Kamis, April 24, 2025
No menu items!

Catatan Pertunjukan, Sang Penggali Timah

Must Read

Malam itu jumat (21/02) setelah seharian Solo diguyur hujan, bermodal selembar undangan bertuliskan Sraddha Sala pemberian seorang kawan, saya berkesempatan untuk menonton pertunjukan drama bertajuk Sastra Panggung berjudul “Sang Penggali Timah” adaptasi bebas naskah drama “Sang Penggali Intan dan Sang Penggali Kapur” karya Kirdjomulyo (1950) diadaptasi bebas oleh Hanindawan dan dieksekusi oleh kelompok Mas Don Art.

Pertunjukan ini disutradari oleh Hanindawan beserta Dramaturg Sardono W. Kusumo dengan deretan pemain: Hanindawan, Darsono B. Djarot, Galuh Sari, Sinta Dewi, dan Galih. Beserta musik yang digarap oleh Otto Sidharta. Nama-nama seniman senior dan memiliki banyak rekam jejak dalam kesenian mewarnai pementasan ini.

Foto Adrian

Panggung disusun menyerupai sebuah tambang lengkap dengan hamparan pasir, lubang bekas galian tambang, karung-karung pasir, cangkul, sekop, reruntuhan tembok, scaffolding, dan tempat duduk menyerupai ayunan besar. Memberi kesan awal bahwa panggung dibentuk selayaknya sebuah tambang kecil yang berada di tengah penonton.

Adegan pertama dimulai dengan masuknya seorang anak muda menggali pasir, seakan memberi pesan awal tentang kata “penggali”, disusul adegan seorang wanita memakai kain menutupi kepala menggali pasir dan menemukan kerangka manusia—menyeretnya ke tengah panggung dan menguburnya kembali. Di bawah scaffolding terdapat dua orang yang sedang merias diri. Saya belum menangkap sesuatu tentang dua orang tersebut, baru menjelang akhir babak rasa penasaran saya itu baru terjawab.

Kemunculan tokoh bernama Sanyoto yang diperankan langsung oleh Hanindawan seketika bermonolog tentang masa lalu dan impiannya. Sebagai seorang penggali tambang harapan menemukan intan adalah serupa harapan tentang hidup yang layak. Sanyoto mengenang sahabatnya Sakir sesama rekan penggali yang tergambarkan bahwa adegan ini alur waktu saat ini. Adegan kemudian bergeser pada alur masa lalu di mana sosok Sakir yang diperankan oleh Darsono B. Djarot muncul di samping panggung sedang berlatih silat, mengasah jurus baru sembari memukul pasir sebagai samsak latihan.

foto Adrian

Sakir sebagai penggali yang memiliki kemampuan bela diri bercerita tentang perasaannya kepada Sanyoto. Ia jatuh hati kepada Mirat. Gadis pujaan hatinya yang juga sesama penghuni tambang kini telah berpaling pada laki-laki lain bernama Muklis. Sakir merasa kecewa pada perubahan Mirat setelah mengenal Muklis. Baju rapi dan gemerlap tidak seperti Mirat yang ia kenal dulu. Dalam perbincangan tersebut Mirat muncul ke dalam panggung dan hendak pergi melewati tambang. Sanyoto beralasan ingin pergi mandi. Hanya tinggal Mirat dan Sakir yang berada di atas panggung. Seketika seluruh kekhawatiran Sakir tumpah di hadapan wanita pujaannya itu. Konflik cinta segitiga mewarnai adegan yang sedang terjadi sampai akhirnya Mirat pergi dan diikuti Sakir hingga panggung kembali kosong.

Panggung kosong. Lampu meredup dan kemudian menjadi fokus. Muncul seorang narator berjubah putih memasuki panggung. Narator tersebut diperankan oleh Sardono W. Kusumo, bercerita tentang sejarah pulau Bangka sebagai pulau yang kaya akan hasil tambang berupa kapur. Penemuan timah membuat Bangka kemudian dijajah oleh berbagai bangsa dari penjuru dunia. Penjajahan besar-besaran membuat pulau Bangka kehilangan masa kejayaannya. Sang narator juga bercerita tentang dampak buruk tambang yang mulai mencemari lingkungan. Zat-zat berbahaya yang masuk ke dalam tubuh manusia. Narator bercerita tentang kemungkinan akan adanya kelainan genetik akibat terpapar zat-zat tersebut. Perlahan narator mundur meninggalkan panggung. Sebuah sorot headlamp muncul bersama Mirat dan Sakir memasuki panggung kembali.

Konflik mereda saat Sakir akhirnya menyatakan kecemburuannya kepada Mirat. Mirat yang sedari tadi keras mengahadapi kini luruh. Tetapi tidak berlangsung lama Sakir melontarkan tantangan berduel dengan Muklis sebagai bentuk tekad cintanya.

Hal menarik dalam pertunjukan Sang Penggali Timah ini adalah perubahan alur antara waktu sekarang dan yang sudah lalu. Tokoh Sanyoto pada pertengahan cerita kembali berdiri sendiri di atas panggung menceritakan peristiwa setelah terjadinya duel antara Sakir dan Muklis. Sakir diduga tenggelam di bekas galian tambang tetapi Sanyoto menyangkal kabar tersebut.

Narator kembali muncul di atas panggung menceritakan tentang kerusakan ekologi akibat tambang, cerita-cerita tentang sejarah kolonial, dan memberi pengetahuan lain yang masih berkaitan dengan pertunjukan “Sang Penggali Timah”.

Di akhir cerita muncul dua orang yang sejak awal merias diri di bawah scaffolding. Dua orang tersebut adalah Mirat dan Muklis di masa depan. Di sini alur berpindah ke waktu yang akan datang. Sanyoto berdiri di atas panggung menceritakan perjalanannya tragedi kematian Sakir. Mirat yang tiba-tiba menghilang dan Muklis yang dikabarkan terjerat kasus korupsi dilontarkan dari bibir Sanyoto.

Mirat di masa depan diperagakan memakai gaun merah menyala, berjalan mengelilingi panggung membawa properti bunga matahari sebesar manusia dan menancapkannya di atas gundukan pasir kemudian duduk di sebuah tempat menyerupai ayunan besar. Muklis diperagakan sedang bersandar di bawahscaffolding memakai rompi orange bertuliskan tahanan KPK. Narator kembali muncul di seberang panggung berhadapan jauh dengan tokoh Mirat dan Muklis masa depan. Pertunjukan berakhir dan tepuk tangan riuh memenuhi seisi panggung. Para pemain dan kru pertunjukan dipanggil sebagai sesi penghormatan kepada penonton. Sardono W. Kusumo sebagai dramaturg sekaligus narator menceritakan kepada penonton latar belakang penggarapan naskah “Sang Penggali Timah”. Alasan lahirnya proses tersebut adalah pertemuannya dengan dua orang anak muda yang berasal dari tanah Bangka. Dua orang tersebut menawarkan untuk menggarap sebuah cerita yang bisa menceritakan tentang situasi Bangka, maka lahirlah pertunjukan “Sang Penggali Timah” ini. 

Menggali Makna “Sang Penggali Timah”

Sepanjang pertunjukan cerita tentang dua sahabat bernama Sanyoto dan Sakir mewarnai jalanan cerita. Pencarian intan dan timah diceritakan dengan konflik yang dekat dengan masa saat ini. Kisah cinta segitiga antara Sakir, Mirat, dan Muklis terasa tidak hanya ditangkap sebagai cerita cinta biasa. Tetapi memiliki elemen-elemen pendukung cerita lain berupa kerusakan lingkungan dan misteri hidup para tokohnya di masa depan.

Penggarapan alur yang dibagi menjadi tiga waktu, masa sekarang, masa lalu, dan masa yang akan datang digarap dengan baik dan sampai kepada saya sebagai penonton. Meski pada momen-momen tertentu saya kesulitan menikmati cerita akibat tempat duduk yang terhalang oleh penonton lain dan posisi panggung yang lebih rendah dari posisi penonton. Tetapi dialog-dialog antar pemain masih terasa kuat untuk sampai kepada telinga para penonton.

Kerusakan alam adalah hal yang sering kita jumpai akhir-akhir ini di tengah kekayaan Indoneisa yang terus dieksploitasi tanpa henti. Pertunjukan ini membawa saya pada sebuah perenungan tentang tugas kesenian, kepedulian akan kerusakan alam yang masif terus menerus terjadi di sana-sini. Rezim terus berganti, kerusakan alam seakan tidak pernah berhenti. Kesenian selain berperan sebagai hiburan atau tontonan juga berperan sebagai pembawa pesan ke siapa saja yang menonton.

Memantik isi pikiran setiap manusia, lalu pulang dan merenungkan pesan-pesan yang dibawa setelah pertunjukan. Kesenian khususnya pertunjukan drama selalu berhasil mengemas kritik tidak secara wantah tetapi dikemas dengan estetika yang menghibur. Pertunjukan “Sang Penggali Timah” berhasil membawa sebuah pesan bahwa kesenian selayaknya harus berada dekat dan menyuarakan derita lingkungan. Di mana ada tambang di situ ada penggalian dan perusakan alam yang berjalan beriringan. ***

PENULIS

Sigit Pratama. Kelahiran Wonosobo, 22 Oktober 1998. Alumnus Sastra Daerah Universitas Sebelas Maret. Sekarang masih bermukim di Surakarta dan aktif bergiat di Teater Sandilara.

- Advertisement -spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img
Latest News

Andai Aku Jadi Maghrib 

Adzan maghrib berkumandang. Sebuah penanda yang dinantikan. Semua orang yang berpuasa seolah terprogram untuk menunggu detik-detik  itu. Piring sudah...
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img