Bertempat di Rumaharihari Cari Nagari, Gg. Nakulo, Kembaran, Tamantirto, Bantul, kembali hadir pameran seni rupa dari empat perupa: Kris Budiman, Tumariyanto, Sriyadi Srinthil dan saya sendiri (Meuz Prast).

Berlangsung 25-31 Januari 2025, pembukaan pameran dipandu oleh Anang Batas, MC tersohor di Yogya, dan dibuka oleh Wawan Harmawan (Wakil Walikota Yogyakarta terpilih dan Wakil Ketua Kadin Yogya). Meski pameran ini dibuka sedikit terlambat dari jadwal, para pengunjung dan tamu tetap sabar dan antusias menanti kehadiran Wakil Walikota Yogya yang baru dan apa yang akan Beliau sampaikan. Pembukaan berlangsung begitu khusyuk dan hangat, disertai nasi kucing makanan khas Yogya dan jaburan rokok yang tersedia di meja konsumsi.
Dalam sambutannya Pak Wawan menyampaikan bahwa Beliau sangat bahagia diminta untuk meresmikan pameran seni rupa. Ke depannya, produk karya seni murni juga layak mendapatkan dorongan dari pemerintah agar dapat dipromosikan di kancah internasional. Bukan hanya kerajinan, kuliner, dan wisata, tapi produk seni rupa juga layak mendapat tempat yang istimewa.
Hari Budiono sebagai tuan rumah menyampaikan bahwa pameran kedua di Rumaharihari ini berbeda dengan pameran sebelumnya. Pameran Gambar Figur & Situs dari perupa papan atas ini membuatnya kagum dengan ketekunan pengerjaan gambar garis demi garis. Sementara, saya sebagai inisiator pameran mengatakan bahwa mata kita diajak untuk beristirahat sejenak dari keriuhan komposisi warna-warni dan kembali memperhatikan garis, membaca kembali narasi dari gambar-gambar yang disajikan.
Dalam pengantar pameran, Kris Budiman menyampaikan bahwa gambar (picture) mengacu kepada pengertian umum, yakni representasi visual apapun di atas permukaan datar, entah lukisan, foto, bagan, tabel, citra satelit, citra digital…. Ya, apapun, bahkan sinema pernah dinamakan juga sebagai gambar bergerak (movie = moving picture) atau gambar hidup (bioskop). Sedangkan yang kedua memiliki rujukan khusus kepada proses dan produk seni visual tertentu. Sebuah gambar (drawing) dihasilkan secara manual, melalui proses menggambar (to draw), yakni menggaris di atas permukaan datar (biasanya kertas, tapi tidak selalu) dengan menggunakan pensil, tinta, grafit, arang, dan sebagainya. Perlu dicatat, tentu saja, bahwa pembedaan ini bersifat nisbi dan negotiated, pun bukan tidak mungkin bergeser seiring dengan pergesekan konseptual dan pergerakan zaman.

Sebagai sebuah genre seni visual, drawing tidak lebih tinggi atau rendah ketimbang genre lain yang telah dikenal luas. Kedudukannya setara satu dengan yang lain, pun potensi ekspresif dan eksploratifnya. Kendati demikian, drawing, apa lagi sketsa, mungkin saja dipandang lebih dasariah karena melandasi praktik-praktik seni visual lainnya. Artinya, pelbagai praktik seperti melukis, mematung, menggrafis, dan sebagainya, bermula dari proses menggambar, entah disadari atau tidak.
Pameran gambar ini merentangkan tema yang terutama bersentuhan dengan subjek-subjek manusia atau yang manusiawi, figur-figur insani atau yang diinsanikan (antropomorfis). Subjek-subjek ini berada dalam konteks situs tertentu. Pemahaman tentang yang terakhir ini dapat kita kembalikan kepada arti leksikalnya sebagai “tempat/ruang”, entah fisik, sosial, atau mitologis-imajiner, tapi bisa pula lebih spesifik dalam pengertian sebagai situs bersejarah/arkeologis.

Karya Tumariyanto menangkap figur-figur itu dalam aktivitas interpersonal yang kerap dia temukan dan amati dalam situs interaksi sosial keseharian atau dunia-hidup sehari-hari. Seperti gadis penari, abdi dalem keraton, anak kecil dan landscape ikonik di Yogya.
Karya saya, Figur Adam dan Hawa, sebagai tokoh yang berlatar ruang naratif di dalam Kitab Kejadian, coba saya tafsirkan kembali dengan lebih imajinatif dan keluar dari pakem pengetahuan seni rupa barat yang selama ini kita pelajari. Seperti yang kita tahu, gambaran Adam dan Hawa selama ini selalu telanjang hanya tertutup dengan daun di bagian kemaluannya. Itu semua saya rombak dan ditafsir ulang sesuai dengan Kitab Kejadian.
Sementara karya-karya Kris Budiman terpukau pada figur-figur arca atau artefak lain yang kerap disapanya manakala menyambangi situs-situs bersejarah. Ini tak hanya sekadar catatan rupa dari Kris, namun lebih kepada meditasi perjalanan spiritual. Ia tak hanya mencatat apa yang dilihat oleh mata melalui bahasa rupa, melainkan mampu menarasikan peristiwa perjalanan di setiap situs-situs yang ia sambangi dengan runtut.

Sriyadi Srinthil demikian pula, melalui observasi dan pengalamannya, dia menawarkan pemahaman atas figur-figur yang terpahat dalam relief candi Prambanan. Srinthil menggarap gambar relief dengan pensil begitu nyata. Ia sendiri mengaku menyediakan waktu khusus untuk datang ke Candi Prambanan. Semoga pameran-pameran edukatif dengan karya semacam ini akan lebih banyak dihadirkan di ruang publik agar masyarakat lebih dekat dan akrab dalam memahami karya-karya seni.
Salam hangat saya,
Meuz Prast
31 Januari 2025
PENULIS

MEUZ PRAST, Seorang Perupa muda yang aktif melukis dan berkegiatan seni rupa. Saat ini sering menjadi Master of Ceremony (MC) diberbagai hajatan seni. Perupa berpenampilan rapih lulusan Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) ini sedang sibuk berkarya. Menyiapkan pameran-pameran selanjutnya.