Berbicara tentang aktivitas seni di Kota Kupang, kita akan melihat kenyataan ruang-ruang yang sepi dan seolah malas didekati oleh penduduk kota. Mengapa? Mungkin ini jawaban yang sinis, tapi saya yakin itu karena perhatian kota ini lebih tersita oleh geliat ekonomi urbannya, oleh pusat perbelanjaan baru yang terus dibangun, dan bagaimana menjadi tetap bahagia di dalam kemilau janji dan mimpi-mimpi itu. Memang masalah air, listrik, dan human trafficking yang sebenarnya sudah berada di tahap darurat kerap jadi topik utama, terlebih bila kota ini dilihat dari luar.
Semua orang juga sepertinya tahu bahwa korupsi di pemerintahan sudah mengurat-akar, sedang carut marut nepotisme makin menjalar, suatu hal yang tetap dipelihara demi kelancaran rezeki untuk membangun masa depan pribadi atau golongan. Singkatnya, masyarakat kota ini sebenarnya sudah capek mengurusi masalah-masalah praktis dan mendasar (perut dan di bawah perut). Mereka butuh istirahat, butuh tidur setelah seharian lelah membongkar laci-laci kenafkahan yang isinya belum tentu memuaskan.
Apa perlu kita membangunkan orang yang tertidur karena lelah bekerja, hanya untuk berbagi sesuatu yang bagi kita, atau mungkin saja niscaya, adalah sebuah nutrisi bagi jiwa?
Pada bulan Mei 2018, di Kota Kupang diselenggarakan festival yang bertajuk Tia Tasi Fest (TTF). Acara ini diselenggarakan dengan dukungan beberapa pihak, antara lain Colo Teme Art Movement. Acara berlangsung sejak 3 Mei sampai beberapa hari berikutnya di pelataran OCD Café Beach Lasiana, Kupang.
Menurut Ragil Sukriwul, penggagas kegiatan ini, TTF adalah sebuah bentuk penyadaran kepada penduduk Kota Kupang betapa pantai dan lautan merupakan bagian penting dari kota ini. “Nama Tia Tasi berasal dari bahasa Rote, yang berarti sahabat laut,” jelas Ragil, yang juga merupakan salah satu sastrawan yang aktif dengan kegiatan-kegiatan sastra di Kota Kupang maupun tempat lain di Nusa Tenggara Timur.
Dari uraian-uraian yang disampaikan Ragil, dapat terbaca kalau TTF dihadirkan agar penduduk Kota Kupang dapat menemukan ruang di mana hubungan antara mereka dengan laut dan pantai dapat menjadi sedikit lebih mesra dan banyak pemahaman-pemahaman baru yang akan lahir menuju ke keselarasan hidup antara sebuah masyarakat dan lingkungan tempatnya tinggal. Bagaimana sambutan dari masyarakat Kota Kupang sendiri? Masih sama seperti acara seni lainnya: sepi.
Hal yang patut disyukuri adalah bahwa denyut semangat kegiatan seni di kota ini masih dijaga oleh mereka-mereka yang peduli. Sebagian besar pengunjung yang datang adalah mereka yang sudah berada dalam medan jaringan. Jaringan ini bisa saja non-formal; karena sering ketemu di pameran seni, diskusi, konser musik, pemutaran film, pentas seni, dan perhelatan sastra (yang memang jarang di adakan di kota ini), ataupun jaringan formal dan cukup teratur, seperti membentuk grup dalam aplikasi media komunikasi telepon pintar yang keriuhan lalu lintas pertukaran informasinya jauh lebih padat daripada cara komunikasi langsung.
Saya ikut serta dalam bentuk-bentuk komunikasi seperti ini. Formal dan tak formal. Sejauh yang saya amati, kekuatan jaringan ini cukup kuat. Mungkin jumlah pegiat seni di kota ini dalam presentase terbilang kecil, akan tetapi semangat dan niat mereka yang tak kunjung padam menjadi harapan bahwa benih-benih seni masih diperbolehkan tumbuh. Ada tangan-tangan baik yang meski sedikit dan serba terbatas, mau untuk menjaganya.
Saya dan beberapa teman yang sering baku dapa (Melayu Kupang :ketemu) di acara seni datang ke acara TTF. Saya bertemu Felix Nesi, penulis muda (pemenang utama sayembara novel DKJ) yang datang ke sana dengan lapak bukunya Toko Buku Fanu. Selain Felix ada juga beberapa teman musisi, dan juga teman-teman pelukis. Dalam obrolan, beberapa teman mengeluhkan tempat pelaksanaan acara di Lasiana yang bagi orang Kota Kupang masih merupakan daerah “sedikit” luar kota.
Pendapat ini dijawab dengan setengah bercanda oleh teman yang lain, “Kalau memang dasarnya ada niat mau nonton ya pasti akan datang sekalipun acaranya dibuat di Soe (Kabupaten di Pulau Timor yang berjarak 109,5Km dari Kupang), tapi kalau memang malas mau acaranya dibuat di depan rumah juga pasti sonde bakal datang”. Kami semua tertawa, tapi dengan perasaan ada sesuatu yang mengganjal.
Dalam kunjungan ke TTF itu saya menonton sebuah pertunjukan teater berjudul Yang Terkikis, Yang Terhempas yang dibawakan oleh Komunitas Kahe Maumere di pelataran OCD Beach Cafe, pada Sabtu malam (5/4/2018). Komunitas Kahe memiliki stan sendiri di dalam TTF, dan berdekatan dengan sebuah stan lain yang cukup menjadi daya tarik yaitu stan pameran fotografi “Indonesia On Stage” dari Komunitas Colo Teme Arts Movement.
Saya sempat juga mengikuti “Diskusi Kebhinekaan Melalui Foto” yang diadakan sebagai bagian dari pameran fotografi ini. Selebihnya, di stan Komunitas Kahe juga terdapat pameran fotografi tentang peristiwa gempa dan tsunami di Maumere pada 12 Desember 1992 lampau.
Selain pameran foto, teater, pegelaran musik, diskusi dengan tema-tema kelautan (yang berlangsung lebih ramai dan hangat justru setelah waktu formal diskusinya usai), saya juga menyaksikan pentas dari Bengkel Mime yang merupakan bagian dari rangkaian acara di TTF ini. Bengkel Mime tampil pada 5 Mei di OCD Café. Ini merupakan salah satu dari beberapa kunjungan Bengkel Mime dalam tajuk kegiatan mereka “Bengkel Mime ke Timur”.
Secara umum, TTF memberikan banyak pilihan acara. Kunjungan seniman-seniman dari luar Kupang pun merupakan kesempatan baik untuk bisa saling bertukar pendapat dan berbagi pengalaman.
Malam itu saya kedinginan dalam perjalanan pulang kembali ke Kota Kupang, maklum, saya hanya naik motor. Padahal sebelumnya saya cukup berkeringat karena ikut berjingkrak-jingkrak saat Felix menyumbang lagu di atas panggung. Memasuki daerah yang disebut pusat kota, suasana sudah sepi. Beberapa lampu bangunan menyala terang. Suara orang tertawa dan ngobrol. Rileks dan tenang. Kelas menengah atas sedang menikmati ujung hari, setelah lelah bekerja, mereka memenuhi tempat-tempat nongkrong yang dibangun seperti yang ada di kota-kota di Jawa.
Kaum akar rumput Kupang mungkin sedang berusaha tertidur dengan perut yang lapar, dan pikiran tentang nasib esok yang tak jelas. Saya makin merasa tidak berhak mengganggu orang-orang yang sedang beristirahat ini dengan hal-hal yang mungkin akan jadi kerut di kening mereka. Jadi dengan lirih saya hanya mengucapkan selamat malam, dan selamat beristirahat.***
PENULIS

ARMANDO SORIANO, bekerja sebagai guru Sekolah Dasar dan Tukang Gambar, di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Sejak 2015 bergabung dengan Komunitas Perupa Kapur Sirih. Ia aktif dalam kegiatan-kegiatan pendidikan berbasis relawan yang sering diadakan oleh lembaga dan organisasi yang ada di Kota Kupang. Ia juga kerap mengerjakan karya nukilan bersama kelompok-kelompok seperti Komunitas Leko dan Timor Art Grafiti (TAG).