Salah Tampa (31/5) judul pertunjukan yang hadir di Taman Budaya Kulon Progo telah sampai dengan selamat – menjadi media alih wahana dari peristiwa lokal menuju panggung pertunjukan. Sampai dengan selamat menjadi kata yang tepat dalam pertunjukan malam itu, perihal estetika, keaktoran, dramaturgi atau tetek bengek lain tentang dunia pertunjukan bukan lagi hal penting. Namun media perubahan ruang lokalitas obrolan desa sudah hadir dengan ‘apik’ pada sebuah panggung.
Rombongan dari sutradara Tito Pangesthi Adji yang terdiri dari komunitas Perempuan Berkebaya lalu para alumni Art for Children Kulon Progo dari jenjang Sekolah Dasar hingga Mahasiswa, ditambah beberapa deretan nama aktor berpengalaman mengisi panggung melalui naskah bahasa Jawa: Salah Tampa yang ditulis oleh Nining Sunartiningsih.

Pertunjukan dimulai dengan hadirnya pengamen cilik yang menembus deretan penonton. Lagu yang dibawakan pengamen ini cukup nyleneh dan kritis – “mamak! aku ngelih.. wis rong dino durung ketemu sega.. oh sega..” Tentu saja, lirik itu langsung memecah tawa para penonton. Lalu pengamen itu bergabung melihat anak-anak yang sudah bersiap untuk latihan tari angguk. Tarian pun dihadirkan sebagai pembuka. Hingga adegan latihan terasa betul karena ada anak yang belum benar dalam menari dan bahkan telat datang latihan. Lucu, menggemaskan dan organik menjadi kesan saat menangkap dialog yang terjadi pada adegan tersebut. Bayangkan saja anak-anak kecil berceloteh dengan santai seperti yang terjadi di peristiwa sungguhan.
Masuklah pada peristiwa utama, sosok Mardi seorang petani yang gemar pasang togel dipaksa menanggapi keresahan istrinya Sumi yang jengkel karena tidak kebagian BLT. Lebih tepatnya jengkel karena, tetangganya Muji Kacuk yang notabene mampu/kaya malah mendapatkan bantuan. Guyonan khas bapak-bapak, cara julid seorang ibu-ibu dan juga keluguan seorang anak muncul dalam dialog rumah tangga. Bahkan, ketidakadilan distribusi bantuan itu ikut dibawa Sumi di obrolan ibu-ibu pengajian. Jelas saja, obrolan ini menjadi “rerasan” yang hot news untuk rombongan mereka.
Adegan kembali lagi di rumah Sumi dan Mardi, masih saja pembahasan yang sama tentang BLT ditambah bumbu-bumbu lain. Sang suami juga masih menanggapi perihal berita ini dengan cuek dan santai lalu mengalihkan pembicaraan ke kegiatan suami istri atau togel. Ada pula dialog yang terkesan satire namun malah menjadi hal lucu, seperti, “Lha KKM (Kartu Keluarga Miskin) ki ngo apa?” “Ya dingo mbuktekake nak miskin!” “Halah, miskin wae kok ndadak dibuktekake.”
Obrolan demi obrolan masih saja bersentuhan dengan bantuan dari pemerintah, lalu diselingi peristiwa khas warga dan juga nasib buruk lain – seperti pencurian burung, karang taruna, kesenian, tani dan peristiwa lain. Sampai pada obrolan yang menunjukan titik katarsis dalam pertunjukan. Bahwa kesalahan distribusi BLT hanyalah Salah Tampa atau salah pemahaman itu sendiri. Puncak dari rerasan yang dilakukan Sumi, diselesaikan oleh tokoh Darmo yang bijak dan memberikan penjelasan tentang kesalahpahaman. Penutupnya berupa tarian angguk sebagai simbol kebersamaan dan bukti bahwa masalah telah selesai.
Sederhana, tanpa ada puncak konflik yang berlebihan. Namun, penonton bisa menikmati setiap dialog yang disampaikan oleh aktor. Gelak tawa, tepuk tangan dan kesan lain tumpah dalam pementasan – hingga pasca pertunjukan. Walau secara estetika, pertunjukan terkesan hanya “sampai dengan selamat” untuk malam itu.

Kegamangan Sandiwara dalam Melihat Fenomena Kehidupan
Jika sepakat bahwa teater adalah wujud dari peristiwa sebagai alat komunikasi, maka peristiwa dalam teater tidak jauh berbeda dengan sebuah percakapan. Peristiwa teater akhirnya menjadi suatu cara untuk berinteraksi di luar dan di dalam, sebelum atau setelah pertunjukan terjadi. Maka dalam mengulas pertunjukan ‘Salah Tampa’ yang dipentaskan dalam rangkaian acara Pentas Apresiasi Teater Kulon Progo – bisa saja berpijak pada teori teater dramatik.
Pada pokok pembahasan teori teater dramatik oleh Aristoteles yang menyebutkan,
“.…semua itu (peristiwa teater) bersandar pada bermacam unsur; tidak diceritakan tapi yang dilakukan; melalui rasa kasihan dan takut – untuk mencapai sebuah katarsis dari emosi-emosi.”
Perihal paling esensial dalam teori itu tentang tragedi adalah ‘Katarsis’ atau penyucian jiwa. Tujuan ini seorang menjadi medium paling benar dan tepat untuk ada dalam pertunjukan. Kemunculan tragedi (dari tokoh utama) menjadi modal penting agar penonton mendapatkan dampak psikologis secara mendalam. Lalu untuk mencapai sebuah katarsis tersebut penonton akan digiring masuk ke dalam diri tokoh sehingga muncul sebuah empati. Sehingga, empati inilah yang akan menjadi hubungan emosional antara tokoh sehingga seolah penonton mengalami apa yang terjadi (dalam peristiwa pertunjukan).
Pokok esensial ini menjadi senjata mutakhir pada pertunjukan malam itu, dimana cerita yang dibawakan sangat dekat dengan ruang kerakyatan. Laku dan aksi tokoh tampak jelas disengaja untuk mencapai kedekatan dengan isu yang kerap terjadi. Hampir semua peristiwa yang menggambarkan kegelisahan tentang ketidakadilan, rasa iri dan budaya ‘ngerumpi’ secara gamblang dilakukan di atas panggung. Mulai dari latihan Karang Taruna, kegiatan ibu-ibu pengajian, maling burung, penjual geblek dan peristiwa lain.
Laku dalam peristiwa itu akan membuat penonton masuk ke dalam keseharian mereka yang bisa jadi sama dengan plot pertunjukan. Menerka lagi ingatan dan memori pada masing-masih tubuh penonton untuk mencapai sesuatu yang bernama kehidupan rakyat.

Namun, pencapain katarsis melalui emosional ini belum cukup kentara. Melihat pertunjukan ini tidak memiliki tokoh antagonis yang kuat. Sosok Muji Kacuk yang selalu menjadi pembahasan Sumi tentang keadilan hanya ada pada dialog saja – tidak menjadi tokoh. Atau bisa dikatakan meniadakan antagonis. Sehingga penonton tidak memiliki kesadaran utuh untuk tidak melawan hukum yang telah ditetapkan, atau pola berpikir masyarakat yang ada – jadilah suatu ketidakberdayaan untuk mencapai ujung dari konflik.
Seakan permasalahan selesai begitu saja saat tokoh Darmo meluruskan kesalahpahaman Sumi menggunakan kata-kata mutiara. Seperti melihat selesainya perang ninja di Konoha, saat melawan Akatsuki – hanya dengan konsolidasi yang dilakukan Naruto dengan Nagato. Sehingga perjuangan untuk membangun plot cerita terasa tidak mencapai puncak. Tidak ada konflik yang besar, tidak ada goyangan emosional yang dalam – semua selesai begitu saja.
Kegamangan tersebut yang akhirnya muncul dalam sandiwara ini – akan digiring kemana keresahan yang sudah ditampilkan. Apakah usaha untuk melibatkan emosi dan kedekatan penonton sudah mencapai katarsis yang dituju? Layaknya melakonkan sebuah peristiwa, pengkarya tidak hanya bertanggung jawab terhadap pertunjukan, tapi juga nyawa dari kehidupan supaya sampai pada makna dan kegelisahan atas apa yang telah terjadi.
Kehadiran Pada Ruang Pertunjukan
Akhirnya dari semua kalimat dakik-dakik diatas, ucapan selamat layaknya tersampaikan untuk pertunjukan malam itu. Tentu saja, kegiatan seperti ini seharusnya dilakukan lebih giat oleh para seniman pertunjukan di Kulon Progo. Serta, kehadiran Dinas yang memberikan fasilitas ruang pertunjukan juga menjadi peran penting. Setiap kehadiran yang muncul pada ruang pertunjukan malam itu tentu sangat berarti, dan mampu membangun praktik seni menjadi laboratorium seniman atau sosial yang tak pernah usai untuk berkembang.
Setelah pertunjukan ini berakhir pun, diharapkan tetap masih banyak lagi pertanyaan tentang estetika atau teori perihal peristiwa pertunjukan/teater. Lalu, muncul lagi kehadiran-kehadiran baru pada ruang pertunjukan – khususnya di Kulon Progo.
Latif Prakoso, 2025
Profil Penulis:

Latif Prakoso, lahir Selasa Wage di Kulon Progo. Sebagai lulusan Psikologi, membuat pendekatan proses kreatif mengarah pada perilaku manusia dan isu kesehatan mental yang terjadi di masyarakat. Keterarikan dengan dunia seni pertunjukan, sinematografi, penulisan naskah dan pengalaman pengelolaan event. Sudah aktif dalam dunia kreatif dari tahun 2011 hingga sekarang, dan fokus membangun kesenian di Kulon Progo.