Senin, Juni 9, 2025
No menu items!

Konon Agama Bisa Menyelesaikan Apapun

Must Read

Konon, agama bisa menyelesaikan apapun. Kalimat itu kerap terdengar dari mimbar, dalam doa ibu-ibu sore hari, bahkan di bisikan batin orang-orang yang hidup dalam kegelisahan. Sebuah keyakinan yang diwariskan turun-temurun, seolah agama adalah obat mujarab untuk segala luka, penawar bagi segala derita, dan jawaban dari segala pertanyaan. Namun, di zaman ini, keyakinan itu tak jarang tampak seperti ironi.

Kita hidup di tengah masyarakat yang beragama, tapi kehilangan rasa. Yang rajin beribadah, tapi miskin empati. Yang fasih melantunkan ayat, tapi gagap dalam berdialog. Lebih banyak komentar daripada baca, Bukankah ini menjadi pertanda bahwa agama telah berubah wujud dari jalan pencarian makna menjadi alat pelampiasan hasrat kuasa? 

Mantra warisan Nenek moyang yang penuh harap dan keyakinan. Sebuah simpulan yang lahir dari zaman ketika segala kekusutan hidup dijahit kembali dengan doa, tasbih, atau sekadar air putih yang ditiup ayat. Namun, di tengah dunia yang hari ini penuh retak, justru pernyataan itu terasa paradoksal. Mengapa banyak yang beragama, tapi sedikit yang damai? Mengapa banyak yang hafal kitab, tapi gagal memahami manusia?

Agama, dalam sejarahnya, memang pernah menjadi solusi. Ia memerdekakan, menenangkan, dan menata arah hidup manusia dari kekacauan. Tapi kini, kita berada dalam zaman yang terlalu sibuk membela nama Tuhan, namun lupa menghadirkan sifat-Nya kasih, sabar, pengampun. Di layar Handphone, di kolom komentar media sosial, hingga di grup WhatsApp perumahan, agama sering hadir bukan sebagai jembatan, tapi jurang bukan sebagai obor, melainkan sekam api.

Tentu ini bukan kesalahan agama. Ini adalah tentang bagaimana manusia menafsirkan dan menggunakannya. Agama dijadikan identitas politik, dagangan elektoral, bahkan senjata moral untuk mengadili orang lain. Padahal jika kita kembali ke filsafat keberagamaan, agama adalah laku, bukan label proses, bukan produk. Ia adalah jalan panjang menuju pengenalan akan diri, sesama, dan Sang Ada.

Anak Hilang di Luar Angkasa
Karya Andy SW

Agama bukan sekadar sistem kepercayaan, melainkan laku eksistensial. Kierkegaard menyebut iman sebagai lompatan ke dalam absurditas, sebuah komitmen yang lahir bukan karena bukti, tetapi karena kebutuhan terdalam manusia untuk percaya di tengah keraguan. Sementara Al-Ghazali, setelah melalui jalan panjang skeptisisme, menemukan bahwa hanya pengalaman batin yang tuluslah yang mampu membawa ketenangan. Maka, agama tidak hadir untuk memadamkan pertanyaan, tapi justru memperdalamnya.

Dalam konteks Indonesia hari ini, agama kerap tampil seperti drama yang buruk. Bukan karena naskahnya salah, tetapi karena para aktornya salah baca peran. Mereka menghafal teks suci, tapi lupa subteksnya. Mereka lantang menyuarakan kebenaran, tapi tak mampu menghadirkan kebijaksanaan.

Di sinilah teater menjadi kaca pembesar atas absurditas ini. Teater, sebagaimana dikatakan Antonin Artaud, adalah “pembakaran rumah palsu” ingat bukan studio rumah palsu punya kang Are (pelaku teater dan perupa Tasikmalaya) ya. Ia hadir untuk mengguncang kenyamanan palsu, merobek kemunafikan sosial, dan memaksa kita menatap wajah sejati kita. Dalam teater, tubuh aktor tidak pernah bisa berbohong. Setiap gerak, setiap diam, adalah pertanggungjawaban penuh terhadap kehadiran.

Agama, seharusnya, demikian juga. Ia tidak selesai dalam lisan, tapi diwujudkan dalam tubuh yang hidup,  tubuh yang berderma, tubuh yang mendengar, tubuh yang menahan diri. Ketika agama hanya menjadi bacaan tanpa tubuh, ia kehilangan daya. Maka laku keberagamaan sesungguhnya adalah akting dalam makna tertinggi, bukan pura-pura, tapi pengejawantahan nilai dalam realitas.

Agama sebagai Keheningan yang Berjalan. Dalam diskusi-diskusi bersama Ab Asmarandana (Sutradara Teater), ia sering berkata, Agama yang sesungguhnya itu berjalan tanpa suara. Ia bukan panji-panji, tapi embusan nafas yang tidak merasa lebih suci dari yang lain.

Bagi Ab Asmarandana, agama yang dirayakan dengan terlalu banyak jargon sering kali kehilangan maknanya. Ia lebih mempercayai laku sunyi,  seorang anak yang merawat ibunya dengan sabar, seorang guru yang tetap mengajar meski gajinya sedikit tertunda lagi, atau seorang aktor yg membaca naskah bukan untuk tampil, tapi untuk mengerti. Agama bukan tontonan, katanya suatu malam, melainkan ketulusan yang tak peduli dilihat atau tidak.

Dalam karyanya yang absurd dan kerap dipenuhi paradoks, seperti dalam pertunjukan “Tak Ada Hari Senin dalam Tubuh Aktor” Ab menyuguhkan tokoh-tokoh yang bergumul dengan kegelisahan spiritual di tengah kebisingan zaman. Ia menyindir bagaimana manusia hari ini menjadikan Tuhan sebagai slogan, tapi takut betul untuk menengok ke dalam dirinya sendiri.

Jika teater mengajarkan kejujuran tubuh dan filsafat mengajarkan keberanian berpikir, maka agama seharusnya menjadi ruang perjumpaan keduanya. Ruang di mana kita bisa gelisah tanpa dihakimi, dan bertanya tanpa dimusuhi.

Maka, jika hari ini ada yang masih percaya bahwa agama bisa menyelesaikan apapun, barangkali yang dimaksud bukan agama yang gaduh di bibir, tapi yang senyap di laku. Agama yang tidak terburu-buru menghakimi, tapi sabar menemani. Agama yang tidak menjanjikan surga, tapi menghadirkan makna hidup, di atas panggung, di lorong rumah sakit, di kelas-kelas sepi, dan di tubuh manusia yang terus belajar menunduk.

Karena sesungguhnya, agama yang menyelesaikan apapun adalah agama yang sanggup menyelesaikan dirinya sendiri.

Dan bila esok kita menyaksikan manusia yang mendekatkan diri pada Tuhan, tapi menjauh dari sesama. Beribadah tapi enggan mendengar. Mengutip ayat tapi menolak berdialog. Padahal sejatinya, kebenaran tidak membutuhkan teriakan, dan Tuhan tak butuh pembela, melainkan pelaku cinta.

Maka maka maka  (3 kali) jika ada yang masih berkata konon agama bisa menyelesaikan apapun, barangkali kita perlu menjawab ….yessss ya, tapi hanya jika agama dijalani dengan keberanian untuk mempertanyakan, kesediaan untuk mendengarkan, dan kerendahan hati untuk berubah…

Penulis

Budi Darma M.Sn atau lebih dikenal dengan nama panggung Ab Asmarandana lahir di Polewali Mandar, Sulawesi barat 18 Desember 1973. Seorang Seniman Teater yang saat ini tinggal di Tasikmalaya, Jawa Barat. Bekerja sebagai Dosen di Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya. Beliau pendiri sekaligus pengelola Yayasan Lanjong Indonesia (2007-sekarang) di Kutai Kartanegara Kalimantan Timur dan Yayasan Ngaos Art (2019-sekarang).

Artikulli paraprak
Artikulli tjetër
- Advertisement -spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img
Latest News

Puisi-puisi pendek Fathurahman Ramadhan

Kata Kata selalu tertinggalDari kebutuhan zamanBahkan kitaTak bisa menggambarkanLukaYang diberikan penguasa Yogya, 2025 Frasa Hingga kita mencoba trilyunan kombinasiKataMustahilMenemukanIstilah untukKegelapan ini Yogya, 2025 Klausa Pada sebagian...
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img