Jumat, Oktober 31, 2025
No menu items!

Ketika Seniman Teater Menjadi Guru Seni dan Budaya

Must Read

Pada tanggal 28 April 2018 saya menghadiri pembukaan pameran seni rupa pelajar bertajuk “Mozaik Hidup Kami” di halaman SMK Kristen 1 Surakarta. Pameran ini menampilkan puluhan karya gambar dua dimensi yang diciptakan sejumlah siswa SMK Kristen 1 Surakarta melalui teknik mozaik. Teknik tersebut adalah hasil pengajaran intrakurikuler mata pelajaran seni dan budaya yang diampu oleh seorang guru bernama Yustinus Popo, yang sehari-hari juga dikenal sebagai seniman teater.

Yang dimaksud teknik mozaik dalam pameran itu adalah cara penyusunan gambar dua dimensi melalui penyusunan ulang pecahan keramik maupun kaca menurut imajinasi masing-masing siswa. Bunga, binatang, tokoh nasional, tokoh kartun, ikon media sosial, salib adalah beberapa gambar yang muncul dalam pameran tersebut.

Saya sengaja datang setengah jam sebelum acara dimulai supaya dapat menikmati kesibukan peserta pameran dalam menyiapkan acara pembukaan. Saat saya datang, panggung kecil yang sederhana sudah berdiri. Meskipun begitu, beberapa siswa masih terlihat menyelesaikan display karya yang menggunakan konsep menggantungkan karya di teralis jendela ruangan kelas menghadap ke halaman sekolah. Beberapa guru dan siswa yang lain juga sibuk menyiapkan alat musik dan sound system untuk para pengisi acara pembukaan. Suasananya tampak tegang namun mengasyikkan. Mirip seperti suasana saat menit-menit terakhir pertunjukan teater akan digelar.

Acara pembukaaan diawali dengan beberapa pidato. Dimulai dari Kepala Sekolah kemudian  Yogi selaku wakil dari program “Kota-Kota Bersuara” dan terakhir Irul, perupa dari Solo selaku apresiator karya. Dalam pidatonya, Kepala Sekolah menyampaikan bagaimana kegiatan ini punya dampak pada semakin tumbuhnya aspek kepercayan diri para siswa di lingkungan sekolah. Sementara itu Yogi menyampaikan latar belakang dan tujuan program “Kota-Kota Bersuara” tentang kontribusi seni, khususnya teater, terhadap kehidupan bermasyarakat. Dan terakhir ditutup oleh Irul dengan pembacaan secara umum hasil karya gambar mozaik sekaligus penjelasan tentang sejarah perkembangan teknik mozaik dalam dunia seni rupa. Salah satu hal yang digarisbawahi olehnya adalah bahwa teknik mozaik itu sangat dekat dengan tradisi arsitektur gereja.

Acara kemudian dilanjutkan dengan rangkaian penampilan pertunjukan dari beberapa siswa. Ada pembacaan puisi, menyanyi dan pantomime. Tema-tema yang diangkat pada tiap pertunjukan umumnya adalah tema-tema yang dekat dengan kehidupan remaja. Beberapa lagu yang dinyanyikan, setahu saya adalah lagu-lagu yang sedang populer di kalangan remaja saat ini. Beberapa penampilan memperlihatkan bagaimana mereka menguasai teknik ketrampilan bermusik atau bernyanyi. Baik ketika memainkan alat musik maupun ketika mengolah suara. Bisa jadi ini karena para penampil adalah siswa sekolah Kristen yang lekat dengan tradisi bernyanyi dalam kultur keagamaan mereka.

Masing-masing pertunjukan berdiri sendiri tanpa ada pretensi untuk saling menghubungkannya dengan pertunjukan lain atau dengan karya-karya gambar yang dipajang di teralis jendela kelas. Saya sempat berpikir bagaimana cara menikmati semua benda budaya yang tergelar di hadapan saya saat itu. Apakah saya harus fokus pada pameran gambar-gambar saja? ataukah saya justru harus fokus pada pertunjukan saja? atau fokus kepada keduanya tanpa harus mencari hubungannya? atau bagaimana? Sembari menikmati pertunjukan dan mencari jawaban atas pertanyaan saya, saya baca lagi teks pengantar pameran yang sebelumnya dikirim Yustinus Popo melalui pesan Whatsapp  kepada saya. Begini bunyinya :

Hidup itu seperti serpihan-serpihan atau pecahan-pecahan konflik, kejadian, cerita yang menjadi peristiwa. Kita sering lupa serpihan dan pecahan itu akan menjadi serpihan belaka. Tapi kalau sedikit-sedikit kita terbuka untuk melihat serpihan itu dan berusaha untuk menyatukan, memaknai meski hanya sepenggal, dengan cipta, rasa dan karsa yang dianugerahkan dari jagad raya ini, serpihan itu akan menjadi mozaik hidup yang indah. Seperti kami yang sedang merangkai hidup ini. Dari pecahnya identitas diri, lalu lalang budaya yang remang-remang silih berganti membuat kami lupa untuk berdikari. Meski tidak utuh, kami tak mau kehilangan. Sebab setiap serpihan memiliki arti. Semoga.

Teks pengantar pameran ini kemudian memperluas cara saya melihat benda-benda budaya yang tergelar di hadapan saya, yang seolah-olah berdiri sendiri-sendiri itu. Saya kira Yustinus Popo tidak hanya sedang menggelar sebuah pameran gambar mozaik semata. Tapi justru sedang berhasrat membuat sebuah peristiwa teater di lingkungan masyarakatnya.

Bagi saya, serpihan-serpihan peristiwa seni yang dibingkai dalam satu ruang dan waktu yang sama akan memunculkan peristiwa teater tertentu. Sebuah peristiwa teater yang menyatakan kepribadian dan meneguhkan ikatan solidaritas warga lingkungan sekolah SMK 1 Kristen Surakarta. Melalui peristiwa teater itu, keakraban warga lingkungan SMK 1 Kristen Surakarta akan nilai-nilai yang berlaku di lingkungan itu terkonfirmasikan kembali.

Tanpa Ikhtiar dari Yustinus Popo, mungkin mata pelajaran seni dan budaya hanya akan diartikan secara sempit dan akan terasing dari lingkungannya. Melalui praktiknya, Yustinus Popo telah berupaya melakukan kontekstualisasi antara disiplin teater, mata pelajaran seni dan budaya dengan nilai-nilai lingkungan di sekolahnya.

Cuma, apakah praktik yang dilakukan Yustinus Popo juga bisa digunakan untuk mempertanyakan ulang nilai-nilai yang telah hidup lama di lingkunganan sekolahnya daripada sekadar mengkonfirmasinya? Atau bisakah praktik ini juga digunakan untuk menawarkan nilai-nilai baru di lingkungan sekolahnya? Tentu ini pertanyaan yang tidak gampang dijawab. Karena untuk menjawab pertanyaan ini seorang guru harus berhadapan dengan norma-norma beku yang sulit dicairkan di lingkungan pendidikan formal.

Sebagai penutup, saya akan cantumkan hasil refleksi seorang siswa peserta pameran bernama Yolanda,  sebagai tanda harapan akan masa depan dari praktik yang dilakukan Yustinus Popo.

Berikut petikannya :

Awalnya saya mengira bahwa membuat mozaik adalah pekerjaan seorang tukang batu, tetapi setelah saya melewati proses dan melihat hasilnya saya sadar bahwa mozaik ibarat hidup saya, yang harus saya susun menjadi sebuah arti yang bermakna. Tuhan menciptakan kita, kita adalah seni, seni timbul dari diri kita. Kita adalah karya dan gagasan Tuhan dan Tuhan menjadi sebuah seni yang akan terus lanjut dan berkembang dan menghasilkan suatu seni dan karya dengan gagasan yang baru lagi. ***

IRFANUDIEN GOZALI

Lahir dan tumbuh di kota Jogja. Mulai berteater pada tahun 2003 di Teater Gadjah Mada UGM. Sejak tahun 2010, pria ramah yang lahir pada 20 Juli 1982 ini mulai melibatkan diri dalam proyek – proyek pertunjukan di luar kampus sebagai aktor, fasilitator maupun pencari data. Selain itu juga mulai menyutradarai pertunjukannya sendiri. Beberapa pertunjukan yang pernah disutradarai antara lain :  Leng , Nggoleki Jimate Basiyo. Masihkah Ada Cinta di Kampus Biru. Bank Pasar Rakyat. Nyadran Kang Sejo Melihat Tuhan, Ziarah Ari – Ari, Gejolak Makam Keramat. Ia juga banyak terlibat dalam produksi pertunjukan bersama sejumlah komunitas, antara lain Teater Garasi, Teater Gardanalla, Forum Aktor Yogyakarta, Indonesia Dramatic Reading Festival, Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, dan Asian Dramaturgs Network. Fokus karya-karyanya banyak berangkat dari arsip sejarah di lingkungan spesifik.

- Advertisement -spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img
Latest News

Sejenak Berhenti dan Tanya tentang Apa yang Mesti Dilaku setelah Ini

1. Setelah makan, dan menggenapi beberapa urusan, kau berangkat ke tempat pertunjukan; dan kau sadari, cukup sering menonton pertunjukan atau...
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img