
Kaki ini telah tiba di sebuah Stasiun yang dua tahun lalu pernah saya kunjungi, waktu itu musim hujan seperti saat ini. Rupanya sejak sesiang tadi hujan turun dengan deras membasahi jalanan, pepohon dan atap rumah seluruh kota. Saya datang sendirian seperti biasa ketika mengunjungi kota-kota lainnya untuk menyambangi teman-teman yang masih setia di kesenian.
Kota Tasikmalaya, Jawa Barat yang sedang saya kunjungi. Kota yang dalam imajinasi masa kecil saya berada jauh di pesisir pantai, dengan aroma garam di udara. Kota yang serba panas, kering dan tandus seperti sebuah padang pasir atau oro-oro ombo dalam bahasa Jawa. Entah dari mana imajinasi itu berasal. Mungkin kata Tasik seirama dengan gesik yang berarti pasir.
Imajinasi itu ternyata berbanding terbalik dari kenyataan saat ini setelah saya berada di kota Tasikmalaya. Kota yang ternyata berpemandangan bukit-bukit dan sawah-sawah luas menghias sepanjang perjalanan naik kereta.
Di luar Stasiun rupanya saya telah ditunggu oleh pak Abuy dengan mobil warna hitamnya (saya kurang bisa menghapal jenis mobil). Saya ambil payung lipat dari tas ransel dan segera mendatangi mobil pak Abuy. Huwaaa….huuwaaa….senang banget rasanya bertemu Abuy dalam keadaan sama-sama sehat. Kami meluncur ke warung satay agar perut terisi dan tidak masuk angin. Uwuwuwuww….

Warung Kopi dan Rapat Buku
Saya bermalam di NgaosArt, salah satu kantung seni yang didirikan Abuy di Tasikmalaya. Komunitas ini sangatlah aktif dan intensif dalam menggarap seni pertunjukan terutama teater. Anggotanya anak-anak muda yang aktif dan dinamis. Dua tahun lalu saya pernah pentas pantomim di studio Ngaos Art yang hangat itu.
Pentas pantomim tunggal yang sukses dan terapresiasi secara serius. Waktu itu saya juga memberikan workshop untuk dipentaskan bersama. Workshop diikuti oleh guru Sekolah Dasar, Anak-anak Sanggar Ngaos dan Mahasiswa seni. Peristiwa seni memang tak perlu besar dan mewah tapi cukup terekam baik dalam ingatan dan mengesankan di hati.
Malam pertama di Tasikmalaya berhiaskan tetes-tetes air hujan, sisa hujan deras siang tadi. Saya dan Abuy mengunjungi sebuah Warung Kopi bernama Bringkod. Tempat yang nyaman dan lagi-lagi menghangatkan. Warung di atas trotoar, mepet di depan gedung Pengurus Cabang Nahdhatul Ulama itu rupanya menjadi tempat nongkrong teman-teman Ngaos juga.

Tak hanya tempatnya yang hangat tapi sambutan pemilik warungnya tak kalah hangat, Abah Dwi namanya. Lelaki pendiam, cool, berwajah serius tapi berselara humor yang bikin ngakak. Gerobak kopinya serupa angkringan di kota Jogja, mungkin karena di Tasik sedang marak orang jualan angkringan seperti di Jogja, begitu kata Abuy dan Bang Are.
Tak lama kemudian dua anak muda yang aktif di NgaosArt datang untuk menemui saya. Si rambut godrong, Alvin namanya, dan satunya belah pinggir berkacamata, Miqdam namanya. Anak-anak muda itu menyambut kedatangan saya dengan sapaan ramah. Iya, saya baru menjumpai anak-anak muda yang aktif dan ramah belum bertemu anak-anak muda urakan, konyol, sok preman dan menyebalkan.
Kedatangan saya paling utama di Tasikmalaya untuk peluncuran buku teranyar saya: Sana dan Sini ingatan teater, masyrakat dan seni. Buku itu sudah diluncurkan di dua kota: Yogyakarta dan Mataram, keduanya berbarengan dengan pameran seni rupa. Memang menyenangkan jika bepergian membawa seperangkat karya untuk dipamerkan dan didiskusikan. Di samping itu ada workshop dan pementasan kecil. Seruu euy..!!
Kami merancanng acara diskusi buku yang akan diselenggarakan hari Jumat, tanggal 24 Januari 2025. Miqdam menawarkan acara diadakan di sebuah Cafe tapi Abuy lebih setuju di NgaosArt agar lebih fokus di ruang indoor dan kami semua menyetujuinya. Malam itu kami nikmati dengan nongkrong bersama sambil ngobrolin falsafah kehidupan. Awawaw...
Hari-hari yang Hujan
Setiap sore hingga malam kota Tasikmalaya selalu diguyur Hujan. Padahal saya merencanakan beberapa hari sebelum acara akan bermain bersama Kang Are. Seperti waktu itu duduk di pinggir sawah sambil minum teh berlama-lama. Alangkah menyegarkan hidup ini.
Sayang beribu sayang hujan menggusur semua rencana, Kang Are jua sedang sibuk ada kerjaan di Pangandaran dan di Taman Budaya Tasikmalaya. Hujan yang deras itu membuat hati saya gelisah tak menentu, entah mengapa saya tidak tahu. Apakah mungkin akan kedatangan cinta? Ciee..ciee…Itu sebuah mitos masa remaja yang waktu itu dipercaya bisa terjadi beneran.

Kang Are sosok seniman Tasik yang pernah sekolah di Asdrafi (Akademi Seni Drama dan Film) di Jogja, hanya satu semester. Di seni teater Kang Are sering menjadi aktor dan artistik panggung. Pribadinya baik dan humoris, dulu kami sering ngobrol lama hingga larut malam tentang masa mudanya yang banyak pacar. Saya masih menantikan waktu luang dari Kang Are untuk berbincang banyak tema.
Hari-hari berikutnya masih juga hujan deras mengguyur semua-muanya, kadang petir berkilatan diikuti bunyi guntur menggelegar. Pak Abuy mulai sibuk dengan aktivitas akademisnya sebagai dosen di Universitas Muhamadiyah Tasikmalaya (UMTAS). Dosen jurusan Seni Drama dan Musik (Sendratasik). Bapak lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini emang sibuk. Selain mengajar Beliau mempunyai dua komunitas seni di Tenggarong dan Tasikmalaya.
Beruntung ada Teguh Bangbara dan Link Link yang kadang menemani saya ngobrol dan membuatkan sarapan. Bangbara seorang guru bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dulu juga aktif dalam komunitas teater kampus teater 28. Bangbara menemani saya dari siang hingga sore hari. Terkadang Rika Jo datang bercerita tentang kerja kesenian dan hidupnya yang seru.
Malam telah tiba dan begitu ramai karena ada rapat koordinasi acara peluncuran buku. Semua berkumpul membicarakan teksnis dan konsep acaranya. Saya merasa sangat dihargai sebab semua begitu serius menyiapkan dan mengapresiasi karya tulis yang belum seberapa bagus mutunya. Belum apa-apa. Terimakasih Abuy, Atok, Ikok, Alvin, Irfan, Miqdam dan Kang Are.

Om Dedi Siregar yang akan menjadi pembicara diskusi buku. Ternyata Om Dedi gurunya teman saya Dendi Madia aktivis teater dari Bekasi. Kami ngobrol sepanjang malam hingga satu persatu berpamitan pulang, juga Abuy pamitan bobok. Om Dedi dan saya masih ngobrol hingga pukul 01:00 WIB.
Hujan sudah reda tapi semua masih basah.
Deskusi dan Buku
Buku, buku dan buku selalu buku itulah yang selama ini membuat saya merasa lebih hidup. Satu-satunya harta yang saya banggakan sampai saat ini, buku-buku itu selalu memenuhi ruangan dimana saya tinggal. Sedari saya masih tinggal di rumah, indekos hingga punya rumah sendiri. Panjang ceritanya jika saya tuliskan awal mula saya menggemari buku.
Memang tidak semua buku-buku itu saya baca tetapi saya mengkoleksinya agar sewaktu-waktu bisa membacanya. Seperti apa yang saya cita-citakan waktu remaja bahwa saya akan tidur ditemani buku-buku. Rasanya senang sekali memandangi jajaran buku-buku itu, saya seperti melihat buah-buahan segar yang tak pernah membusuk dan siap untuk dinikmati.

Sampai sekarang saya sudah menghasilkan 10 judul buku: cerpen, puisi, naskah drama, dan kumpulan esai. Hampir setiap tahun saya memproduksi buku sebagai bagian program pribadi. Sebab disamping membaca musti juga menulis. Seperti proses pernafasan, ada yang dihirup adapula yang dihembuskan.
Kali ini akan mendiskusikan buku terbaru saya yang berisi catatan proses, reportase dan esai-esai seni pertunjukan. Ada sekitar enam pulahan tulisan yang saya tulis selama tujuh belas tahun, dari tahun 2007 hingga 2024. Sebuah kerja kesenian yang lumayan lama tapi tak terasa capeknya, justru semakin bertambah energinya.
Malam itu panggung telah tertata rapih sebagaimana ruang tamu. Meja kursi ditata untuk pembicara, moderator dan penulis buku. Sebelumnya ruangan itu barusan dipakai untuk pementasan karena setting panggung dari stereoform yang seperti tooneel masih utuh. Tempat diskusi berada di dalam panggung pertunjukan itu.
Tak pernah saya sangka-sangka acara diskusinya amatlah seru dan mengejutkan. Acara yang berdurasi dua jam itu amat dinamis dan tidak membosankan. Peserta diskusi tak lebih dari 25 orang tapi betah mengikuti hingga usai. Beberapa peserta juga mengajukan pertanyaan yang membuat diskusi terasa dinamis.

Tak kalah seru dan mengejutkan ketika disesela diskusi diisi pertunjukan musik Kataswara dan pentas pantomim dari Dede Dablo. Pantomimer dari Bandung ini mengajukan diri untuk mengisi pentas, sehari sebelum hari H. Saya kaget dong karena tak ada anggaran untuk Dablo tapi tetap saja dia nekad berangkat naik motor ke Tasikmalaya. Dablo adalah Pantomimer yang sering viral di Tik Tok dengan karakter kakek-kakek. Tak disangka pula seorang penyair muda asli Tasikmalaya yang kini berdomisili di Bandung, Zoelkifli Songyanan turut serta menghadiri acara diskusi buku.
Ada tiga pembicara dalam diskusi bedah buku ini pertama seorang dosen Filsafat Universitas Islam Negri Tasikmalaya, Ibnu Muhardi Siregar, bekiau akrab dipanggil bang Ucok. Kedua Dedy Syahnila Putra Siregar dan Ab Asmaradana atau pak Abuy. Diskusi yang dimoderatori Ramli ini terasa segar lantaran para pembicara mempuyai cara pandang masing-masing.
Bang Ucok lebih menitik beratkan pada karakter buku yang bisa dibaca secara tidak urut, bisa mulai dari mana saja. Beliau juga mengutip beberapa kalimat dan kata-kata unik seperti “Kakekku adalah pohon nangka”, agak Manja dan sedikit punya jiwa pemberontak”. Menurut Beliau saya penulis yang sopan lantaran memakai kata “saya”. Selebihnya apresiasi lebih mendalam dari sudut pandang filsafat yang agak berat saya ingat. Hehehhee…

Bang Dedy lain lagi, Beliau menyoal motivasi saya dalam menulis buku ini yang seharusnya ditulis sebagai pengantar buku. Juga mengkritisi penyuntingan buku yang melompat-lompat dan menyatakan pentingnya buku ini untuk membaca perjalanan estetika teater di Indonesia.
Semenara pak Abuy lebih mengapresiasi pada sudut pandang saya ketika menulis pementasan, memotret adegan, pilihan kata-kata, dan kesungguhan saya dalam melakoni kerja-kerja seni khususnya teater. Saya sangat berterimakasih dengan apresiasi dari para narasumber yang begitu panjang dan lebar. Terimakasih.
Saya sangat senang sebab yang hadir adalah generasi muda yang aktif bertanya, ada dua penanya dan satu yang menanggapi yaitu perihal bagaimana kemunculan ide dan mengembangkannya, apa yang menyebabkan saya harus membaca buku ini? Saya menjawab: dalam buku itu akan anda temukan daya hidup. Ide tumbuh dan berkembang sesuai imajinasi dan sudut pandang dalam mengapresiasi segala sesuatu di seputar kita.
Ketika diskusi akan ditutup oleh sang moderator, tiba-tiba ada seorang gadis mengangkat tangannya. Gadis itu menanggapi apa yang telah dibacanya. Ada sebuah fragment berjudul Kricak, nama kampung di Jogja. Tempat dulu saya pernah berteater bersama anak-anak muda.

Gadis itu mengapresiasi dengan imajinasinya setelah ia membaca sebuah paragraf tentang suasana kampung. Di sana tertulis: orang tua melamun yang menempel di tembok, rumpian ibu-ibu yang menhiasi pagar-pagar kampung, sungai yang bicara sendiri.
Gadis itu menangkap betapa meriahnya suasana kampung itu, dan bagaimana segala sesuatu yang tampak biasa menjadi indah dan bernilai. Menjadi sebuah kekhasan dalam ruang-ruang di perkampungan. Gadis itu mengucap banyak terimakasih lantaran mengalami pengalaman anyar mengikuti acara diskusi buku.
Diskusi yang berdurasi dua jam itu ditutup dengan penampilan Kataswara berkolaborasi dengan Dablo. Musik dan Pantomim bersatu padu menyemarakkan diskusi buku.
Mengunjungi
Diluar acara peluncuran buku saya sempatkan mengunjungi beberapa tempat untuk wisata Kuliner. Di kota kelahiran Susi Susanti (Atlet Bulutangkis peraih medali emas Olympiade) dan Rhoma Irama (Pedangdut) ini ada beberapa menu ikonik. Salah satunya nasi oncom yang hampir setiap pagi saya dibelikan pak Abuy untuk sarapan. Lalu apakah ada yang lainnya?
Sempat saya diajak pak Abuy untuk menikmati masakan khas Tasikmalaya, di sebuah rumah makan lawasan yang saya lupa namanya dan daerahnya. Hahahaha… yang jelas menyediakan banyak menu rumahan seperti pepes mujaer, pepes tahu, ikan asin, sate, bermacam sayuran dll.

Ada minuman special namanya Es Goyobod minuman khas sunda berbahan dasar tepung tapioka dan bersantan. Berisi roti tawar, daging kelapa, tape, singkong. Menurut saya dicampur irisan pisang enak juga. Saya yang hobi makan Bakso pasti berburu warung Bakso legendaris. Adalah warung Bakso Laksana yang lokasinya dekat taman kota tepatnya di pojok perempatan. Rasanya lumayan enak. Harganya Rp 55.000,00. Saya sukak tahunya.
Sebenarnya selama beberapa hari di Tasikmalaya paling saya suka menu masakan ikan Salmon Bakar. Ikan Salmon lokal kurang lebih sepanjang 50 cm itu dimasak oleh Teguh Bangbara. Bumbuya amatlah mantap dan sedap. Aku, pak Abuy, Bangbara dan seekor kucing manis menikmatinya dengan lahap.
Bangbara memang baik hatinya, selain pandai memasak Doi juga sopan, logat bahasa Indonesianya sangat Sunda sekali. Seperti bahasa Indonesia saya sangat Jogja sekali logatnya. Bangbara sempat mengajak saya putar-putar kota mengunjungi beberapa tempat. Seperti Cafe Langgam, tempat ngopi yang sekaligus menjual dan menerbitkan buku-buku sastra. Sempat saya bertemu Muhfidz owner Cafe yang juga cerpenis. Anak muda bertubuh tambun itu amat ramah dan sepertinya sukak menjalin relasi untuk berbisnis.

Di Cafe itu pula saya pertama kali bertemu Bode Riswandi, Teaterawan dan Sastrawan Tasikmalaya yang sering saya dengar namanya. Beliau seorang Dosen di Universitas Siliwangi (UNSIL). Kami ngobrol perihal teater dan sastra. Bagaimana pemerintah mengapresiasi para tokoh dan pekerja seni baik yang muda maupun yang senior. Bagiamana membuat sistem”Teater Award” agar pertunjukan Teater di kota Tasikmalaya terapresiasi dengan baik oleh pemerintah dan masyarakat umum. Wah..serius sekali obrolan kami berdua…hahahaha..
Bangbara juga mengajak saya mengunjungi Taman Budaya Tasikmalaya yang saya sukai model arsitekturnya. Tidak begitu besar tapi eksentrik dan enak dipandang mata. Saya berharap bertemu Kang Are di Taman Budaya, ternyata sudah pulang. Saya hanya bertemu Wayan, saya memanggilnya Bangrajan karena model rambutnya mirip tokoh film Bangrajan yang disutradarai Oliver Stone.
Terakhir saya mengunjungi Komunitas Cermin yang dimotori cowok gimbal yang rajin sholat. Orang memanggilnya Acong. Kebetulan di sana sedang ada pameran senirupa yang diikuti para perupa dari Tasikmalaya diantaranya Acep Zamzam Noor dan ibu Rukmini Putri pelukis besar Indonesia: Afandi Kusuma.

Ada seorang wartawan yang saya lupa namanya turut serta ngobrol bersama saya dan Acong tentang proses perjalanan seni dengan suguhan kopi dan pisang goreng. Ah, nikmat nian suasananya. Di Galeri yang dulu bekas gedung pemerintahan itu saya juga dipertemukan dengan Kais, perempuan yang pernah memainkan naskah yang saya tulis: Nuning Bacok. Dia yang membelikan gorengan dan membuatkan kopi. Terimaksih Kais..
Di atas meja saya tak sengaja menemukan kumpulan puisi yang masih berupa skrip naskah. Sebentar saya membacanya dan langsung tercekam oleh diksi-diksi dan bunyi iramanya. “Di Kedalaman Dadamu” ditulis oleh Nina Minareli.
Ada kalimat yang sempat saya baca dan saya ingat dari puisi Nina.
“…. Jangan biarkan aku berlalu Tanpa kemerdekaan baru.”
Terimakasih Tasikmalaya untuk sekarang dan selamanya… (S3)
Jogja-Cirebon 2025
Mantafff
uwuwuwu…terimakasih Om Apresiasinya…
Mantap jaya abadi
jangan lupak Salmon Bakarnya Om Bangbara….
Di kedalaman dadamu
dan selalau teringat pisang goreng, kopi dan kesenian Om Cong…