggoda wanita yang kelak melahirkanku, jika seorang teman bertanya: bagaimana dulu kamu bisa hadir di muka bumi? Aku dapat mengisahkan bendungan yang dibangun dan menjadi titik pertemuan ayah-ibuku, jika suatu hari anakku bertanya: bagaimana kakek dan nenekku bertemu?

Aku dapat membayangkan segala hal di luar mesin waktu dan kisah-kisah tersebut. Di suatu hari yang begitu sepi, aku bisa membayangkan tubuhku tak pernah ada. Suatu ketika, bencana itu tidak terjadi. Ali Sabidin tetap hidup dan tetap menggoda para gadis dan wanita di pasar. Mudakir tetap sebatang kara dan mengamati segala hal tanpa ada yang bisa dia kerjakan. Desa tetap terbelakang karena tak ada ratusan kamera wartawan, relawan, donatur, politikus dengan segala kepentingan mereka. Desa itu tetap memiliki bendungan kecil yang mungkin tidak bertahan lama dan hancur oleh waktu, lalu tak ada yang membangunnya lagi, mengubahnya menjadi bendungan yang besar. Gadis itu juga boleh jadi tetap menerima mimpi-mimpi buruk tangan Ali Sabidin yang penuh rajah berbagai macam binatang liar, yang membuatnya sulit tidur, lalu boleh jadi pada suatu ketika dia menjadi gila dan tak terpikir untuk bunuh diri dan akan tetap gila sampai akhir hayatnya dan dia mati dalam keadaan tua dan sendiri. Lelaki yang seharusnya menolongnya di bendungan besar, justru tak pernah ada, karena dia ke desa lain dan menikahi wanita yang tak pernah ada dalam hikayat yang Mudakir tuturkan, sehingga aku pun tak pernah ada. Aku tak ada. Aku tak ada di benua seberang untuk menatap gedung-gedung tinggi dan segala hal yang penuh kejutan dan aku tak ada di titik mana pun di semesta ini.

Hanya saja, aku ada. Sejarahku ada.

Bendungan itu, bencana itu, Ali Sabidin, gadis yang kehilangan ibunya, Mudakir; segalanya ada dan terjadi. Aku tak lupa, kecuali Tuhan sendiri menghendaki mencabut ingatanku agar suatu ketika aku tak dapat mengisahkan apa-apa jika seseorang merasa perlu mencari tahu dari mana atau bagaimana aku ada. [ ]

Gempol, 2019-2024

PENULIS

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, esai, puisi, dan skenario. Karya-karyanya terbit di pelbagai media tanah air sejak 2012. Buku yang ia tulis: Museum Anomali (2016), Babi-babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-hara (2018), Dosa di Hutan Terlarang (2018), Buku Panduan Mati (2022), dan Pengetahuan Baru Umat Manusia (2024). Bisa dijumpai di FB ‘Ken Hanggara’ atau IG @kenhanggara.

- Advertisement -spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img
Latest News

Puisi-puisi pendek Fathurahman Ramadhan

Kata Kata selalu tertinggalDari kebutuhan zamanBahkan kitaTak bisa menggambarkanLukaYang diberikan penguasa Yogya, 2025 Frasa Hingga kita mencoba trilyunan kombinasiKataMustahilMenemukanIstilah untukKegelapan ini Yogya, 2025 Klausa Pada sebagian...
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img