Totok dan Tumini adalah sejoli muda remaja yang paling diberkati di desa dan kampungnya. Tekek, begitu panggilan akrab Totok, seorang pemuda kampung yang bekerja sebagai supir kol. Sedang mbak Ni, panggilan akrab Tumini, seorang gadis desa yang berjualan di pasar. Setiap hari mereka dipertemukan dalam kol angkutan.
Orang jawa bilang “Witeng tresna jalaran saka kulina”. Dari dalam kol itulah kisah cinta mereka bersemi. Bunga…bunga…dan bunga… selalu bunga isi dada kedua muda remaja itu. Mereka bekerja sambil pacaran disepanjang perjalanan menuju kota. Berbagi cerita dan saling canda tawa begitu indahnya.
Hingga menginjak usia hampir kepala dua Totok tekek dan Tumini mengikat janji saling setia sehidup semati. Hari pernikahanpun tiba setelah kedua orang tua mereka merestuinya. Pernikahan digelar dengan sederhana, dihadiri para tetangga dan handai taulannya.
Pada saat kedua mempelai berjalan menuju pelaminan, ada sebuah peristiwa yang tak lekang dikenangkan oleh para tamu yang hadir. Peristiwa yang selalu diingat oleh keduanya juga para teman dan tetangganya. Ketika tengah berjalan tiba-tiba seekor ayam babon terbang dari petarangannya, hinggap tepat di pundak Totok.

Kontan para hadirin tertawa ngakak tiada habisnya sambil melontarkan bermacam celetukan. Sementara sang mempelai lali-laki dengan busana jawa itu kaget alang kepalang, tapi tetap diam menjaga citra diri sebagai raja sehari. Totok masih berjalan dengan gagahnya berdampingan dengan Tumini yang tersenyum geli menahan malu, lantaran ada seekor ayam menjadi pihak ketiga.
Totok dan Tumini sampai pelaminan dengan berhiaskan ayam babon di pundak Totok. Sungguh Totok mirip pesulap Linbad tapi bukan burung Hantu di pundaknya, melainkan Ayam Babon. (S3)