Kamis, April 24, 2025
No menu items!

Masjid Ramah Anak Cermin Kesalehan Masyarakat

Must Read

Bulan Ramadan adalah waktu bagi umat Islam meningkatkan ibadah, beberapa diantaranya dilakukan dalam masjid. Aktivitas seperti salat berjemaah, tarawih, i’tikaf, dan membaca Al-Qur’an. Tapi, di tengah upaya memakmurkan masjid, muncul perbedaan pandangan mengenai kehadiran anak-anak di masjid. Unit paling kecil dalam struktur keluarga tersebut memiliki perilaku unik sesuai dengan tahap perkembangannya. Cenderung egosentris. Berada dalam tahap pre operasional dengan karakteristik intuitif dan tidak memahami konservasi, seperti yang dijelaskan dalam teori perkembangan kognitif Piaget untuk anak usia 2-7 tahun. Maka wajar jika anak sulit diberitahu, maunya sendiri, belum memahami aturan.

Beberapa pandangan mengangap kehadiran anak-anak di masjid merupakan bagian dari keberlanjutan syiar Islam dan membangun kebiasaan ibadah sejak dini. Tapi sebagai Jemaah yang ingin khusu beribadah tentu merasa terganggu oleh suara dan gerakan anak-anak yang ditimbulkan oleh anak-anak. Seperti menangis, berlari, tertawa, bercanda, bahkan usil pada Jemaah lain. Tentu hal itu menimbukan gape dan menarik jika dilihat dari perspektif psikologi sosial, altruisme, dan kesalehan masyarakat.

Masjid dalam Perspektif Psikologi Sosial

Psikologi sosial mempelajari bagaimana individu dipengaruhi oleh lingkungan sosial mereka. Masjid, sebagai pusat ibadah dan interaksi social, mempunyai peran besar dalam membentuk perilaku dan norma masyarakat. Masjid yang ramah anak dapat menciptakan lingkungan inklusif yang memungkinkan anak-anak belajar nilai-nilai Islam sejak dini.

Menurut Albert Bandura dalam teori pembelajaran sosial, anak-anak meniru perilaku yang mereka lihat dari sekitarnya. Jika mereka sering melihat orang dewasa beribadah dengan khusyuk dan penuh kasih sayang, nilai-nilai tersebut cenderung terinternalisasikan dalam diri mereka. Tapi, jika mereka diusir atau ditegur keras saat berada di masjid, perasaan negative terhadap masjid bisa saja berkembang. Membuatnya jadi malas dan tidak menyukai masjid.

Dalam perspektif psikologi sosial, penting bagi masyarakat untuk membangun norma yang lebih inklusif terhadap anak-anak di masjid. Sebuah hadist dalam riwayat Bukhari dan Muslim menceritakan Rasulullah SAW sendiri memberikan contoh bagaimana beliau membiarkan cucunya, Hasan dan Husain, bermain di masjid saat beliau sedang beribadah. Bahkan, Rasulullah SAW memperpendek salatnya ketika mendengar tangisan bayi agar sang ibu tidak merasa gelisah.

Altruisme dan Masjid Ramah Anak

Altruisme adalah tindakan tanpa pamrih yang dilakukan demi kepentingan orang lain. Dalam konteks masjid ramah anak, sikap ini tercermin dalam kesabaran dan toleransi jamaah terhadap kehadiran anak-anak. Sikap ini tidak hanya mencerminkan kebaikan individu, tetapi juga berkontribusi pada keharmonisan sosial dalam komunitas Muslim.

Altruisme sejalan dengan ajaran Islam, yang menekankan sikap saling menolong dan memahami. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Hujurat ayat 10, “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, maka damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” Sikap ini tidak hanya mencerminkan kebaikan hati, tetapi juga membantu mewujudkan lingkungan ibadah yang lebih harmonis.

Dari sudut pandang psikologi sosial, orang yang berperilaku altruistik cenderung meningkatkan kebahagiaan dan kesejahteraan emosional diri sendiri (Self Happiness). Membantu menciptakan suasana masjid yang nyaman bagi anak-anak dan orang tua bukan hanya menguntungkan anak-anak atau orang tua sebagai objek, tetapi juga memberikan perasaan kepuasan bagi individu tersebut sebagai subjek.

Kesalehan Masyarakat dan Pendidikan Islam Sejak Dini

Kesalehan masyarakat dapat diukur dari bagaimana mereka memperlakukan sesama Muslim, termasuk anak-anak yang ingin belajar mencintai masjid sejak dini. Masjid bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga pusat pendidikan Islam yang membentuk karakter Muslim masa depan.

Tercatat dalam banyak hadis, Rasulullah SAW menekankan pentingnya mengajarkan Islam kepada anak-anak sejak dini. Misalnya dalam Hadis Riwayat Abu Daud mengatakan “Perintahkan anak-anakmu untuk salat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka (dengan pukulan yang tidak menyakitkan) jika mereka tidak melakukannya ketika mereka berusia sepuluh tahun.”. Hadis ini menyiratkan proses pendidikan agama harus dimulai sejak dini, dan masjid sebagai pusat ibadah memiliki peran dalam hal ini.

Sayangnya, masih banyak masjid yang kurang ramah terhadap anak-anak. Beberapa masjid memberlakukan larangan tidak tertulis bagi anak-anak untuk hadir dalam ibadah, dengan alasan dapat mengganggu kekhusyukan jamaah lain.

Implementasi Masjid Ramah Anak di Bulan Ramadan

Bulan Ramadan menjadi momentum terbaik untuk menerapkan konsep masjid ramah anak. Beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) dalam mewujudkan lingkungan yang lebih inklusif bagi anak-anak meliputi:

  1. Menyediakan Area Khusus Anak Beberapa masjid seperti Masjid Jogokariyan di Yogyakarta dan Masjid Al-Lathiif di Bandung telah menyediakan ruang khusus bagi anak-anak untuk bermain dan belajar. Hal ini membantu menjaga ketenangan jamaah dewasa sekaligus memberikan ruang bagi anak-anak untuk belajar dan bersosialisasi.
  2. Mengadakan Program Edukatif Ramadan Program seperti kelas membaca Al-Qur’an, storytelling Islami, dan kegiatan kreatif lainnya dapat menarik minat anak-anak untuk datang ke masjid tanpa mengganggu ibadah utama.
  3. Membangun Kesadaran Jamaah Edukasi bagi jamaah mengenai pentingnya toleransi dan kesabaran terhadap anak-anak perlu ditingkatkan. Papan pengumuman atau ceramah singkat dari imam bisa menjadi media efektif untuk mengajak jamaah lebih terbuka terhadap konsep masjid ramah anak.
  4. Menata Shaf dengan Bijak Beberapa masjid telah menerapkan sistem pemisahan shaf bagi anak-anak agar tidak mengganggu jamaah dewasa. Contohnya, anak-anak ditempatkan di bagian belakang atau di area khusus agar mereka tetap bisa beribadah tanpa merasa tertekan.

Masjid ramah anak bukan hanya sebuah konsep, tetapi sebuah kebutuhan dalam membangun generasi Muslim yang mencintai masjid sejak dini. Dalam perspektif psikologi sosial, penerimaan anak-anak di masjid dapat membentuk kebiasaan positif dan meningkatkan keterlibatan mereka dalam komunitas Muslim. Memastikan anak-anak merasa diterima di masjid merupakan bagian dari investasi jangka panjang dalam pendidikan Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari). Masjid yang ramah anak adalah salah satu cara terbaik untuk mewujudkan ajaran ini dalam kehidupan nyata.***

PENULIS

Rika Rostika Johara, Mengenyam pendidikan psikologi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pegiat seni teater, aktif g Ngaos Art Foundation, dan jurnalis di Kabar Priangan, sekarang tinggal di Tasikmalaya

- Advertisement -spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img
Latest News

Andai Aku Jadi Maghrib 

Adzan maghrib berkumandang. Sebuah penanda yang dinantikan. Semua orang yang berpuasa seolah terprogram untuk menunggu detik-detik  itu. Piring sudah...
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img